Prolog

2.2K 170 20
                                        

Tok! Tok! Tok!

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Tok! Tok! Tok!

"Dok, ada pasien." Suara yang mengikuti suara ketukan di pintu itu pun sukses membangunkan ku. Dengan gerakan cepat, aku menggulung rambut panjang ku dan menjepitnya asal, menggantungkan stetoskop di leher, lalu memasang kacamata di wajahku.

Tak butuh waktu lama, aku keluar dari ruangan bertuliskan 'Ruang Dokter' itu. Memasang tampang ramah yang kuusahakan tetap tampak di balik masker di wajahku.

Jam di dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Menandakan bahwa aku baru tidur sekitar dua puluh menit setelah pasien terakhir ditransfer dari IGD ke ruang rawat inap. Ya Tuhan ... tidak bisa kah jaga malam terakhirku sebagai dokter internsip di rumah sakit ini berjalan damai?

"Selamat malam, Bu. Saya Dokter Sarayu, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku, menghampiri bed nomor 4, tempat seorang anak berusia sekitar 4 tahun terbaring. Dia tak sendirian, ada ibunya yang duduk di sampingnya serta perawat yang sedang memeriksa tanda-tanda vitalnya.

"Ini, Dok, anak saya sakit," kata ibu dari anak itu.

"Iya, boleh diceritakan keluhannya apa, Bu?" tanyaku sambil mengamati keadaan sang anak.

Anak itu tampak tenang, sibuk bermain dengan mobil-mobilan yang ada di tangannya. Keadaan umumnya tampak baik.

"Ini, Dok, anak saya keluhannya nggak bisa tidur," ucap ibu itu.

Jawabannya itu membuatku berkerut. Ini bukan aku yang salah dengar, kan?

"I-iya? Gimana, Bu? Bisa diulang?"

"Anak saya nggak bisa tidur, Dok. Dia, tuh, biasanya jam tidurnya jam 9, tapi karena tadi sore nyobain kopi punya bapaknya, sekarang nggak bisa tidur, Dok," papar sang ibu.

Tidak bisa tidur? Ke IGD? Jam 2 dini hari?!

Demi Tuhan, kalau dunia ini punya filter grafik otomatis, mungkin sudah ada gambaran serta suara petir yang keluar dari kepalaku.

"Adek ... ada yang sakit kah?" tanyaku pada sang anak. "Perutnya sakit mungkin makanya nggak bisa tidur? Atau apanya yang lain sakit?"

Anak itu menggeleng sambil tersenyum polos, "Enggak, kok, Dok. Nggak ada yang sakit. Nggak bisa tidur aja."

"Kak, tanda-tanda vitalnya gimana?" tanyaku pada perawat.

"Aman, Dok."

Alih-alih mengeluarkan amarah yang sudah berada di puncak ubun-ubun, aku malah tersenyum ramah. Senyuman karir.

"Ibu, mohon maaf sebelumnya, namun dari yang saya lihat dari keadaan umum, kemudian dari wawancara singkat tadi, serta dari pemeriksaan tanda-tanda vital, tidak ada keadaan yang gawat, ya, Bu. Anak ibu tidak bisa tidur karena efek kafeinnya saja. Nanti kalau efek kafeinnya sudah hilang, baru anak ibu bisa tidur. Lain kali jangan dikasih minum kopi, ya, Bu. Masih terlalu kecil juga. Anak kecil butuh waktu tidur yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan," paparku panjang lebar.

"Nggak gawat gimana, Dok? Ini besok dia sekolah pagi lho, Dok! Kalau nggak tidur gini bisa ngantuk-ngantuk dia di sekolah besok!" ujar sang ibu.

"Ibu, perlu saya garis bawahi bahwa di sini adalah Instalasi Gawat Darurat. Pasien-pasien yang kemarin seharusnya adalah pasien-pasien dengan keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Misalnya sesak, nyeri hebat, kecelakaan lalu lintas, atau demam tinggi. Nah sekarang pertanyaan saya, apakah tidak bisa tidurnya anak ibu ini mengancam nyawa?"

"Enggak, sih, Dok ...."

"Nah, ya sudah kalau begitu sudah jelas ya, Bu. Tidak ada yang bisa dilakukan juga di sini untuk membuat anak ibu tidur. Saran saya, mungkin di rumah bisa buatkan susu hangat. Dalam susu hangat ada protein yang bisa membantu memancing rasa kantuk," paparku.

Ibu itu mengangguk. "Oke, Dok. Kalau begitu terima kasih, ya, Dok. Kami pulang dulu."

Aku hanya bisa menatap punggung ibu itu yang keluar melalui pintu depan IGD dengan tabah. Kak Wiwin--perawat yang sedari tadi membersamaiku-- mengelus-elus pundakku.

"Sabar, ya, Dok."

Aku menghela napas panjang.

Aku mengangguk pasrah. Aku kemudian kembali masuk ke dalam ruang dokter, melepas cepolan rambut, dan meletakkan stetoskop serta kacamata milikku di atas meja. Setelahnya aku membaringkan diri di atas kasur lipat dan memutar kembali adegan konyol bersama pasien barusan.

Seandainya tidak ada yang namanya etika kerja, aku pasti sudah berucap seperti ini; "Ya terus?! Kalau anak ibu nggak bisa tidur terus saya harus gimana, Bu? Mau dibius? Kan nggak mungkin! Ya ibu gimana jadi orang tuanya? Masa anak sekecil itu dibiarin minum kopi!"

Sayangnya semua itu hanya skenario dalam kepalaku saja. I know, aku tak seharusnya menghakimi pasien. Dosenku pernah bilang bahwa kami harus bersikap adil dan menghormati pasien serta keluarga sejak dalam pikiran. Tapi yang seperti ini ... bukankah keterlaluan?

Aku memejamkan mata. Berharap kekesalanku akan musnah ketika aku bangun nanti.

Tok! Tok! Tok!
Belum sempat aku menyeberang ke alam mimpi, pintu ruang dokter kembali diketuk.

"Iya, sebentar."

Aku kembali mengulangi rutinitas; menggulung rambut dan menjepitnya, menggantung stetoskop di leher, dan memasang kacamata.

Namun bukannya menemui sosok Kak Wiwin yang membangunkan ku, aku malah melihat Praya, salah satu anggota kelompok internsip-ku.

"Ada apa, Praya? Kamu nggak enak badan kah? Atau ada pasien yang jelek di bangsal dan kamu butuh bantuan?" ucapku. "Ngapain ke IGD jam segini?"

"Aku nggak bisa tidur, Sar," jawabnya.

Kepalaku hampir meledak karenanya. Bagaimana bisa keluhan laki-laki berbadan jangkung ini sama persis dengan pasien ajaib yang tadi?

"Ya terus? Kenapa semua orang nggak bisa tidur datang ke aku, sih? Kamu mau aku injeksi midazolam biar tidur pulas apa gimana?!" semprotku.

"Bukan gitu, aku cuma mau kamu dengar aku sebentar," kata Praya. Tatapannya itu serius. Seolah-olah dia tak akan bisa tidur kalau tak mengatakan apa yang ingin dikatakannya ini.

"Ya udah cepat!" ujarku kesal.

"Aku suka kamu, Sarayu."

"Hah?"

***

What you might want to know:
1. Internsip:
Proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktek di lapangan. Dilakukan selama 1 tahun; 6 bulan di rumah sakit dan 6 bulan di puskesmas.

5 Reasons Why I Can't Date YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora