FARAH : 24

5K 375 4
                                    

Mayat hidup itu seperti orang kesetanan. Dan gue, seperti orang kesetanan yang ngatain orang kesetanan. Ribet, ya? Tapi, memang itulah yang gue rasa sekarang.

Dengan bodoh, berlari di tengah hujan. Bedanya, dia lari dengan tanpa tujuan dan gue enggak.

Bertabrakan di tengah hujan. Bedanya dengan bego gue cuma cengok gue cuma ngeliatin dia. Dia bahkan ngasih jaketnya. Bantu gue berdiri.

Bersimpuh di depan rumah yang dijual, memegang kertas yang hampir hancur dengan tinta yang lumer, berteriak seperti orang kesurupan di tengah hujan deras.

Dia sama kayak gue, mungkin. Saat ini.

Terlalu frustasi untuk menjalani hidup dengan skenario tingkat tinggi. Ingin mati tidak bisa dan tidak bisa hidup juga. Tidak bisa menyelesaikan. Berputar-putar di tempat yang sama dan hasil putaran itu kini berbuah topan.

Posisi ini sekarang berbalik.

Gue ingat ketika menangis digampar Kipli, mayat hidup ini memeluk gue sepanjang malam. Dan sekarang, gue nggak mau biarin dia sendirian. Menyesapi luka karena masalah yang tak pernah mau surut tanpa teman.

Gue merasakan bahunya yang bergetar. Entah ia menangis atau kedinginan. Ia tidak memberontak ketika gue merengkuhnya, bahunya bahkan mulai tenang. Dan dia tersungkur tanpa daya.

*

"Badannya agak panas, Far." Gue hanya mengangguk-angguk sambil menyesap teh hangat. Gue sesekali melirik wajahnya yang jauh lebih pucat dari sebelumnya. Bahkan membiru.

"Dia kedinginan kayaknya, Kan." kata gue. "Lihat aja mukanya, hampir kayak avatar."

"Oh iya, lo bener juga." Kanya mencari selimut yang paling tebal dan menyelimuti Keenan. "Tapi, Far..., bajunya harus dibuka..."

"Iya juga," sahut gue. "Biar nggak masuk angin. Gue aja udah ganti. Thanks bajunya, Kan."

"Terus Keenan...," Kanya masih melihat Keenan. "Hmmm, gue cari papa dulu deh."

Gue mengangguk-angguk lagi. Plis deh udah kayak boneka mr.bean yang gue pasang di mobil. Mukanya yang absurd mengangguk-angguk.

Setelah Kanya pergi, gue melihat Keenan yang mulai bergerak. Ia seperti gelisah, matanya terpejam namun ia menggeleng-geleng seperti meraih-raih sesuatu.

"Aru, kenapa kamu..."

"Aku berjanji tidak akan memanggilmu, Hitam lagi. Aku akan memanggilmu dengan nama kecilmu. Aku janji, Alu..."

"Kembalilah kumohon..."

"Bukankah aku tidak pernah memanggilmu dengan nama Hitam? Kau sendiri yang menulis di surat teror bodohmu itu! Aru..."

Dia seperti berdebat dengan seseorang. Gue berdiri dan mulai mendekatinya. Mungkin bisa gue tenangkan.

"Aru...kau adikku... aku ingin selalu menjagamu..."

Adiknya? Dia punya adik? Hitam? Aru?

Hitam...sepertinya aku ingat sesuatu. Aku merogoh salah satu kertas yang ada di saku jeansku yang sudah basah.

Aku akan kembali pukul 2 siang nanti. Apa kau lupa dengan adik kandungmu sendiri? Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali. Sampai ketemu.

Hitam.

*



Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang