KEENAN : 23

5.6K 391 6
                                    

3 bulan sudah berlalu. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Keluarga Arga sangat baik padaku, bahkan mereka sama sekali tidak terusik oleh keberadaanku. Setiap kali aku berniat untuk pergi, Arga selalu mencegatku. Aku yakin kalau dia tahu, aku tidak tahu kemana aku akan pergi.

Aku makin tidak mengerti dengan keadaan di rumahku ketika Hitam datang. Karena akhir-akhir ini, beberapa guru TU memanggilku karena SPP-ku tidak dibayar sejak satu bulan setelah aku meninggalkan rumah. Aku takut kalau ada hal yang buruk terjadi pada Mama.

"Keenan," Arga memanggil gue yang sedang termenung di atas ranjangnya. "Gue udah bilang ke Mama buat bayar SPP lo. Jadi lo tenang aja, ya."

Aku melotot. Aku merasa sudah sangat merepotkan orang lain. Aku hidup menumpang disini dan semua kebutuhan pribadiku dipenuhi. Bahkan berkali-kali Mama Arga memberiku hadiah pakaian. Bukankah aku lebih kurang ajar daripada benalu?

"Mama gue kayaknya seneng deh sama lo, Keenan, dia selalu menganggap lo itu adek gue." ujar Arga. Ia mengambil buku matematikanya untuk mengerjakan PR. "Adek gue...meninggal ketika gue berumur 3 tahun. Yah, pas dia baru lahir sih."

Aku tercengang mendengarnya. Arga terus bercerita seakan itu hanya dongeng biasa sambil menghitung-hitung soal. Dia bercerita seperti sedang membicarakan gadis-gadis yang sering curi-curi perhatiannya. Tapi, kalau dipikir-pikir ternyata ia juga hampir saja hancur karena seorang adik seperti aku.

"Gue masih ingat sekali matanya yang bulat hitam, teduh, dan dingin ketika melihat gue. Wajahnya pucat dan rambutnya tipis. Ya, kayak lo versi bayi lah. Ia sama sekali tidak pernah tersenyum apalagi menangis. Saat itulah gue baru tahu kalau dia sakit. Mama gue langsung membawanya ke rumah sakit dan tidak pernah pulang selama beberapa minggu.

"Saat pulang, dia tidak membawa adik gue. Yah, awalnya gue seneng banget punya adek, artinya nggak akan membosankan main sendirian di rumah dan dianggap anak manja. Dan yah, Mama gue nggak pernah memberi gue adik lagi.

"Dulu gue sempat berpikir untuk memberi dia nama. Lo mau tau namanya? Pokemon! Bego banget nggak sih gue?"

Aku menatap Arga yang tertawa terbahak-bahak. Gue baru sadar kalau dari dulu dia itu kesepian walau ia punya Mama Papa yang selalu memanjakannya. Om Bimo, Papanya Arga selalu pulang tepat pukul 8 malam. Kadang kalau cepat jam 6 kalau lembur jam 10. Dan saat pulang Papanya selalu mengajak Arga sekadar mengobrol, apalagi sejak kehadiranku, Papa Arga makin giat memanggil Arga dan aku untuk keluar kamar lalu menonton acara talkshow.

Terkadang aku tak nyaman melihat Papa Arga menatapku dengan serius. Mama Arga selalu memelukku walau aku bukan siapa-siapa, dan bersikeras agar aku memanggilnya 'Mama'.

Aku tidak bisa melakukannya karena aku masih mempunyai Mama yang sudah kutinggalkan berbulan-bulan. Aku egois.

"Oiya, Keenan, PR lo udah selesai belom? Gue mau nyocokin nih." tanya Arga basa-basi karena ia langsung mengambil bukuku dari tas dan menyalinnya tanpa pikir panjang.

Aku harus menyelesaikan ini. Aku tidak bisa lari terus menerus. Aku harus tahu keadaan Mama sekarang.

"Memangnya siapa yang mau? Itu panggilanku sebagai penghormatanku saja untuk yang terakhir kali." Tiba-tiba kata-kata itu melintas di pikiranku.

"Ya, terakhir."

"Kau senang kan?"

"Bodoh!" sentakku.

Arga langsung menengok ke arahku. "Gue?"

Aku langsung merapikan pakaian-pakaianku sekenanya tanpa memedulikan pertanyaan Arga.

"Lo mau kemana?" tanya Arga ketika aku mulai memasukkan barang-barangku ke tas. Aku sangat panik. Kenapa, kenapa aku baru menyadarinya sekarang?. Aku terlalu bodoh.

"Mereka akan pergi, akan pergi." gumamku. "Mereka siapa?" tanya Arga. Aku langsung menyandang tasku dan berlari pergi.

"Tunggu, Keenan, di luar kan huj..." aku tidak terlalu mendengarkan Arga dan menghindar ketika ditanya Tante Helena, Mama Arga.

Aku merasa bajuku basah ketika aku berlari menuju halte. Aku lupa membawa payung. Halte ini sangat sepi dan dingin, tidak ada angkot atau bus yang lewat menuju rumahku. Aku tidak bisa menghabiskan banyak waktu disini.

Aku berlari menerobos hujan seperti orang gila. Orang-orang yang meneduh menatapku aneh. 'Hujan deras begini dia berlari tanpa payung. Dasar aneh.' Itulah arti tatapan mereka. Tanpa sadar, aku menabrak seseorang.

"Eh mayat hidup?" Aku mendongak melihat orang yang baru saja kutabrak. Gadis gila itu. Dia sama sepertiku, tidak memakai payung. Ia hanya memakai kaos berwarna hitam yang sudah basah kuyup. Mataku berkedip-kedip perih hasil air hujan yang mengaburkan pandanganku. Aku melepas jaketku dan menyampirkannya di bahunya yang kecil. Aku menarik gadis itu berdiri dan berlari lagi.

"Eh tunggu, lo mau kemana?!"

Aku mempercepat langkahku karena aku merasakan dia mengejarku. Farah Mayra, dia keras kepala. Lagipula. Lagipula, untuk apa dia...keluar dengan baju hitam di tengah hujan deras tanpa payung? Dia tak kalah gila daripada aku saat ini.

Aku berhenti di depan rumah bercat kelabu dan berpagar hitam. Hatiku terasa disambar petir. Aku mendekati plang yang seenaknya bertengger di pagar yang menyebarkan kabar bohong. Kabar bohong.

Mama tidak mungkin pergi. Dengan anak itu.

"Mama!!!" panggilku. Aku menggedor pagar sekuat tenaga. Seperti ingin merobohkannya. "Mama!!! Ini Keenan!!! Mama keluar, Ma!!!"

Aku tersentak melihat amplop yang sudah basah dibalik plang itu. Aku membukanya dan menemukan kertas yang tulisannya sudah mengabur karena basah.

12 Desember 2018

Keenan, apa kamu sudah kembali sekarang? Kamu baik-baik saja, kan? Maafkan Mama sudah meninggalkanmu. Mama harus menemani adikmu, Hitam Arudha. Adikmu ingin bersekolah, dan memang ingin melepaskan diri dari teman-temannya. Kalian sempat bertemu, kan?

"Keenan? Lo...ngapain disini?" Hujan mulai terasa hangat di pipiku. Aku yakin itu bukan hujan. Aku...

Mama ingin mengajakmu tapi mama rasa kamu memang menjauhkan diri dari adikmu itu. Mama tidak ingin memaksamu, sayang. Mama menyayangimu.

Hujannya berhenti. Karena ada sesuatu yang meneduhiku saat ini. Air mulai menitik.

Sayang, Mama ingin memberitahumu satu hal dan Mama harap kamu membaca surat ini. Tentang kebenaran tentang adikmu itu.

Tulisannya mengabur. Aku tidak tahu apa pandangan mataku yang mengabur. "Kumohon! Kumohon!" teriakku. Aku mengangkat kertas itu tinggi-tinggi agar diberi penerangan matahari. Tapi, hasilnya nihil. Kertasnya makin hancur.

Adikmu itu, bukan seperti yang dikatakan ayahmu.

"Keenan tenanglah..." aku menepis payung yang melindungiku. Kertasnya makin hancur.

...saudara kandungmu.

Kertasnya sudah hancur menjadi bubur. Dimakan paksa oleh aliran hujan. Hitam adalah adik kandungku. Bagaimana...maksudnya?

Bahuku bergetar hebat. Kenyataan yang dikatakan ayahku...bagaimana mungkin salah? "...aku mencintai ibumu dan aku dikhianati olehnya..."

...aku tidak mungkin mengkhianati ayahmu.

...aku difitnah.

Kalimat-kalimat terakhir yang menyembul sebelum kertas ringkih itu termakan habis. Kenapa ayahku dengan bodohnya menganggap Mama berkhianat kalau memang Hitam juga darah dagingnya?

"Kamu sangat mirip dengan ayahmu, Keenan" kata-kata itu yang selalu menyembur dari mulut Mama. Mirip ayah. Yang sangat mudah berprasangka.

Aku tidak tahu menangis berapa lama. Hujan seperti mengiringi setiap air mataku. Aku merasa menggigil dan payung itu memelukku.

Payung itu.


Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang