KEENAN : 21

6.1K 406 8
                                    

Haris dan Tristan menyeretku ke gudang sekolah yang tidak terpakai. Aku tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dan aku sama sekali tidak berniat membalas.

Haris menggulung lengan kemejanya. "Sudah cukup, kawan." katanya sinis. Ia mencengkeram kerahku dan mendorongku ke dinding. Ia mengangkatku tinggi-tinggi. "Ini dia traktiranku!"

Aku sama sekali tidak mau menutup mataku, walaupun kepalan tangan Haris akan menekan habis bola mataku sampai hancur. Tapi, hal itu hanya fantasi terburukku ketika Haris terus menerus bicara. Ia masih terus menerus mengepal tangannya tanpa melayangkannya.

Tapi,

Aku melihat bayangan hitam di belakang Haris. Ia membawa sebatang besi dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Kukira itu Tristan yang ingin ikut-ikutan menghabisiku tapi Haris terjatuh. Dengan bunyi dentingan besi yang dilepas oleh pemegangnya dengan puas.

Aku menahan napasku ketika sosok itu mendekat.

Ketika wajah sosok itu terlihat, gigiku bergemeletuk. Darahku mendesir seiring jantungku yang melompat-lompat karena hormon adrenalinku yang menjerit.

"Kakakku yang malang," katanya. Ia memandang Haris yang pingsan dengan senyumnya yang mengerikan. Kuakui ia sangat mengerikan saat ini. "Ini yang kau lakukan di sekolah barumu? Kasihan."

"Hi...Hitam..."

"Jangan panggil aku dengan panggilan konyol itu!" bentaknya. Matanya sarat akan luka. Tapi garis wajahnya sangat keras.

"Kalau begitu," sahutku. "Jangan panggil aku kakak."

"Oh ya?" Hitam tertawa. "Memangnya siapa yang mau? Itu panggilanku sebagai penghormatanku saja untuk yang terakhir kali."

"Terakhir?"

"Ya, terakhir." Hitam kembali tersenyum. "Kau senang kan?"

"Tentu saja." Aku membalas senyumnya. Senyuman-senyuman ini bukan senyuman bersahabat, ramah, atau semacamnya.

Hitam berbalik. Aku berdiri ketika ia mulai menyeret kakinya untuk menjauh. "Oh ya, omong-omong," tambahnya. "Sekarang kau mulai jadi parasit ya?"

Ia berbalik. "Kukira itu motormu yang ada di parkiran. Jadi kubuat bocor saja ban nya. Lalu aku melihat temanmu tertatih-tatih menuntunnya pulang." ia kian tersenyum mengejekku, seperti sedang memenangkan suatu ajang. "Sekarang kau jadi benalu? Hidup menumpang dengan orang lain? Lemah."

"Tapi," bodohnya, aku membalas cekcok-nya. "Aku tidak pernah melukai orang lain."

"Hohoho, benarkah?" Ia pun berbalik dan berjalan menuju pintu gudang. "Bagaimana dengan Mama? Kau pikir kau tidak melukainya juga karena kau seenaknya pergi hanya takut akan kedatanganku? Pengecut." Itulah ia katakan sebelum menghilang di balik pintu gudang.

Mama? Dia pikir dia siapa berkata seperti itu? Siapa yang meninggalkan rumah tanpa sopan santun? Siapa yang membuat Mama hampir menangis tiap hari? Siapa yang membuat hancur keluargaku?

Aku tidak bisa menahan diri. Aku berlari mengejarnya tapi aku tidak menemukannya. Dia sudah pergi dengan cepat.

"Keenan...," aku melihat Tristan yang tak berdaya di dekat pintu. Dia juga diserang oleh Hitam. "Maafin gue, maafin..." Aku menarik Tristan dan membopongnya ke UKS.

Sesampainya di UKS, Tristan sudah tidak sadarkan diri. Aku meminta tolong pada Pak Karmin karena UKS sudah dikunci.

"Kamu lagi," kata Pak Karmin sinis. Ia menyesap kopinya dengan cuek. "Temen kamu ini kenapa?

"Pak tolong pak," kataku sedikit panik. "Teman saya ini harus cepet diberi pertolongan medis!" Aku meletakkan Tristan yang sudah pingsan di depan Pos Satpam. Kemudian aku berlari ke gudanh untuk membopong Haris juga.

"Eh tunggu!" Pak Karmin berseru dan aku tidak menghiraukannya. Seharusnya dia sadar bahwa dua muridnya pingsan, bukan dendam dengan kelakuan konyolku tadi pagi.

*

"Keenan!" Tante Helena menyambutku di Ruang Makan. Ia baru saja membereskan makanan sisa makan malam. "Kamu kemana aja, sayang? Arga nyariin kamu. Oh iya, kamu udah makan belum? Ini sudah jam 9 malam lho."

Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gausah tante." Selintas pikiran tentang Mama yang menungguku di rumah. Langsung memberondongiku dengan segala pertanyaan dan menyuruhku makan. Mama selalu menyuruhku makan karena menurutnya aku selalu terlihat kehabisan darah. Aku bergegas menuju kamar Arga.

Sebenarnya, perutku lapar sekali.

Aku menemukan Arga yang langsung berlari menerjangku ketika aku membuka pintu. "Keenan?! Lo kemana aja sih?!"

"Maaf," ujarku. "Banmu bocor dan aku tidak membantumu."

"Bukan itu maksud gue!" Arga mengeratkan cengkeramannya pada kemeja seragamku. "Gue tadi...liat lo sama Haris Tristan. Lo nggak apa-apa kan? Lo dihajar lagi?"

Aku sama sekali tidak menjawab pertanyaan Arga. Aku teringat Haris dan Tristan yang sekarang terbaring di Rumah Sakit. Orang tua mereka berulang kali berterimakasih padaku. Tristan sudah sadar, dan dia mengaku bahwa diserang oleh seseorang.

Aku tidak mempermasalahkan mereka tidak mau mengaku bahwa hampir saja mereka mau membuatku pulang dengan darah di sudut bibir dan mata panda ungu. Tapi mereka bisa saja ber-alibi bahwa aku yang menyerang mereka dan berpura-pura membawa mereka ke rumah sakit.

Yang kupikirkan adalah,

Haris tidak kunjung sadar dan hampir koma dengan gegar otak cukup parah akibat pukulan besi di tengkuk. Bisa saja dia mati.

Aku mencomot sepotong biskuit keju yang selalu ada di kamar Arga, kesukaan gadis gila itu juga.

"Oh iya, Nan." Aku berbalik untuk melihat Arga lebih jelas sambil mengunyah biskuit keju. "Sebenarnya gue lihat siapa yang ngebocorin ban kita. Dia nyelipin ini di helm gue."

Ia memberiku kertas hitam bertuliskan kapur. "Orang itu mirip banget sama lo, Keenan. Versi yang lebih menakutkan."

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang