FARAH : 22

5.6K 378 4
                                    

Berminggu-minggu sudah berlalu. Semenjak kejadian paling menegangkan seumur hidup gue, di saat semuanya berkumpul dengan tidak semestinya.

Papa sudah kembali bekerja. Beliau langsung terbang ke Prancis dan menganggap semuanya sudah lalu. Mama akan selalu berada di rumah ini. Kalau Kipli...

"Dia tidak apa, sayang..." begitu jelas Mama sambil mengutak-atik laptop-nya. Ia merampungkan kerjaannya sebelum mengundurkan diri dari pekerjaan pengacara yang sudah ia tekuni selama hampir 13 tahun. "Kevin tidak bersalah. Ia dijejali oleh temannya dengan berbagai obat-obatan ketika ia mengalami migrain biasa. Temannya itu belum bisa ditemukan. Tapi kakakmu hanya membutuhkan rehabilitasi selama 6 bulan kok. Jangan khawatir, everything gonna be fine." Sebenarnya, gue nggak yakin kalau Kipli nggak apa-apa. 6 bulan itu waktu yang lama, dan setelah gue searching, tablet itu termasuk jenis narkotika ekstasi. Pantas saja terakhir kali gue ketemu dia pas dia minum air putih. Tapi entahlah, gue nggak terlalu mengerti. Gue nggak pernah mendengar kabarnya lagi, bahkan bertemu dia saja tidak bisa.

Gue mengambil satu buah mangkuk dari lemari dapur dan memutuskan membuat semangkuk mie instan. Makanan yang jarang gue buat lagi setelah sebulan Mama tinggal disini. Puasa mie instan selama satu bulan itu memang berat rupanya.

"Farah," gue terlonjak kaget mendengar suara di belakang ketika gue sedang meniriskan mie.

"Sorry," kata Kanya ketika gue berbalik untuk melihatnya lebih jelas. "Gue mau balikin baju lo nih."

"Ya ampun, gue kira Mama," kata gue sebal. "Bisa-bisa gue nggak jadi nih makan mie. Mama bisa marah kan."

"Cia, ketahuan," kata Kanya. Ia ikut-ikutan mengambil satu mie instan rasa ayam bawang kesukaannya. Gue mengambil satu pack susu plain untuk membuat mie kuah susu kesukaan kami. "Oh iya, Bi Inah mana?"

Gue langsung menunjukkan ekspresi murung ketika Kanya menanyakan tentang Bi Inah. Gue ingat sekali, Bi Inah melarikan diri ke kampungnya dan dia langsung meminta pensiun ketika ditelepon. Alasannya karena ia sudah lelah. Hal ini menurut gue sangat aneh, karena Bi Inah sangat mencintai pekerjaannya ini. Dulu gue pernah menawarkannya untuk berhenti saja tapi beliau selalu menolak.

"Udah pensiun." kata gue pendek.

"Yah," desah Kanya kecewa. "Gue belom sempat ngasih apa-apa ke Bi Inah."

"Kenapa?" tanya gue.

"Yaa, soalnya Bi Inah baik banget sama gue. Dia selalu bukain pintu kalau gue mau ngagetin lo, buatin gue ini lah itu lah kalau gue mampir kesini, bahkan dia pernah ngasih gue...apa ya, oh iya ngasih gue kunyit asem!"

"Kunyit asem?"

"Iya, pas gue sakit perut hahaha, care banget kan lo aja nggak tau."

Gue mengangguk menyetujui. Gue jadi teringat Bi Inah yang selalu menemani gue ketika gue cuma sendirian di rumah. Ketika masih kecil semenjak Papa Mama sering ke luar negeri, gue sama Kipli duduk berdua di depan telepon. Bertanya berkali-kali kepada Bi Inah.

"Bi, kira-kira sekarang Mama Papa lagi ngapain ya?"

"Bi, kapan ya Mama Papa pulang?

"Bi, kapan ya Mama Papa telepon?"

Seperti stadium kanker makin tinggi stadium pasien makin mendekati kematian. Pertanyaan kami berangsur dengan keputusaasaan dan pertanyaan terakhir yang gue tanya pada Bi Inah ketika gue ulang tahun yang ke 15,

"Bi, Mama Papa masih hidup nggak ya?"

Bi Inah selalu menjawab dengan sabar dan menghibur gue ketika sedih. Namun akhirnya gue lebih menghabiskan malam gue di atap, menangis sendirian, dan tidak tahu mau berbagi kebahagiaan dengan siapa.

"Farah," Kanya membuyarkan lamunan gue. "Lo tau nggak, Haris sama Tristan kan udah keluar rumah sakit."

"Ohh." sahut gue pendek. Dua bocah itu, nasib mereka malang sekali. Katanya sih, mereka diserang orang tidak dikenal di gudang terus Keenan yang nemuin mereka. Padahal gue yakin banget awalnya mereka mau ngabisin Keenan. Tapi, mungkin Tuhan terlalu kasihan sama Keenan jadinya mereka yang kena batunya. Rumornya sih, Haris sempat koma karena kena pukulan besi. Kenapa nggak mati aja sih.

"Bisa ngepas gitu lho, Far," kata Kanya. "Abis lo dorong dari kursi, Haris langsung masuk RS."

"Efeknya bagus, ya, Kan." gue mengangkat mangkok mie yang sudah siap makan. "Nonton yuk, Kan. Gue ada film baru."

"Bajakan ya?" ledek Kanya. "Di kamar lo, kan?"

"Iye, elah." gue berjalan menuju kamar mengikuti Kanya yang udah jalan duluan. Ketika gue melewati kamar Keenan, gue terhenti. Semenjak Keenan udah minggat kesini, gue nggak pernah ngecek kamar ini lagi. Semenjak dia minggat dari sini juga, gue udah nggak pernah lagi ke atap. Klise emang, Keenan kayak mengubah gue, kehidupan gue.

"Kanya, lo duluan aja," gue langsung menaruh mangkok mie gue di tangan kiri Kanya yang nganggur.

"Dih lo mau ngapain?" tanyanya.

"Perut gue mules," sahut gue berbohong. "Udah deh lo cepetan sana duluan ajaa..." gue mendorong-dorong Kanya dengan paksa agar ia cepat-cepat ke kamar. Kanya mengalah.

Setelah dirasa Kanya sudah masuk kamar, gue segera menerobos kamar Keenan. Kamar ini benar-benar tidak tersentuh semenjak dia pindah. Kamarnya rapi dan dia tidak pernah menggunakan parfum. Kamar ini terasa begitu dingin sesuai dengan hawa dirinya. Padahal ini hanya kamar tamu tapi kamar ini terasa seperti didedikasikan untuknya.

Aih, gue kenapa sih.

Mata gue menangkap sebuah benda asing berbentuk persegi panjang yang terselip di meja beserta beberapa kaos. Ternyata belum semuanya ia bawa dari sini. Gue mengambil benda itu dan membukanya. Sesuatu yang hitam, indah.

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang