BAB I : KOMANDO WILWATIKTA

1.9K 75 13
                                    

Tentara bukan merupakan suatu golongan diluar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri diatas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu (Jendral Soedirman)

 

Alam Semesta Arvanda

Republik Indonesia, 24 Desember 2012

 

            “Kita sudah sampai!” ujar Kaspar kepada keempat rekannya. Mereka kini berada di sebuah bukit karang yang menjulang setinggi gedung tingkat 10. Tebing ini berdiri di atas tanah padang pasir yang tandus. Di bawah sana sekumpulan prajurit dalam balutan seragam kemiliteran berwarna loreng hijau kecoklatan tampak bersiap-sedia menunggu sesuatu.

            Kaspar menoleh ke arah teman-temannya, “Hmm, tampaknya sebentar lagi akan terjadi pertempuran. Ayo coba ramalkan siapa yang menang kali ini, Helena!”

            Yang diajak bicara hanya diam saja, tatapan matanya kosong, dan tidak merespon sama sekali.

            “Hei Helena!” Kaspar mendekat ke arah gadis yang termenung itu dan mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan gadis itu.

            “Eh iya?” akhirnya Helena sadar dari lamunannya.

            “Masih memikirkan dia, Helena?” tanya Helmut.

            “Ah… iya… maafkan aku.”

            Helmut menatap tajam ke arah Helena, “Lupakan dia… sekarang kita ada tugas yang lebih penting!”

            “Di mana ‘dia’?” tanya Helmut kepada Haris yang mengamat-amati pasukan-pasukan di bawahnya itu dengan teropong.

            “Bah! Sulit sekali menemukan ‘dia’ di antara kerumunan pasukan ini,” jawab Haris.

            “Berarti kita harus tunggu sampai ada pertempuran?” tanya Olivia yang sedari tadi diam saja.

            Helmut mengedarkan pandangannya pada keempat rekannya, “Ketika pertempuran sudah dimulai dan jejaknya sudah terlacak… kita harus cepat-cepat membawanya keluar dari sini! Mengerti?”

            “Mengerti Ketua!” jawab empat rekannya serempak.

*****

            Para prajurit berlindung di balik parit-parit perlindungan, sebagian lagi bersiap mengoperasikan senapan-senapan mesin serta meriam-meriam tembak. Atmosfer di tempat itu terasa berat. Para prajurit yang hadir di situ tak satupun yang menampakkan wajah santai, semuanya berwajah tegang. Apa yang sebabkan wajah-wajah mereka setegang itu juga belum jelas.

            Seorang pria muda berambut ikal dengan bentuk dan bermata sipit serta berkulit kuning – tampak berbeda dari prajurit-prajurit lainnya – tampak resah bersandar dalam parit perlindungan ini. Berkali-kali dimain-mainkannya medali ketentaraannya, mencoba membunuh waktu. Namun kejenuhannya akhirnya memaksa ia untuk bertanya kepada prajurit jaga yang sedang mengamat-amati situasi medan tempur dari atas, “Sudah muncul?”

            “Belum Letnan!” jawab prajurit itu.

            “Ke mana mereka semua?” komentar seorang prajurit lainnya.

            “Entahlah,” jawab pria muda itu, “Yang jelas gara-gara mereka aku sampai tak bercukur rambut hingga sebulan.”

            “Hahaha, tak apa Let. Dengan potongan rambut macam itu, anda pantas menjadi seorang selebriti daripada menjadi seorang komandan peleton,” ledek sang prajurit jaga.

Contra Mundi II - Anak-anak ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang