Prolog

39 6 1
                                        

Haii, nama ku Nayla, dan ini adalah kisah hidupku.

Aku tidak pernah menyangka bahwa patah hati bisa datang dari dua arah yang berbeda. Satu dari cinta, dan yang lain dari mimpi. Dulu aku pikir, keduanya akan selaras, saling mendukung, berjalan bersama menuju masa depan yang cerah. Namun, ternyata tidak. Langit tidak selalu berpihak pada harapan kita, bahkan ketika kita telah melakukan segalanya.

Ada banyak hal yang aku pikir akan mudah saat meninggalkan bangku sekolah. Orang-orang bilang, "Dunia kampus akan jadi awal dari segalanya." Aku juga berpikir begitu. Perguruan tinggi akan menjadi tempat di mana aku akhirnya bisa menunjukkan siapa diriku sebenarnya, menyelami lebih dalam bakat dan mimpi-mimpiku yang sudah lama aku simpan. Tapi di tengah segala optimisme itu, aku juga menemukan bahwa dunia dewasa lebih keras daripada yang pernah kubayangkan.

Kehidupanku di sekolah menengah atas adalah sebuah perjalanan yang penuh liku-liku. Teman-teman sekelasku tampak begitu antusias menjelang ujian akhir dan pengumuman penerimaan universitas. Mereka berbicara tentang impian mereka, berencana untuk mengambil jurusan yang mereka cintai, dan merayakan setiap langkah kecil menuju masa depan. Namun, di dalam hati, aku merasa terjebak di antara harapan dan ketakutan. Bagaimana jika impianku tidak terwujud? Bagaimana jika semua usaha ini berakhir sia-sia?

Aku adalah Nayla, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berjuang untuk menemukan jalanku di dunia yang penuh harapan dan kekecewaan. Mimpiku adalah sederhana—aku ingin diterima di perguruan tinggi seni ternama, tempat di mana aku bisa menuangkan semua ide dan kreativitasku tanpa batas. Namun, seiring dengan perjalanan ini, aku menyadari bahwa di samping mimpiku, ada cinta yang mengikatku pada Edgar, seorang teman sekelas yang selalu ada di sampingku.

Sejak kecil, aku sudah tahu apa yang kuinginkan. Aku mencintai seni. Setiap kali aku melukis, rasanya seperti aku bisa berbicara dengan dunia tanpa perlu membuka mulut. Ketika aku memegang kuas, semua masalah yang ada di sekitarku seolah menguap. Hanya ada aku, kanvas, dan warna-warna yang saling bersatu. Seni bukan hanya hobi bagiku, tapi mimpi. Aku ingin masuk ke perguruan tinggi seni terbaik di negeri ini, mungkin juga di luar negeri. Aku ingin membuat kiat yang bisa membuat orang berhenti sejenak dan merasakan apa yang aku rasakan. Aku ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih abadi.

Namun, semua ambisi itu tak pernah sederhana. Ada Edgar—cowok yang selama ini selalu ada di sampingku. Kami berkenalan saat awal SMA, saat semua masih terasa segar dan penuh harapan. Edgar bukanlah tipe cowok yang mencintai seni sepertiku. Dia lebih realistis, lebih fokus pada hal-hal yang menurutku membosankan, seperti angka, robot, dan teknologi. Tapi justru itu yang membuat kami klik. Dia melengkapi apa yang kurang dalam diriku, dan aku melengkapi apa yang tak ia miliki. Bersama Edgar, aku merasa tenang, seolah segala kegelisahan dunia tak mampu menembus kebersamaan kami. Kami berjanji untuk saling mendukung, apapun yang terjadi.

Namun, seperti yang sering terjadi dalam hidup, janji itu mulai pudar seiring berjalannya waktu. Saat SMA hampir berakhir, tekanan untuk memilih masa depan semakin besar. Setiap kali kami berbicara, pembicaraan kami selalu berujung pada pertanyaan tentang masa depan. "Apa kamu yakin dengan pilihanmu?" Edgar sering kali bertanya. Dan aku akan selalu menjawab dengan percaya diri, "Tentu saja." Tapi di dalam hatiku, mulai tumbuh keraguan yang perlahan menggerogoti keyakinanku.

Aku tidak pernah ragu tentang mimpiku. Namun, semakin lama, Edgar semakin sering membuatku mempertanyakan apakah aku mampu bertahan dengan mimpiku di dunia yang begitu keras. Dia selalu membicarakan tentang rencana kariernya, betapa pentingnya kestabilan finansial dan bagaimana dunia nyata tidak memberi ruang bagi kesalahan. Mungkin dia tidak bermaksud membuatku meragukan diriku sendiri, tapi itulah yang akhirnya terjadi. Aku mulai merasa, di balik setiap dorongan yang ia berikan, ada ketakutan bahwa aku tidak akan berhasil.

Ketika tiba saatnya mendaftar ke perguruan tinggi, aku menaruh seluruh harapanku pada satu tempat—universitas seni terbaik di negeri ini. Aku sudah berlatih keras, mengerjakan portofolio, dan mempersiapkan diriku untuk tes masuk. Di setiap sapuan kuas yang kuhasilkan, ada harapan yang kutanamkan. Di tengah semua itu, Edgar juga mendaftar ke universitas pilihannya, tapi dia tidak pernah tampak setegang diriku. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi, dan aku iri padanya karena itu.

Aku selalu berpikir bahwa setelah ujian berakhir, semua akan terasa lebih mudah. Aku salah. Menunggu pengumuman adalah salah satu hal terberat yang pernah aku alami. Setiap hari aku memeriksa emailku, menanti kabar baik yang mungkin datang kapan saja. Dan akhirnya, ketika surat itu datang, dunia seakan berhenti berputar.

Aku gagal.

Aku menatap layar laptopku selama berjam-jam, berharap kata-kata itu berubah. Tapi tidak. Surat penolakan itu nyata, dan itu berarti mimpiku tidak akan terwujud di tahun ini. Dunia yang selama ini kukenal tiba-tiba terasa asing. Apa yang seharusnya kulakukan sekarang? Aku sudah menaruh seluruh hidupku pada mimpi itu, dan ketika mimpi itu hancur, aku merasa seperti aku kehilangan identitasku. Siapa aku tanpa mimpi itu?

Edgar adalah orang pertama yang kuceritakan tentang kegagalanku. Aku berharap dia akan mengerti, memberi pelukan atau setidaknya kata-kata penghiburan. Tapi responsnya dingin, seolah kegagalanku hanyalah bagian dari proses. "Kamu bisa coba lagi tahun depan," katanya, seperti itu hal yang sepele. "Ada banyak kesempatan lain. Kamu harus realistis."

Itulah saat ketika aku menyadari bahwa kami berdua telah berjalan di jalan yang berbeda. Baginya, kegagalan adalah bagian dari rencana besar yang bisa diatur ulang, tetapi bagiku, kegagalan itu menghancurkan. Aku tidak bisa hanya "mencoba lagi" tanpa merasa kehilangan. Dan lebih dari itu, aku merasa kehilangan dukungan dari satu-satunya orang yang selalu ada untukku. Edgar bukan lagi tempat aku bisa bersandar.

Dalam beberapa minggu setelahnya, hubungan kami semakin renggang. Edgar diterima di universitas besar yang selama ini ia incar, dan rencananya untuk belajar di luar negeri semakin jelas. Setiap kali kami berbicara, rasanya seperti kami berada di dunia yang berbeda. Aku masih berjuang dengan kesedihanku, sementara dia sudah berada di depan, merencanakan masa depannya. Hingga akhirnya, percakapan yang kutakuti datang.

"Kayaknya kita harus pisah, Nay," katanya melalui pesan teks. "Aku nggak yakin kita bisa tetap seperti ini, apalagi dengan jarak nanti."

Aku membaca pesan itu berkali-kali, mencoba mencerna setiap katanya. Pisah? Bagaimana bisa seseorang memutuskan hubungan bertahun-tahun hanya dengan beberapa kata di layar? Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menutup ponselku dan menangis sejadi-jadinya. Dunia yang tadinya sudah hancur oleh kegagalan, kini semakin remuk oleh kehilangan.

Malam itu, aku keluar dan menatap langit. Bintang-bintang masih bersinar terang, seolah-olah tidak ada yang berubah. Tetapi di hatiku, segalanya telah berubah. Langit yang biasanya menjadi tempatku menggantungkan harapan kini terasa jauh dan tak berpihak. Mimpi-mimpi yang pernah kubangun bersama Edgar kini hanya menjadi kenangan.

Dan di sinilah aku sekarang, mencoba memungut pecahan-pecahan mimpiku yang berserakan. Aku tahu bahwa hidup harus terus berjalan, meskipun langit tidak selalu berpaling padaku. Mungkin, kali ini aku harus belajar berjalan sendiri, tanpa mengharapkan dukungan dari orang lain. Mungkin, ada jalan lain yang menungguku di depan sana.

Tapi yang pasti, aku akan terus berjalan—meski hati ini masih terasa kosong.

Inilah... kisahku, Nayla.

"Langit yang Tak Berpaling"Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon