Tubuhnya membeku di tempat. Menatap ketidakmungkinan yang terjadi di depannya. Piala dan sertifikat yang dia pegang, terjatuh ke lantai. Langkahnya perlahan melangkah menuju deretan kasur yang telah diisi oleh 5 mayat yang telah terbujur kaku. Tenaga medis yang menemaninya di dalam ruangan sunyi itu bisa diam ditempat, membiarkan remaja itu membuka kain yang menutupi wajah setiap jasad.
Dia perlahan membuka kain yang menutupi wajah jasad di hadapannya. Tubuhnya menegang melihat wajah kawan yang selalu tersenyum hingga menyembunyikan kedua kelopak matanya. Namun kedua kelopak mata itu kini telah tertutup sempurna. Tidak ada lagi pemilik eyes smile yang selalu dia jahili.
"Jen, lu dibilang China juga gak. Kalo diem mata lu agak lebar, tapi pas senyum kek China sesat di Bandung."
"Gak usah body shaming ya njing. Urus tuh kulit lo item kek malika."
"Ini bukan item, tapi matang. Defenisi pribumi ganteng, adalah seorang Haechan. Haekal Chandraditya Agnibrata."
"Geuleuh aing ka maneh Chan."
Wajah itu di tutup kembali, dan beralih ke jasad berikutnya. Lagi-lagi tubuhnya menegang, melihat kembaran dari jasad yang pertama, yang juga adalah kawannya. Partnernya dikala ambis, yang selalu berbagi hal baru padanya. Si lucu yang kecil kedua di pertemanan mereka.
"Chan! Abis lo gue ya! Gue gak mau ketinggalan pokoknya!"
"Kalo ketinggalan? Lo kasih aib lo sendiri ke gue."
"MANA ADA LAMTUR AIB SARANJANA NGASIH AIBNYA SENDIRI, AING TEU NARIMA!"
Dia meremas kain penutup itu, melampiaskan rasa sesak di dalam hatinya. Setelah menutup kain itu, dia beralih ke jasad berikutnya. Hatinya berdebar tak karuan. Rasa takut semakin menjalar di sekujur tubuhnya. Kain penutup itu dia buka, dan memperlihatkan wajah pucat dari kawan yang selalu menjadi kawan berkelahinya. Yang sering beradu mulut dalam bahasa daerah mereka dan orang yang selalu dia pancing emosinya.
"Kan? Aing bilang juga apa. Maneh teh kek pedopil kalo sama Neng Sully."
"Anjing! Gelud we atuh lah Chan!"
"Sok! Kadieu sia!"
Kepalanya tertunduk dalam. Dalam benaknya, dia mencoba untuk mencerna apa yang terjadi saat ini. Semuanya terlalu cepat. Kenapa ini semua bisa terjadi? Dia membawa kabar gembira untuk mereka, namun kenapa hadiah yang di dapat adalah kabar duka?
Dia terus memikirkan jawaban dari pertanyaan yang dia pikirkan. Hingga tibalah dia ke jasad berikutnya. Dia tidak tahu kenapa, dia merasa enggan membuka penutup kain dari pemilik jasad di depannya. Namun tangan itu memberanikan diri untuk membuka kain itu untuk melihat wajah siapa yang akan dia lihat berikutnya.
Tubuhnya mematung. Dikala melihat wajah orang yang selalu penasaran akan dirinya. Yang selalu mengganggu waktunya, dan menganggap jika orang itu adalah pengganggu yang harus di bungkam. Orang yang... mirip dengannya.
Namun sekarang? Dia telah menutup matanya. Tidak ada lagi suara nyaring yang memekakkan telinganya disaat menulis sebuah cerita. Yang terus tersenyum saat bersamanya. Dia orang yang tertarik pada kehidupan seorang Haekal Chandraditya.
"Cuma Nana doang yang keliatan namanya, nama gue manaa??"
"Chan sesekali ribut sama gue dengan sifat asli lo yok, gak yang dibuat-buat dan gak karena dilihat publik."
"Chan. Gue... kalau gue jadi penulis juga gimana? Kira-kira gue bisa sehebat lo gak?"
"Chan. Gue gak masalah kalau sikap lo kalau sama gue beda sama yang lain. Tapi inget ya. Kalau Nana memang tokoh favorit lo, dan lo adalah penulis favorit Nana. Maka gue adalah pemuja dari seorang penulis yang bernama Haekal Chandraditya Agnibrata."
YOU ARE READING
New Universe : Transmigration
FanfictionSequel Book Saranjana "Ini akhirnya? Serius mati cuma gara-gara ke tabrak delman? Yaudah lah, semoga ketemu Haechan. Maaf Bunda, Ayah, Jisung, abang nyusul Haechan." "Kalo mati bakal ketemu Yeji sama mama gapapa di gue, asal gak kepleset ke neraka a...
