Hali melihat ke bawah, pada ventilator yang terpasang di mulutnya.

"Apa-apaan ini?" Hali sontak menarik paksa. Andai tidak ada siapapun yang menghentikan, Hali mungkin akan seketika merasa sesak napas. 

Entah sejak kapan pemuda itu masih berada di dekatnya.

"Lepas!"

Pemuda itu tidak mengikuti permintaan Hali. Ia menduduki kursi tamu yang berada tepat di samping kasur itu, lalu menundukkan kepalanya.

"Napasmu masih belum stabil. Istirahat lah dulu, Kak Hali."

Kak? Kak Hali?

Bukankah panggilan itu hanya diutarakan oleh para elemental saja?

Tidak ada yang berani memanggil Hali dengan sebutan Kak kecuali mereka seorang.

Meskipun Hali mengingat itu, ia menolaknya. Ia menganggap dirinya tengah berhalusinasi.

Andai saja begitu. Namun, ketika pemuda itu mengangkat wajahnya, seketika itulah Hali mengenali dirinya.

"Ice..?"

Ice tersenyum. Ia mengenggam tangan Hali erat sebelum berucap, "Maafkan aku, Kak."

Hali tidak merespon. Ia bingung, tidak paham alasan dibalik elemental dingin ini mengatakan demikian. Jika dipikir kembali, Hali merasa dirinya lah yang bersalah atas apapun.

Tidak. Itu hanya pola pikirnya.

Jika bermain kenyataan, satu-satunya pelaku perusak hidup maupun hubungan mereka adalah penjahat itu.

Tidak hanya ia berusaha membunuh Hali dengan rasa sakit yang perlahan semakin parah hingga mulai menggerogoti tenaganya, tetapi para elemental dan saudara itu pun turut dirugikan.

Mereka tidak berbicara satu sama lain. Hali diam, Ice pun juga diam. Sampai keheningan itu memadat membuat Hali tak kuasa menahan untuk tidak berucap.

"Kenapa..? Bukannya kalian pun.. sudah muak d--"

"Tidak perlu membahas itu lagi. Kami sudah tau kebenarannya dari Ketua Kaizo. Maaf karena tidak bisa mengerti keadaanmu," ucap Ice kembali menunduk. Ia merasa sangat bersalah. Ia tak bisa berucap lebih dari itu.

Keberadaan Ice sendiri tanpa elemental lain pun di luar rencananya. 

Ice tadi tengah berjalan sendirian di sekitaran kota. Daerah pantai itu sebenarnya berada cukup dekat dari kediaman elemental, tetapi sepertinya Hali tidak ingat.

Entah ia yang tidak begitu memikirkan atau ingatan itu sudah lenyap dari pikirannya.

Sejak terakhir Kaizo datang menemui mereka untuk meluruskan kesalahpahaman, banyak hal yang menusuk dirinya.

Ice tidak tau bagaimana cara agar bisa meraih kepercayaan Halilintar lagi. Setelah mengusir dan berucap buruk padanya, Ice bahkan merasa ia tak pantas untuk berjumpa dengan Hali lagi.

Hali sepatutnya sekarang sudah berada dalam kondisi lebih baik setelah berpindah tangan. 

Hali seharusnya sudah melakukan pengecekan di rumah sakit dan menjalani rehabilitasi bertahap. 

Mengetahui Hali tiba-tiba tak sadarkan diri di lorong kota dalam keadaan bersimbah darah lantas membuat Ice panik bukan kepalang. 

Meskipun ia menggunakan kakinya untuk menumpu kepala Hali di awal seakan ia tidak ambil pusing, nyatanya di lubuk hati ia tak kuasa memandang kondisi Hali demikian.

Ice mengusap kepalanya sendiri. Ia merasa sangat buruk. "Maaf."

Memperhatikan bagaimana raut wajah Ice murung padahal jika diingat-ingat elemental itu merupakan yang paling tak berperasaan, Hali memilih membalas genggaman tangan agar Ice merasa lebih baik.

Hali tidak tau lagi. Ia merasa seperti tak sanggup menghindar terlebih dengan kondisi terpasang alat kesehatan.

Ia menoleh pada Ice masih dengan hawa napas tak beraturan di ventilator miliknya.

"Elemental lain.. apa mereka.. baik-baik saja?"

Ice mengangguk. "Tentu saja. Tidak perlu khawatir." Ice memeriksa sirkulasi pernapasan Hali dari monitor setelah berucap demikian. "Khawatir lah pada dirimu sendiri."

Hali tertawa pelan. "Apa mereka.. tau tentang ini?" tanya Hali mencoba memastikan dan segera dibalas dengan anggukan. 

"Rencananya nanti aku kaba--"

Hali tiba-tiba mengenggam tangan Ice erat. Ia turut menggeleng lemas, membuat Ice merasa ragu untuk melaksanakan rencana mengabari mereka. "Jangan..! Biar aku sendiri saja.."

Ketika melihat Hali menutup mata seraya berusaha mengatur napas senyaman mungkin, Ice pun memilih untuk mengikuti permintaannya. 

"Dasar aneh," bisik Ice memandang dingin. Sampai Hali jatuh ke alam mimpinya lah Ice akhirnya berpindah dari posisi. 

Ia membuka ponsel untuk menghubungi seseorang.

Tidak. Bukan elemental. Mematuhi permintaan Hali, Ice justru mencoba meraih sambungan dari Fang. 

Jikalau Hali tidak tidur, mungkin ia sudah memaki-maki Ice atas kebodohan yang disengaja itu.

Berharap tidur Hali tidak terganggu, Ice pun berjalan keluar sekaligus menghindari kemungkinan terburuk. 

Ia bersandar pada dinding dengan tangan memegang ponsel tepat di sebelah telinganya.

Kala telepon itu tersambung, suara Fang pun menggema. "Loh, napa nih batiba banget nelp--"

"Hidupkan speaker, temui Solar dan Ketua Kaizo."

"Kenapa d--"

"Sekarang," minta Ice terus memotong ucapan Fang. 

Sungguh, jika ini bukan di rumah, mungkin ia akan mengutuk Ice yang begitu tiba-tiba memaksanya menuruti kemauan tanpa konteks.

Sebenarnya, Fang tidak perlu susah payah. 

Nyatanya, mereka memang tengah berkumpul di ruang makan. "Katakan saja, semuanya sudah di sini," balas Fang menghidupkan speaker.

"Rumah Sakit."

My Unread MessagesWhere stories live. Discover now