Bunga Melati

13 0 0
                                    

Tak ada lagi kata, tak ada lagi rasa, tak ada lagi harapan, hanya tersisa sekelumit rindu, terbesit tanya dalam hati tentang hadirnya seorang terkasih, memakai kebaya putih bercorak bunga mawar, berjalan mendayu bagaikan ombak di tepi pantai, raut wajahnya hadir mengelabui jutaan mata manusia, membias dengan warna dunia, membius urat saraf jejaka yang sedang kosong mata batinnya. Matanya berkedip bagaikan burung cendrawasih mengipaskan sayapnya yang anggun. Bibir merahnya yang santun membuat mata tak bosan untuk mengintainnya setiap waktu. 

Bulan kasmaran merindukan bulan, ranting pohon berjatuhan bergetar mendengarkan sayu suaranya yang lembut. Senja yang ketakutan akan datangnya malam, gelap gulita mendungpun datang, kehadiranmu merubah segalanya ketika aku datang membawa seutas bunga, harumnya tercium dari hilir kepala sampai kaki. Kuberikan bunga ini untukmu, kubelai rambut panjangmu yang indah gemulai bergelombang. Sudah lama aku menginginkan momen seperti ini, hanya berdua aku dan kamu. 

Semua itu hanya mimpi, aku hanya bisa berangan-angan andaikan ini semua bisa terjadi padaku. Mataku masih belum terpejam karena harus mengingatmu setiap waktu. Makanpun tak enak tidurpun juga tak nyenyak, seperti lirik sebuah lagu yang berjudul prahara cinta dari Kang Hedi Yunus. Ah, sudahlah jangan berkhayal lagi, aku ini siapa, apa mungkin dia memikirkan aku juga sampai seperti ini?. Semua rasa rindu dan cinta hanya bisa melukai hati jika tidak dapat terpenuhi dengan apa yang kita ingin. 

Pagi yang cerah ditemani segelas kopi panas mbok iyem. Seperti biasa aku harus pergi ke sawah untuk menyirami tanaman padi dengan obat pestisida. Kulihat obat botolan pestisida sudah mau habis. Aku harus pergi ke rumah pak lurah untuk mengambil obat pestisida subsidi dari pemerintah khusus untuk kelompok tani di desa kami. Aku kesana membawa motor astrea buntut warisan dari kakek saya. Suara motor itu terdengar berisik di tengah jalan karena sudah lama tidak masuk ke bengkel. Sesampainnya di rumah pak lurah, aku kaget melihat seorang perempuan cantik memakai celana levis dan kaos ketat berwarna merah. Terlihat samar-samar dari kejauhan, "apakah itu Maya Safira?" gumamku dalam hati. 

Tanpa basa-basi aku berjalan menuju rumah pak lurah, sembari menata bajuku yang sedikit berantakan terkena angin saat di motor. "Assalamualaikum, Pak Lurah", ucapku salam kepadanya. "Waalaikumsalam, Ada apa Galih?" jawab Pak Lurah. "Ngapunten, pak. pupuk saya di rumah habis, makanya saya kesini mau mengambil pupuk subsidi dari pemerintah", ucapku sembari menoleh ke arah pojok halaman rumah pak lurah melihat dan memastikan apakah dia anaknya pak lurah. "Ya, sudah ambil sana di depan toko", jawab pak lurah. 

Saat aku berjalan menuju tokonya pak lurah, aku di kagetkan dengan suara panggilan yang cukup keras. "Mas Galih!" ucap Maya Safira. "Maya!, kamu kok disini, gak kerja?" timpalku menoleh dihadapanya. Disinilah aku merasa kagum bercampur dengan rasa grogi. Perasaanku campur aduk antara gugup dan senang, padahal semalam dia sudah aku bayangkan kehadiranya. "Aku sekarang gak kerja di Jakarta lagi, Mas. Aku disuruh pulang bapak, karena harus gantiin ibu jagain toko klontong ini," jawabnya. "Maya, kalau ada waktu boleh ya aku ajak kamu jalan-jalan keliling desa", tanyaku sembari memanggul pupuk pestisida. "InsyaAllah ya Mas, kalau Maya gak sibuk", jawabnya dengan sedikit tersenyum kepadaku. 

Hari ini aku bahagia bisa bertemu dengan Maya Sabrina, selama perjalanan menuju ke sawah aku senyum-senyum sendiri, membayangkan masa lalu kami, waktu kecil kami berdua sering bermain manten-mantenan. Tak terasa waktu cepat berlalu kini aku sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan Maya juga tumbuh menjadi wanita yang seutuhnya, cantik, baik hati dan suka menabung. Apakah mungkin semesta sudah menemukan jalannya, sehingga aku bisa diberikan kesempatan untuk bertemu dengan maya setiap waktu. Terbesit ucapan dalam hati, suatu saat aku pasti akan melamar Maya Sabrina entah dengan cara apapun, aku jatuh cinta denganya dengan setulus hati. Tanpa dia mungkin aku gak akan bisa hidup dan lebih baik aku tidak ada di dunia jika suatu saat cintaku ditolak dengannya. 

Hari kedua Maya Sabrina tinggal di Desa Melati. Sesuai dengan nama desaku, aku akan memetik bunga melati untuk kuserahkan kepada Maya. Bunga melati ini aku petik disebuah pekarangan yang tak jauh dari tempat pemakaman desa. Itulah mengapa desaku dinamakan desa melati, karena disini banyak tumbuh kembang melati. Aku datang ke toko klontong pak lurah membawa motor astrea kesayangan, suara knalpot yang bising menjadi ciri khas tersendiri buat aku, karena mendengar dari suara knalpotnya saja, warga sekitar sudah tahu kalau itu adalah aku. 

Maya Safira terlihat sedang menjaga toko, dia melamun sepertinya. Tapi lama-lama dia ngantuk, mungkin bosan ya kalau tokonya sepi dari pembeli, akupun datang berusaha untuk menghiburnya. "Maya, lagi ngapain?" ucapku. "Lagi mikirin kamu", jawabnya. " Ah, bisa aja neng", jawabku. "Ngapain pagi-pagi kesini, Galih", tanya Maya kepadaku. " Aku mau nyerahin bunga melati ini kepadamu", jawabku. "Ouh, terimakasih", ucap Maya sembari tersenyum manis kepadaku.

Akhirnya lega sudah, aku bisa bertemu dengan Maya Safira dihari kedua dia berada disini. Bunga Melati yang aku berikan dia cium, dia merasakan betapa harumnya bunga itu. Aku yakin hatinya dia saat ini juga sedang berbahagia bisa bertemu dengan aku.

Kutukan Pelet (Pemikat Kembang Desa)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora