*⁠.⁠✧12✧.*

1.5K 234 5
                                    

Malam itu, suasana tenang menyelimuti pondok paman Bill, ditandai dengan sentuhan kehangatan lampu-lampu remang yang memancar dari teras. Aire melangkah perlahan melewati teras setelah menemani- bukan, lebih tepatnya menjadi kacung saat Matthias berburu.

Langkahnya terhenti mendadak ketika matanya menangkap sosok Layla, berdiri di tengah teras dengan tatapan heran. Mereka saling memandang, kemudian segera berubah menjadi tawa melihat tampilan masing-masing, Rok Layla kusut dan rambutnya terselip dedaunan dan ranting, sedangkan Aire juga tak jauh berbeda, dengan pakaian yang sama-sama kusut dan wajah yang penuh  jejak kelelahan.

"Kakak kenapa kamu bisa terlihat seperti ini?"

Aire hanya tersenyum dan menjawab dengan santai, "Oh, aku jatuh dari semak-semak tadi, makanya jadi seperti ini." Jawabnya berbohong, agar tidak membuat Layla sedih karena ia habis menemani Matthias berburu burung.

Dengan penasaran yang sama, Aire akhirnya bertanya mengapa Layla juga terlihat berantakan seperti dirinya. Layla menggelengkan kepala dengan ekspresi khawatir di wajahnya sebelum akhirnya menjawab, "Aku baru saja mencari kacamataku yang hilang bersama Kyle. Aku khawatir burung gagak akan mengambilnya. Jadi aku mencari kesetiap sarang."

Aire mengangguk, mencoba memahami kekhawatiran Layla, meskipun dia tahu bahwa kacamata Layla sebenarnya tertinggal di annex dan pegang oleh Matthias, bukan di hutan.

"Kamu sungguh melakukan itu? Itu merepotkan, lebih baik beli saja yang baru," ucapnya dengan nada prihatin.

Layla hanya tersenyum kecil, mencoba untuk menjelaskan, "Aku tahu, tapi kacamata ini sangat berharga bagiku. Aku membelinya dengan uang tabunganku."

Mendengar penjelasan Layla, Aire merasa tak enak hati.

"Mungkin lebih baik kita mencarinya besok pagi, bersama-sama," ucap Aire akhirnya dengan suara lembut, menawarkan bantuan, meskipun maksud Aire disini agar menghindari alur dimana Layla menyelinap ke Annex malam-malam. Setidaknya dengan adanya dirinya datang bersama ke bangunan itu akan lebih mudah meminta Matthias untuk mengembalikan kacamata Layla.

“Kalau masih tidak ditemukan..."

Atau si Mamat kagak mau balikin itu kacamata.

"aku akan membelikanmu kacamata baru.” lanjut Aire.

Layla tersenyum penuh haru mendengar tawaran Aire. "Sungguh?" tanyanya sekali lagi, ekspresi wajahnya penuh dengan rasa terima kasih dan kelegaan.

Aire hanya mengangguk mantap, senyumnya merekah. "Ya tentu saja, lagi pula aku punya uang banyak," ujarnya dengan percaya diri, sambil mengingat harta yang dimilikinya, termasuk uang dan perhiasan berlimpah yang tersimpan di dalam kopernya. Dia juga tidak lupa akan latar belakang hidupnya yang mewah sebagai anak dari pemilik hotel ternama dalam alur cerita novel ini.

Layla merasa begitu terharu atas kedermawanan Aire. "Terima kasih, Kak Aire. Aku benar-benar menghargainya," ucapnya dengan suara yang penuh dengan rasa terima kasih.

Mereka berdua saling tersenyum, membagi momen kecil ini yang penuh dengan kebaikan dan dukungan. Meskipun besok mungkin akan menjadi hari yang sibuk dengan mencari kacamata yang hilang, namun mereka tahu bahwa mereka tidak akan sendirian. Tentunya si pirang Kyle Ettman akan membantu.

***
Besoknya.

Pagi itu Cleaire, Layla dibantu oleh Kyle melanjutkan pencarian kacamata Layla yang menghilang. Mereka menjelajahi sekitar sungai dan wilayah kediaman Arvis, berharap menemukan jejak kacamata yang hilang di antara semak-semak dan pohon-pohon.

Namun, di tengah perjalanan, kedua manusia blonde itu tiba-tiba menghilang dari pandangan Cleaire tanpa sepengetahuannya saat dia berpura-pura mencari kacamata Layla di semak-semak yang tumbuh di dekat pagar kediaman Arvis.

Duke's GripWhere stories live. Discover now