*⁠.⁠✧9✧.*

1.6K 221 15
                                    

*°|Hit and Pride|°*

Aire melangkah pelan setelah berbincang dengan Claudine, matanya menelisik pada langit biru sambil memikirkan apa yang dia bicarakan tadi.

Semua keputusan memang ada ditangan Claudine, namun Aire hanya berharap gadis itu memilih Riette dari pada melanjutkan pertunangan dengan Matthias.

Aire tidak ingin Claudine menderita karena obsesi Matthias pada Layla, jadi ia pikir setelah Paman Bill, tokoh lainnya yang ingin dia lindungi dan bahagiakan adalah si Nona Brandt itu.

Kemudian pada saat ia melewati annex, Aire melihat Layla berlari menuju dermaga mengejar topinya yang terbang dan mendarat ketegah aliran sungai.

Lalu matanya onyxnya bergulir saat Matthias muncul didepan teras annex hanya melihat Layla dalam diam tanpa melakukan apapun.

Gila! Aslian dia tidak membantu Layla?!

Aire melebarkan matanya ketika Layla dengan cerobohnya langsung berjalan ketengah sungai, mencoba meraih topinya.

Aire ingin membantu tapi dia ingat ini adalah alur penting dimana Layla ditolong Matthias. Jadi dia menghitung sampai sepuluh, berharap Matthias membantu Layla yang kini nampak semakin kesusahan mengambil topinya.

Satu, dua, tiga...

Ayo bodoh tolong dia!

Empat, lima, enam...

Bergeraklah bodoh apa kamu mau dia mati?!

Delapan, sembilan, sepuluh...

Bahkan sampai Layla mulai tenggelam kedalam sungai yang dangkal, Matthias masih tidak bergerak. Sungguh Aire frustasi.

Persetan dengan alur!

Aire dengan langkah seribu pergi ke arah sungai bersaman dengan Matthias yang mulai melangkah dengan santai.

Hampir sampai dermaga Aire menubruk tubuh Pria jangkung itu dan tanpa babibu meloncat kedalam sungai.

Air dingin menyergap tubuhnya begitu dia merasakan sentuhan dingin menyelimuti dirinya, tetapi dia tidak mempedulikannya. Matanya mencari-cari Layla yang terus terbawa arus, pasrah dalam bahaya yang mengancamnya.

Saat dia menemukan Layla yang tenggelam, Aire tanpa ragu segera berenang ke arahnya. Dia meraih pinggang Layla dengan cepat, berpegangan erat padanya, dan dengan tenaga yang tersisa, dia menarik mereka berdua ke permukaan.

Air segar menyelinap ke dalam paru-paru mereka begitu mereka mencapai udara, tetapi Aire tidak memperdulikan rasa dingin yang menusuk-nusuk. Saat mereka akhirnya mencapai dermaga, Aire membiarkan tubuh mereka terkulai di tepi dermaga, napasnya terengah-engah setelah usaha yang keras. Dia melihat ke arah Layla yang terbaring lemas di sampingnya, Aire khawatir tetapi rasa lega memenuhi hatinya ketika dia melihat bahwa gadis berambut emas itu masih bernafas.

Perlahan-lahan, Layla mulai membuka matanya, dan Aire segera mendekapnya.

"Layla, kamu baik-baik sajakan?"

Bukannya menjawab Layla malah memeluknya era mencengkram baju Aire yang basah. Tubuhnya gemetar ketakutan gadis bermata bak zambrud itu menangis dalam pelukan Aire.

Trauma Layla terhadap air muncul dan disaat seperti itu Aire tetap memeluk Layla dengan erat, menenangkan gadis itu dengan kehangatan dan kasih sayangnya yang tulus. "Layla tidak apa-apa, kakak disini bersamamu."

Dalam pelukan yang hangat dan penuh kasih dari Aire, Layla merasa sedikit lega meskipun gemetar dan menangis. Dia merasakan sentuhan lembut dan kehangatan dari Aire, yang membuatnya merasa aman di tengah-tengah ketakutan dan trauma yang mengepungnya.

"Kakak...Layla takut..." Isak Layla dengan suara yang gemetar, air matanya masih mengalir deras.

Aire hanya mengelus kepala Layla dengan lembut, membiarkan gadis itu menumpahkan semua emosinya. Dia tidak menyuruhnya untuk berhenti menangis, melainkan memberinya ruang untuk melepaskan beban yang terlalu berat.

"Layla tidak apa-apa, kakak disini bersamamu," ucap Aire dengan suara yang penuh kasih, menguatkan hati Layla dalam momen yang penuh ketidakpastian.

Dalam kebingungannya, Aire merasa terombang-ambing antara emosi yang bertentangan. Di satu sisi, dia merasa marah dan kecewa pada Matthias atas ketidaktanggapannya saat Layla berada dalam bahaya. Namun di sisi lain, hatinya juga terpenuhi oleh rasa kasih sayang dan kekhawatirannya terhadap Layla yang kini terpapar oleh trauma yang mendalam.

Dengan tekad yang tegas, Aire memutuskan bahwa dia tidak bisa lagi tinggal diam melihat penderitaan yang dialami Layla. Hatinya terusik oleh pandangan Layla yang penuh ketakutan, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya terutama saat dimana alur berjalan dimana Matthias melecehkan Layla.

Sungguh Aire tidak bisa, dia merasa bertanggung jawab untuk melindungi gadis ini.

"Aku tidak bisa lagi melihatmu menderita seperti ini, Layla," gumam Aire, netra onyxnya bergulir mendongkak kearah tatapan biru Matthias yang hanya berdiam diri menatap keduanya tanpa reaksi apapun terhadap kejadian yang baru saja terjadi.

Dalam keadaan emosi yang memuncak, Aire menatap Matthias dengan tatapan tajam yang penuh dengan kekecewaan dan amarah. Netra onyxnya memancarkan kegigihan yang tak terbantahkan, mencerminkan ketidakpuasan dan ketidaksetujuannya terhadap ketidakpedulian Matthias.

"Apakah anda senang, Tuan, telah membuat sepupu saya hampir tenggelam?" ucap Aire dengan nada sarkastis, suaranya terdengar tajam di antara gemuruh sungai yang masih berarus di belakang mereka.

Matthias hanya diam, tetapi tatapannya tetap tajam dan tanpa ekspresi. Aire merasakan kekecewaannya semakin mendalam, namun dia tidak akan lagi membiarkan Matthias berlalu begitu saja tanpa pertanggungjawaban.

"Dia hampir mati, dan anda hanya berdiri disana tanpa bergerak!" lanjut Aire, suaranya memotong udara dengan tajam. "Apa yang sebenarnya anda pikirkan, Tuan?!"

Matthias, dengan nada yang sama acuhnya, menjawab, "Itu resikonya Layla karena tidak menuruti keinginan saya."

Aire menahan diri untuk tidak meledak dalam kemarahan. Dia merasakan amarah membara di dalam dirinya, tetapi dia mencoba mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya terasa hancur mendengar kata-kata dingin dari Matthias.

"Hanya tidak menuruti sampai tega anda membahayakan nyawa sepupu saya. Dasar bajingan!" bentak Aire dengan suara yang memancar kemarahan yang sulit ditahan.

Tetapi di balik wajah tenangnya, Aire juga merasakan luka yang dalam di dalam hatinya. Mendengar Matthias menganggap nyawa Layla sebagai 'Resiko' dari tidak menuruti keinginannya membuatnya merasa tak terima dan sakit hati. Namun, dia tahu bahwa sekarang bukanlah waktu untuk menyerah pada emosinya. Dia harus tetap kuat dan berjuang untuk keadilan, untuk Layla.

Jadi Aire melepaskan pelukannya dari Layla bangkit dan mengulurkan tangan, "Layla, ayo bangun, kita pergi dari sini," ucap Aire dengan suara yang penuh perhatian, memanggil Layla untuk bangkit dari kesedihannya. "Aku sudah muak berhadapan dengan manusia bajingan yang tidak punya empati."

Dia meraih tangan Layla dengan lembut, membantu gadis itu bangkit dari tanah basah di tepi sungai. Matanya masih memancarkan kemarahan terhadap Matthias, tetapi dia memutuskan untuk tidak lagi membiarkan kehadiran pria itu mengganggu mereka.

"Dia tidak layak untuk kamu layani Layla." lanjut Aire dengan suara yang mantap, mengarahkan Layla untuk pergi dari tempat itu menuju ke suatu tempat yang aman dan jauh dari kejahatan Matthias.

Mereka berdua meninggalkan dermaga dengan langkah yang mantap, tidak lagi mempedulikan keberadaan Matthias di belakang mereka yang memasang wajah dingin namun rumit.

______________________________________

Double update! Duarr!

Gimana pendapat kalian tentang chapter ini?

Jangan lupa Vote dan Comment!

See ya!

Duke's GripWhere stories live. Discover now