Prolog

3 0 0
                                    

Hujan deras turun melanda daerah tempatku tinggal. Aku terbaring di sebuah taman yang sepi dan menyedihkan, pandanganku hanya tertuju terhadap langit malam yang gelap dan terus memuntahkan air hujan ke wajahku.

Mataku rasanya berat sekali. Dengan segenap tenaga, aku berusaha duduk. Sialan, kepalaku sakit sekali! Seperti ada 100 pisau yang sedang menusuk kepalaku sekarang. Aku memerhatikan sekelilingku; gelap dan suram, menyedihkan dan dingin.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah tubuh dan tanganku. Darah? Mengapa aku berdarah-darah?

Mataku terbelalak. Aku baru ingat bahwa aku tadi sedang berkelahi dengan seseorang, dan aku kalah. Aku dikalahkan oleh seseorang yang aku sangat benci, menyebalkan. Aku bersumpah akan mencari bajingan itu!

Walau gemetar, namun aku paksa kakiku untuk berdiri. Masa bodoh, ah! Aku harus pulang secepatnya. Aku langkahkan kakiku sedikit demi sedikit. Ajaibnya, kakiku masih bisa berjalan dengan normal.

Suara hujan semakin deras diiringi dengan suara langkah kakiku yang pelan. Dengan sekuat tenaga aku berjalan keluar taman dan berusaha pulang menuju rumahku.

Aku tidak ingat ini sudah pukul berapa, tetapi perkiraanku ini sudah pukul sepuluh malam. Anehnya, aku merasa seperti ada yang mengikuti dari belakang.

Aku menolehkan kepalaku ke belakang. Tidak ada apa-apa. Aku lanjut berjalan tanpa memedulikan perasaan aneh itu.

Kompleks perumahan tempat tinggalku berada terlihat sangat sepi dan gelap. Seperti ada basuhan depresi yang melanda tempat dan orang-orang ini.

Srek... srek... Aku mendengar suara langkah kaki yang diseret. Perasaanku sudah tidak enak, namun rasa penasaranku sedang mengambil alih. Aku menolehkan kepalaku ke belakang dan benar saja, di belakangku terdapat makhluk putih botak yang memiliki wajah mengerikan dan tubuh yang kurus. Makhluk itu merangkak layaknya hewan.

Sekujur tubuhku langsung merinding. Setelah bertatap-tatapan sejenak,  makhluk itu langsung berlari kencang mengejarku! Alhasil aku harus berlari menjauh dari makhluk mengerikan itu.

Aku berlari dan berlari, mencoba mengingat jalan menuju rumahku. Seluruh tubuhku sakit karena memar dan berdarah, kakiku sakit saat berlari, namun aku tidak peduli. Pokoknya aku harus kabur.

Makhluk itu terus mengejar dan sepertinya ia haus darah. Darahku lebih tepatnya. Aku berbelok terus dan syukurlah, aku sudah melihat rumahku. Aku bergegas menuju rumahku dan mengetuk-ngetuknya.

"Ibu, ibu! Buka pintunya, ini aku Siti! Tolong! Aku dikejar monster, Bu!" seruku dengan panik sambil mengetuk-ngetuk pintu dengan keras.

Tidak ada jawaban. Makhluk itu terus mendekat dan perlahan-lahan berjalan ke arahku. Aku hanya bisa menutup mataku dan menangis. Inikah akhir dari diriku?

Tiba-tiba, pintu dibuka dan aku ditarik ke dalam. Lalu, pintu dikunci. Yang menarikku ternyata Ibu. Aku lega sekali melihat wajah Ibuku yang lembut dan penyayang.

Ibu langsung memelukku. "Nak! Kamu ke mana saja? Ibu khawatir sekali! Kamu baik-baik saja?" tanya Ibuku dengan sangat khawatir.

Aku tidak bisa mengatur napas dan detak jantungku. Dengan suara pelan aku menjawab, "Ibu... aku dikejar monster tadi..."

"Ibu tahu, Nak. Tetapi, kamu habis ke mana? Mengapa kamu memar-memar dan berdarah?" Ibu melepaskan pelukannya lalu menatap tajam ke arahku.

Aku mengalihkan pandanganku dari mata Ibu. Aku tidak yakin harus memberi tahu Ibu atau tidak. Setelah berpikir sejenak, aku akhirnya buka suara, "Ibu. Aku baru saja berkelahi fisik dengan seseorang."

Mata Ibu langsung terbelalak. Ekspresi wajahnya terlihat ingin marah namun tidak ia keluarkan.

"Mengapa, Nak? Mengapa! Kamu anak gadis, tidak seharusnya berkelahi sampai memar dan berdarah-darah seperti ini! Kamu berkelahi dengan siapa?" teriak Ibu dengan mata berkaca-kaca.

Aku benci saat Ibu menangis karenaku. Sekarang rasanya aku menjadi anak durhaka yang bisanya hanya mengecewakan orang tua. Karena amarah, aku mengkonfrontasi orang yang menyebabkan kekacauan ini, dan aku malah kalah. Bodoh sekali.

"Bu, lebih baik lukaku diobati terlebih dahulu. Nanti aku akan memberi tahu Ibu semuanya." usulku.

"Baiklah, Nak." Ibu mengusap air matanya dan tersenyum kecil. Lalu, ia menggotongku masuk ke kamar. Ibu mengeringkanku dan memberi baju ganti. Setelah aku berganti baju, barulah Ibu mengobati luka-lukaku dengan kasih sayang.

Ibu merupakan sosok yang tegar dan penyayang. Ayah sedang dinas ke luar negeri untuk mencari nafkah, karena itulah hanya ada aku dan Ibu di rumah. Dari kecil, Ibu selalu ada untukku. Bahkan baru-baru ini saat aku menjadi 'rusak', Ibu tidak mengurangi kasih sayangnya dan selalu mendukungku.

Setelah luka-luka dan memarku diobati, Ibu memerbanku dan menyelimutiku. Lalu, ia menggenggam tanganku dan bertanya dengan lembut.

"Nak, coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ibu tahu kamu sudah mengetahui asal wabah ini dan banyak hal. Jika kamu mau, ceritakanlah. Jangan dipendam, ya." kata Ibu lembut.

Aku menghela napas dalam-dalam, lalu aku membuka mulutku, "Begini, Bu. Aku tadi mengkonfrontasi seseorang. Orang ini adalah orang yang sangat kubenci. Ia yang menyebabkan kekacauan ini, dan merupakan penyebab diriku 'rusak'. Ibu pasti ingin tahu siapa yang menyebabkan kekacauan ini, kan?" Aku menjelaskan dengan lirih.

Ibu hanya menganggukan kepala. Memang, sejak ini semua terjadi, Ibu tidak terlalu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya tahu bahwa ada sebuah wabah yang menyebabkan orang-orang berubah menjadi monster. Aku sudah menyembunyikan banyak fakta tentang situasi ini dari Ibu, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberi tahunya.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 06 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Unorthodox Friends (A Tematik Fanfic)Where stories live. Discover now