19: Dia yang Menyadarkanku

79 19 4
                                    

Papa pulang ke rumah sejenak, sebelum matahari terbit. Beliau berdecak begitu melihatku terduduk di meja makan. "Kamu enggak tidur?"

Bagaimana bisa tidur kalau mimpi yang sama selalu siap menyekapmu kapan saja? Semalaman, aku memaksakan diri untuk tetap sadar dan mengerjakan sisa kerjaan yang bisa dibawa pulang. Kukirim lewat drive. Aku tidak mau buka nomor kerja. Takut. Meski begitu, aku masih sadar dengan tanggung jawabku, kok. Aku tidak mau menyusahkan siapapun di Masatoki.

"Sudah makan?" Pria paruh baya yang tingginya berjarak satu kepala dariku itu membuka pintu kulkas. "Belum juga? Astaga, Azlin. Kamu tuh Papa suruh pulang untuk jaga Mama, bukan ikutan sakit!"

Mana kutahu di kulkas ada makanan? Lagipula, aku sama sekali tidak lapar.

"Kamu lagi ada masalah di tempat kerja?" Papa melembutkan suaranya yang keras. Ditanya begitu, aku kontan menggeleng. Yang bermasalah bukan Runa, Nara, atau siapapun di Masatoki. Biang keroknya ada pada diriku sendiri, jadi jelas tidak bisa disebut masalah di tempat kerja.

Aduh, aku lupa kalau Papa termasuk orang peka. "Serius enggak ada?" Beliau terus mencecarku dengan pertanyaan. "Terus kenapa Azlin enggak tidur?"

Dengan kondisi Mama yang masih dirawat pascaoperasi, pasti pikiran Papa sedang penuh-penuhnya. Aku tidak tega kalau harus cerita tentang mimpi burukku. Apalagi tentang kematian Mama. Aku tidak ingin Papa ikut kepikiran. Masalahnya, aku juga tidak tahan kalau harus memendamnya seperti ini selamanya.

Tanpa bisa dicegah, air mataku mengalir.

"Mimpi buruk?"

Tepat sasaran. Kalau sudah begini, aku hanya bisa mengaku. Mulutku seakan kehilangan rem, karena semuanya langsung tumpah ruah. Mimpi kematian Mama beruntun sejak beberapa hari lalu, Runa yang menjauh persis seperti yang kumimpikan, Nara yang berubah sikapnya.

Kepalaku sudah berusaha membendung, tapi hatiku menolak. Wajar, sih. Aku memang sudah nyaris meledak di titik ini. Aku hanya bisa berdoa Papa tidak semakin terbebani oleh putri tunggalnya yang payah ini.

Usapan lembut menyapa puncak kepalaku yang awut-awutan. Papa membenahi kacamata dengan tangan satunya. "Kekuatan mimpi memang nyata, tapi ia ada bukan buat bikin pikiranmu lumpuh," Papa berujar. "Kalau percaya mimpi bikin kamu stres, Lin, mending enggak usah percaya dari awal aja."

Bagaimana bisa? Kota Ilusi begitu kental dengan budayanya yang mengagungkan pertanda dari mimpi. Papa harusnya lebih paham tentang garis keturunan keluarga besar kami.

Tuhan, kenapa aku yang harus mewarisi kemampuan ini?

"Azlin, Tuhan yang beri kamu kekuatan mimpi. Kuasa hidup-mati pun ada di tangan-Nya." Wajah pria yang sudah menginjak usia paruh baya itu jelas menyiratkan lelah. "Kamu bisa mengubah takdir dengan doa, Nak. Minimal doa sebelum tidur biar enggak mimpi buruk."

"Papa enggak paham." Suaraku bergetar. Enteng bagi beliau bicara begitu. Segala hal yang ada di mimpiku terlalu mirip dengan kenyataan untuk dibilang sekadar bunga tidur. Dan, hei, aku tahu takdir bisa berbelok, tapi aku sama sekali tidak melihat kemungkinannya untuk saat ini. "Azlin takut ...."

"Papa juga takut, Azlin. Kamu pikir Papa siap ditinggal istri?" Papa meraih puncak kepalaku dengan ekspresi legawa. "Tapi, dokter sudah bilang, kan? Progres Mama baik. Mama pasti sembuh."

Andai Papa tahu apa yang kudengar waktu itu.

"Salah satu penyebab orang tidak bisa berpikir jernih adalah lapar." Papa mengeluarkan pai apel dari kulkas. Celetukan itu membuatku teringat pada Nara, tapi buru-buru kuenyahkan senyum manis si brondong yang muncul di benak. "Ayo, Azlin. Sarapan dulu sebelum gantian jaga Mama."

[END] The Boy I Met in DreamKde žijí příběhy. Začni objevovat