14: Dia yang Menyakiti Hatiku

71 16 7
                                    

"Pesenan lo nggak jadi aja ya, Lin?"

Pagi-pagi, dan itu kalimat pertama yang Runa lontarkan. Aku bahkan belum sempat duduk. Tanganku yang tadinya mau menaruh toples isi overnight oat di meja Runa mengambang di udara. "Kenapa tiba-tiba? Runa ada kesibukan lain yang mendadak?"

Yang ditanya mendengkus. "Lo lagi hectic dan susah diajak diskusi," ujarnya tajam. "Baru sakit, lagi. Emangnya lo sanggup nambah freelance gambar dekat-dekat ini dengan kondisi kek gitu?"

Setelah cosplay jadi es beberapa waktu terakhir, Runa kembali ke setelan pabriknya yang kadang-kadang kelepasan judes di tengah cerocosannya. Yah, setidaknya ia tak lagi dingin padaku. Aku tersenyum lebar.

"Branding kan harus dibangun dulu sebelum mulai serius buka freelance," responku. "Aku enggak masalah, kok. Mungkin jadi slow response aja sampai proyek-proyekan kantor ini kelar."

"Buang-buang duit, ih." Mata bulat Runa mendelik. "Lo enggak lagi beneran butuh, kan?"

Dari awal, sebenarnya aku memang tidak sebutuh itu, sih. Aku masih belum berminat mengelola jenamaku di Instantok secepat itu. Tujuan awalnya kan bukan untukku, tapi untuk Runa. Hanya saja, bisa-bisa aku disemprot dan perang dingin kembali terjadi kalau alasan sebenarnya keceplosan.

"Lanjut aja, Runa. Nanti deh, pas makan siang kita diskusi kalau merchandise duniawi ini kelar." Aku beranjak, menaruh toples berisi overnight oat yang sama dengan milik Runa di meja Nara. "Jangan lupa kirim invoice-nya, ya."

Sebagai jawaban, Runa hanya berdehem dengan ekspresi yang sulit dibaca. Duh, Runa butuh uangnya kapan, ya? Anak itu belum cerita lagi tentang kondisi keluarganya. Yang jelas, ia sempat menyinggung biaya masuk kuliah untuk adiknya.

Benar juga. Kenapa aku tidak tanya lewat adiknya, ya, dari kemarin?

Aku langsung duduk dan meraih ponsel dari dasar tas. Panjang umur, kontak adik Runa ada di urutan teratas. Anak itu memang kadang-kadang mengirimkan curahan hati padaku kalau sedang ada masalah dengan kakak satu-satunya. Kali ini, ada apakah?

Kubuka pesan dari si adik.

"Kak Azlin, Kakak tau nggak ya Kak Una kenapa? Dari kemarin dia mencak-mencak mulu di rumah. Kantor lagi sibuk banget?"

Dahiku mengerut. Memang sibuk, sih, tapi kalau ditilik dari gelagatnya, pekerjaan Runa tidak sepadat itu. Lalu, Runa bukan tipe yang suka melampiaskan emosi pada keluarganya. Dia pernah bilang padaku, kalau kedua orang tuanya sudah terlampau sering bertikai saat ia kecil dan gadis itu tidak ingin adiknya merasakan hal yang sama. Biasanya anak itu cerita padaku sekalian pinjam telinga untuk samsak emosi, tapi sejak kami berkonflik waktu itu, belum ada cerita baru.

"Memangnya kenapa kok dia marah-marah?" balasku.

Pesan dari adik Runa datang secepat kilat. "Nggak tau Kak, makanya gue tanya." Ada jeda sesaat, notifikasi sedang mengetik muncul mengisi. "Tapi jujur, gue takut kalau dia stres gara-gara gue."

Alisku terangkat. Apakah ini benar-benar ada hubungannya dengan cerita Runa waktu itu? "Kenapa gitu?" Kuketik balasan atas pesan barusan.

"Duit pangkal kampus gue kagak ngotak, Kak."

Gotcha! Tanpa perlu kutanya, Tuhan berbaik hati mengarahkan adik Runa untuk menceritakan kondisinya padaku.

Pesan lanjutan masuk. "Gue enggak enak sama Kak Una, tapi gue juga dilarang kerja. Duit dari mana? Mending gue kagak kuliah sekalian enggak sih, Kak?"

Kalimat terakhir membuatku terhenyak. Andai anak itu ada di hadapanku sekarang, sudah pasti kutoyor kepalanya. Sebenarnya, sekarang pun aku ingin langsung menelepon dan mendengar suara Mei—adik Runa—menjelaskan situasi rincinya. Sayangnya, posisi dan kondisinya sama sekali tidak mendukung. Yang jelas, pernyataannya membuatku sedih. "Kalau Runa tahu kamu ngomong gitu, kamu bakal diamuk lebih parah," ketikku. "Berapa, sih, butuhnya?"

[END] The Boy I Met in DreamDove le storie prendono vita. Scoprilo ora