16: Dia yang Membawa Kabar Buruk

62 16 3
                                    

Bagus, Azlin. Setelah Runa, sekarang Nara juga ikut mendiamkanku. Semuanya karena aku salah bicara. Ada apa dengan mulutku, sih?

Aduh, aku malas kalau harus langsung kembali ke kantor. Kulirik jam yang ada di ponsel. Sebentar lagi jam makan siang, kok. Boleh, kan, kalau aku mangkir sebentar? Bisa-bisa aku meledak kalau langsung bertemu kerjaan dalam suasana seperti ini. Apalagi, meja Nara berada di depanku. Lebih baik aku tinggal sedikit lebih lama sampai gejolak dalam batinku mereda.

Di saat seperti ini, aku butuh kehadiran Mama yang menenangkan. Sebenarnya, kedai ini juga menyediakan menu dengan bubuk perasaan, dan itu bekerja baik untukku. Hanya saja, bubuk rasa bahagia terlalu mahal, dan bubuk penenang hati lebih mahal lagi. Telepon Mama gratis. Kutekan kontak Mama di ponsel, menanti nada sambung berubah jadi suara lembut Mama.

Tidak terhubung.

Tumben? Mama termasuk orang yang stand by dengan ponsel dan cepat dalam merespon. Kutekan tombol panggil dua kali lagi. Masih tak ada respons. Apa Mama sedang di luar? Aku coba bertanya di grup keluarga, tapi nihil. Papa juga tidak membalas. Tumben banget.

Oke, berarti aku harus mencari jalan lain. Aku menatap matcha latte-ku yang tandas dan taman yang menjadi latar belakang. Ke taman siang bolong juga bukan pilihan bagus, walaupun banyak orang di sana. Apa yang harus kulakukan?

Sejenak, aku memejamkan mata. Tidur siang beberapa menit sepertinya enak. Namun, kalau ada benda yang tepat untuk menggambarkan suasana batinku, roller coaster jawabannya. Sungguh, rasanya Tuhan tak mengizinkanku lama-lama bahagia.

Dimulai dari kembalinya mimpi pemakaman. Padahal barusan masih siang, tapi kali ini aku terjebak dalam sore kelabu. Tidak seperti mimpi pemakaman sebelum-sebelumnya, wajah orang-orang yang melayat tak lagi blur. Ada Papa, Nara, dan Runa di sana. Lautan manusia membelah jadi dua, seakan memberiku jalan untuk melihat siapa nama yang tersemat pada batu nisan.

Takut-takut, aku melangkah. Kuharap aku akan melupakan mimpi ini begitu bangun, jadi siapa pun yang kulihat namanya, tidak akan meninggal dalam waktu dekat. Lebih bagus lagi kalau nama yang terbaca nanti bukan seseorang yang kukenal. Dengan merapal doa seperti itu, aku mendekat pada gundukan tanah bertabur bunga segar.

Mataku membulat. Jeri. Itu ... nama lengkap Mama.

Berkali-kali aku membaca ulang, memastikan penglihatanku salah. Bahkan aku menyisir gerombolan manusia di sana, mencari Mama di sana. Tidak ada. Anehnya, Tante, Kakek, dan Nenek yang sudah meninggal berada di sana, menangis tersedu.

Papa maju, ikut berjongkok di samping makam. Suara beliau patah-patah dan jauh dari kata tegas, padahal biasanya aku sampai segan beberapa kali pada Papa karena suara tegasnya. Mata Papa berlinang air mata. "Yang sabar, ya, Azlin ...."

Bohong.

Begitu bangun nanti, aku pasti lupa, kan?

Ini cuma mimpi buruk, kan?

Aku tersentak dan nyaris terjungkal dari kursi kafe saat kembali ke dunia nyata. Aturan kekuatanku, kalau mimpinya terlupakan dalam waktu beberapa menit, yang ada di dalam sana tidak akan terjadi. Maka, aku berusaha mengalihkan pikiranku. Membuka media sosial, menengok komik pendek lucu.

Gagal. Makam Mama masih terpatri dalam ingatan. Malah makin kuat. Padahal, niatku setelah ini sekalian makan siang sebentar sebelum balik ke kantor, tapi selera makanku menguap seketika. Mama dan Papa masih belum merespon, pula. Cacing-cacing di perut mulai meraung dan aku masih belum mood mengunyah apa pun.

Jam di ponsel menunjukkan angka satu. Waktunya kembali ke kantor. Kutarik napas dalam-dalam. Setidaknya, aku harus bisa menyelesaikan pekerjaan hari ini. Untungnya, memang sisa pekerjaanku sudah tidak sebanyak yang sudah-sudah. Seharusnya hari ini atau besok pun tuntas.

Ayo, Azlin. Kamu bisa, kok, mengenyahkan perasaan buruk ini sejenak.

Baru juga kakiku menjejak di Masatoki, ada telepon masuk. Kupikir dari Mas Yogi atau Mbak Sella yang mencariku, tapi ternyata Papa. Tanpa berpikir apa-apa, aku mengangkat telepon beliau. Papa memang suka kangen tiba-tiba. Siapa tahu hatiku jadi lega setelah berbincang dengan Papa, kan?

Napas Papa terengah. Dahiku mengernyit. Sama sekali bukan pertanda baik.

"Mama masuk UGD. Kamu bisa pulang sekarang, Nak?"

Kali ini, aku berharap mimpiku tidak pernah dan tidak akan pernah jadi nyata.

*

01/05/2024. 641 words.

Emang pendek btw. Awalnya kupikir sekalian aja digabung sama part selanjutnya, tapi emosiku ga kuaat hahah. Untuk bagian ini, aku meminjam pengalamanku dua tahun lalu, saat aku lagi di perantauan dan tiba-tiba ditelpon kalau Ibu masuk rumah sakit. Jadi harap maklum ya kalau setelah ini kerasa in rush atau pendek banget. Ini aja udah hampir nangis ngetiknya wkwk :')

[END] The Boy I Met in DreamWhere stories live. Discover now