05: Dia yang Bertanya Tentang Kabarku

86 25 2
                                    

Untungnya, Mbak Sella menyetujui hasil rancangan proyek kami. Beliau memberi batas waktu dua pekan untuk pengolahan rubrik dan desain. Harapannya, konten itu bisa naik sebelum pemilihan pemimpin Antaranusa, sehingga bisa menjadi salah satu media edukasi dan pertimbangan.

Senangnya. Dengan ini, aku jadi punya alasan untuk memperbanyak interaksi dengan Nara!

“Azlin.” Mbak Sella memanggil ketika aku sudah di ambang pintu. “Belajar kontrol sifat keras kepalanya, ya.”

Dahiku mengerut. Kenapa tiba-tiba?

“Kata Yogi, kamu dan Nara sering berdebat urusan desain. Standarmu tinggi dan itu yang membuatku senang, tapi jangan paksakan itu ke orang lain juga, ya?”

Tunggu. “Sejak kapan aku dan Nara suka berdebat?”

“Sering, lho. Kalian enggak sadar?”

Perbandingan porsi Nara yang mendebatku dan Nara yang mendiamkanku itu jomplang. Lebih banyak mode dinginnya. Akhir-akhir ini kami memang lebih banyak bicara, tapi tidak bisa dibilang sering. Kayaknya sih, ini Mas Yogi yang melebih-lebihkan ceritanya!

“Tiap kali aku lewat ruangan kalian, ada aja yang kalian debatkan.” Seakan bisa membaca batinku, Mbak Sella melanjutkan. “Akur-akur, Lin. Kasihan Yogi, dia sampai bingung katanya.”

Hah? Padahal selama ini Mas Yogi juga diam-diam saja, kok, di ruangan. Pria itu juga bukan tipe orang yang sungkan menegur sepanjang aku bekerja dengannya. Kalau tidak menyentil dalam percakapan entah yang mana, berarti aman-aman saja, kan, seharusnya?

Rasanya aku ingin bertanya pada Mas Yogi bagian mana yang membuat beliau berpikiran seperti itu, tapi kalau dipikir-pikir lagi, jatuhnya masuk ke dalam jenis pertanyaan yang baiknya dipendam saja. Sebagai jawaban, aku hanya mengangguk dan pergi setelah sekali lagi berpamitan dengan Mbak Sella.

💭

Kota Nirkhayal memang terkenal karena panasnya yang menyengat, tapi biasanya aku masih bisa tahan di pagi hari. Tidak kali ini. Entah berapa dekat jarak matahari dengan bumi kali ini, yang jelas di saat seperti ini aku jadi ingin mengikat rambut.

Bodohnya, karetku kutinggal di kos.

Bagaimana, sih, cara menggelung rambut panjang tanpa bantuan ikat rambut dan kawan-kawannya? Sembari melangkah, aku mengutak-atik rambut merah sepunggungku, tapi malah berantakan hasilnya. Makin gerah, pula. Solusi satu-satunya adalah lekas sampai di kantor dan menyetel suhu pendingin paling rendah. Akan tetapi, cuaca membara begini membuat perjalanan menuju kantor terasa dua kali lebih lambat, dan itu menyebalkan.

Saat melintasi halte, seekor kucing hitam lewat. Keempat kakinya berjalan ke arahku, lantas ia menyundul betisku dengan kepala. Dia mungil dan warnanya hitam legam sempurna.

Pernah dengar kucing hitam adalah pembawa kesialan? Dalam hidupku, pertanda semacam itu nyata dan pasti terjadi. Oh, tidak. Bala apa yang akan kutemui hari ini?

Oke, Kucing. Anggap saja kita tidak pernah bertemu, ya. Aku ingin menjalani hari tanpa kendala hari ini.

Baru beberapa langkah menjauh dari halte, ada kucing hitam. Lagi. Kali ini ukurannya cukup besar dan matanya bulat, tapi tetap saja itu kucing hitam. Apakah ini induk dari si meong di halte tadi? Hewan itu tak kunjung pergi. Dari sisi luar trotoar, ia menatapku dengan mata kucingnya yang berkilatan.

Mendadak, badanku meriang. Apakah ini efek kegerahan? Namun, rasanya berbeda. Kalau sedang demam, panasnya itu berbeda. Ada sensasi menggigil yang jauh dari kata nyaman, dan itu yang kurasakan sekarang.

Kucoba mengingat mimpi semalam. Entah ini pertanda baik atau buruk, tapi aku sama sekali tak dapat mengingat detailnya. Hanya perasaan gelisah yang menaungi sejak bangun. Dan sekarang aku dapat gejala demam ….

[END] The Boy I Met in DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang