13: Dia yang Mengejarku dalam Mimpi Buruk

39 13 9
                                    


"Kenapa lo selalu ikut campur masalah gue sih?"

Aku tahu ini masih di dalam mimpi, tapi Runa baru saja menyentakku dengan kalimat senada beberapa hari lalu. Sulit membedakan mana kenyataan, pertanda yang akan mewujud, dan mana yang sebetulnya hanya ada di kepala.

Tuhan, aku ingin bangun. Kenapa anugerah mengintip masa depan melalui mimpi ini tidak dibarengi dengan kekuatan kabur dari mimpi buruk?

Bibirku kelu. Ada duka teramat dalam yang tak kuketahui sumbernya. Mungkin karena mimpi pemakaman yang terus berulang. Alih-alih bertanya kenapa Runa semarah itu, aku malah bertanya siapa yang meninggal.

"Enggak penting buat lo tau." Runa menatapku sinis. Intuisiku berusaha menerka maksudnya, tapi nihil. Keluarga Runa? Siapa? Apa aku harus memperingatkan hal ini? Namun, dugaan itu hanya asumsi. Aku masih belum bisa melihat siapa yang terkubur. Bisa-bisa Runa yang di dunia nyata makin murka kalau aku menceritakan mimpiku yang ini.

"Lo cuma anak manja yang enggak bakal bisa ngertiin derita orang, Lin." Gadis yang mengenakan bandana hitam itu balik badan, memunggungiku. "Orang yang hidupnya bahagia terus kayak lo mana bisa paham?"

Oh, sial. Di mimpiku, yang mengucapkan memang Runa, tapi di dunia nyata tidak hanya satu-dua orang yang pernah bilang begitu. Sepertinya mimpi kali ini bercampur dengan kenangan buruk dari masa lalu. Jenis mimpi yang paling kubenci.

Tanah yang kupijak mendadak jeblos. Aku kembali ke masa sekolah. Seragam putih merah membalut badan. Gelang manik-manik yang kubawa ke sekolah untuk dibagi sebagai oleh-oleh, berhamburan di tanah. Tak berbentuk lagi.

"Kamu pikir nyogok pakai gelang murahan gitu bisa bikin kami mau temenan sama kamu?" Seseorang bermuka rata mendekat. "Enggak usah ngasih-ngasih gini, deh. Kamu cuma mau pamer, kan, habis liburan ke tempat yang kita enggak mampu ke sana?"

Ini salah satu fragmen memori yang ingin kulupakan. Kenapa malah muncul lagi? Terlalu detail, pula. Perbedaannya hanyalah semua wajah di sekolah jadi rata ... yang sama sekali tidak membantu sebenarnya, karena entah bagaimana alam bawah sadarku masih bisa mengenali nama mereka satu-satu.

"Emangnya kamu doang yang bisa lihat masa depan di mimpi? Bohong doang kan kamu?"

"Kenapa yang kejadian selalu mimpimu yang buruk? Dasar pembawa sial!"

Saat kecil, aku tidak bisa melawan. Yang kulakukan hanya menangis. Kukira, dengan jiwa dewasa yang terjebak dalam tubuh masa kecil dan realitas alam yang berbeda, aku bakal menjerit. Mengkonfrontasi balik. Nyatanya tidak. Aku tetap menangis dan ciut hati.

Tiba-tiba, semua wajah berubah jadi Runa. Mata bulatnya menatap penuh penghakiman. "Mati kau," ujar para Runa dalam seragam merah putih. Jumlah mereka berlipat ganda, dan mereka menyergapku. Entah sejak kapan latar sekolah berubah jadi rooftop kantor, dan Runa-Runa itu mendorongku jatuh.

Tunggu. Yang ini bukan gambaran masa depan, kan?

Kukira mimpiku selesai di sini. Ternyata aku pindah lagi, kali ini di ruangan redaktur. Tidak hanya Runa yang marah dalam mimpiku, Mbak Sella juga.

Iya, wanita jangkung itu muncul dalam balutan baju hitam-hitam. Rambut panjang lurusnya dikuncir kuda, tapi berkibar-kibar akibat embusan angin entah dari mana. Yang jelas, suasananya mencekam, dan udara di sekitarku lebih dingin dari es.

Lagi-lagi, aku hanya bisa membeku. Tidak bisa kabur, tidak bisa bangun.

"Lo kenapa jadi enggak becus gini?" bentak beliau. "Apaan nih? File hilang, hasil gambar berantakan, desain kagak ada yang bener. Lo niat kerja, enggak, sih?"

[END] The Boy I Met in DreamWhere stories live. Discover now