13: Dia yang Mengejarku dalam Mimpi Buruk

Beginne am Anfang
                                    

Bukan mauku semua berkas proyek kami hilang! Aku ingin membela diri, tapi lidah bersekongkol dengan bibir untuk membungkamku. Sama sekali tak memberi kesempatan padaku untuk membela diri, Mbak Sella terus mengamuk. Suaranya mulai samar di kepala seiring menggelapnya suasana di sekelilingku. Ketika aku membuka mata, aku sudah kembali ke kamar.

Aku sudah bangun?

Kuraba wajah, kucubit lengan. Oke, yang ini nyata. Sungguh mimpi yang terasa panjang, dan ternyata aku hanya tidur tiga jam setelah melihat ponsel. Alih-alih bugar kembali, lelahku jadi berlipat ganda. Namun, aku terlalu takut untuk terpejam kembali. Aku tidak mau mimpi buruk dua kali sehari dan menambah kesialan untuk diri sendiri. Terlalu banyak yang kuingat sampai aku tidak bisa menebak mana yang akan sungguhan kejadian.

*

Efek tidak tidur sampai matahari terbit? Tentu saja mata bengkak. Sekarang, mataku bentukannya macam bulan sabit diputar sembilan puluh derajat. Tidak sampai hilang sepenuhnya sih, tapi tetap saja. Paduan kepala berdenyut dan pandangan kabur bukan perpaduan yang bagus. Jangankan memasak, jalan ke kamar mandi pun aku tak sanggup rasanya.

Sialnya lagi, mimpi absurd tadi terus terpatri dalam ingatan. Entah bala mana yang akan mewujud. Semoga tidak ada. Sudah cukup nasib burukku yang tak bisa tidur semalaman ini.

Aku memutuskan untuk tidak sarapan hari ini. Tentu saja menu untuk Runa dan Nara juga kulewatkan. Toh, mereka bisa cari makan sendiri, kan? Biasanya Runa juga beberapa kali protes kalau kubuatkan sarapan yang menurutnya merepotkan.

Tidak ada Nara atau siapapun yang kujumpai sepanjang jalan kaki ke kantor. Langkahku setengah terhuyung, dan aku sengaja merapat ke sisi bangunan karenanya. Aku masih sayang nyawa dan masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Entah bagaimana penampakanku di mata orang kantor. Yang jelas, Mas Yogi sudah tiga kali bertanya apakah aku sehat. Aku hanya menjawab seadanya. Lagipula, apapun jawabanku, tidak akan mengubah fakta kalau banyak bagian yang harus kukerjakan dan tak bisa dialihtugaskan padanya maupun Nara.

"Lin. Lo kayak hantu." Runa langsung mengutarakan pendapatnya tanpa tedeng aling-aling saat pantatku menyapa kursi kerja. "Mimpi buruk apalagi yang bikin lo kepikiran?"

Kok, Runa malah bersikap baik dan bertanya tentang kabarku lebih dulu?

Belum sempat aku membalas, Mbak Sella datang. Ekspresinya sulit terbaca. Beliau langsung menghampiri mejaku. "Apa kabar, Azlin?"

"Hmm." Sepertinya, bagian mimpi kena semprot Mbak Sella yang akan jadi kenyataan. Nada yang dipakainya terdengar tajam di telingaku, tapi otakku terlalu lelah untuk membuat alasan ngeles maupun merespon dengan baik. "Lagi kugarap, Mbak Sella. Bisa selesai tepat waktu, kok. Tolong jangan ditanya-tanya dulu."

Sepertinya aku terdengar lebih jutek dari yang kumaksud. Biarlah. Biar sekalian diomeli dan rentetan kesialanku berakhir. Aku sudah siap kalau setelah ini aku disuruh menghadap dan semua salahku terbeber. Mirip kejadian dalam mimpi. Lebih baik itu saja yang sungguhan terjadi, daripada Runa menyuruhku mati.

"Siapa yang mau nanya kerjaan, sih?" Mbak Sella berdecak. Amplop putih dengan ornamen bunga mendarat di mejaku. "Gue minggu depan nikah. Awas lo kalau sampai enggak datang!"

Oh. Aku hanya mengangguk sambil lalu, kembali fokus menuntaskan gambar yang tengah kugarap.

"Kok lo diem aja sih? Aneh!" Mbak Sella menarik kursi entah milik siapa, mendekat. "Lo enggak minat tanya gue nikah sama siapa di mana, gitu? Biasanya juga lo heboh sendiri kalau ada kabar begini. Lo suka enggak percaya, kan, kalau gue bilang gue punya doi?"

Berani sumpah, suara Mbak Sella jadi cempreng dan menggema di kepala. Mending kalau enak didengar. Di telingaku, semuanya terasa seperti sinyal bahaya. Atasanku yang satu itu hanya berusaha basa-basi sebelum masuk ke inti masalah. Ini pengalihan. Rasanya buruk.

[END] The Boy I Met in DreamWo Geschichten leben. Entdecke jetzt