12: Dia yang Membuatku Cemburu

Start from the beginning
                                    

"Itu, freelance ngurusin akun lo. Enggak jadi?"

Ah, iya. Sejak kemarin, aku terlalu fokus menggambar ulang berkas-berkas yang hilang. Runa beberapa kali tanya, tapi aku lebih sering minta maaf karena belum bisa fokus berdiskusi. Meski begitu, bukannya tidak ada progres sama sekali, kok. Kemarin kami sempat membahas tentang citra apa yang ingin kutampilkan melalui chat ....

Ah. Aku lupa membalas pesan terakhir Runa. Apa karena itu dia marah lagi? Namun, Runa bukan tipe orang yang mudah ngambek hanya gara-gara pesan tidak terbalas, kok. Lagipula, Runa akan langsung bertanya alih-alih marah kalau memang butuh jawaban segera, jadi rasanya tidak mungkin.

"By the way, tumben asin, Kak." Tiada angin tiada hujan, Nara berceletuk.

"Hah?"

"Lo kenapa sih, Kak? Habis mimpi apa kok kayak orang mabok gini pas diajak ngomong?" Nara mengerutkan dahi. "Ini, apa sih namanya? Sushi? Dagingnya asin banget. Lo enggak sengaja mau bikin gue darah tinggi, kan?"

Memang sih, penampakan sushi dan kimbap mirip, tapi rasanya berbeda. Hanya saja, mood-ku benar-benar terjun bebas hari ini dan aku terlampau malas untuk mengoreksi.

"Aneh banget lo diem gini, Kak." Nara berkomentar lagi.

Memang aneh, aku pun heran. Mungkin ini hari kebalikan, karena dari tadi malah anak itu yang lebih banyak bicara. Si lelaki brondong mencomot sebiji kimbap lagi, kali ini isinya ayam dan wortel. "Biasanya juga lo tau-tau main cerita aja, padahal kagak ada yang nanya."

Sesuatu dalam kalimat Nara membuatku terpantik. Apa Runa juga kesal padaku karena alasan yang sama? Karena jika ya, mungkin—lagi-lagi—aku bisa minta saran pada Nara. 

"Kamu terganggu?" tanyaku. "Kamu kesal kalau ada orang yang kayak aku, suka tiba-tiba cerita?"

Keheranan membayang jelas dalam ekspresi Nara. "Gue enggak ada bilang terganggu, perasaan. Lo kenapa sih, Kak?"

Jujur, aku tergoda untuk menceritakan mimpi di pemakaman. Semalam aku melihat hal itu lagi, dan kalau boleh jujur, itu juga yang berkontribusi dalam anjloknya perasaan bahagiaku hari ini. Apalagi karena Nara kelihatan bersedia untuk merespon. Yah, walaupun skeptis tercetak jelas di mukanya, tetap saja itu pertanda baik. Meski begitu, aku takut Nara malah merasa tidak nyaman, lalu menjauh perlahan.

Apakah Runa juga mulai menjauh karena sudah tidak tahan menyembunyikan rasa kesalnya padaku? Ampun, deh. Kok rasanya akhir-akhir ini segala hal yang kulakukan jadi serba salah, ya?

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Nara, Mas Yogi datang menghampiri. Setumpuk kertas berada dalam genggaman. Firasatku buruk.

"Nih, brief kebutuhan tambahan untuk divisi desain minggu ini dari Mbak Sella." Mas Yogi meletakkan lembaran kertas ke dalam tray yang bertengger manis di atas meja. "Udah ada tanggal posting-nya juga buat yang di-upload di Instantok dan Barker, tapi kalau masih bingung sama detailnya bisa buka deck kerjaan yang biasa, ya."

Mbak Sella memang lebih suka memberikan arahan secara manual lewat kertas cetak begini alih-alih memanfaatkan teknologi, tapi bukan itu masalahnya. Aku sudah cerita pada beliau terkait insiden (atau lebih tepatnya tragedi, sih) terkait hilangnya berkas proyek yang tinggal seminggu lagi itu, jadi harusnya beliau paham dengan kesibukan kami berdua. Kenapa bukan Mas Yogi saja, sih, yang mengerjakan?

Menolak pun jelas tidak bisa. Aku bukan Bos yang punya kuasa atas gaji para karyawan. Sepertinya memang setelah istirahat makan siang aku harus fokus menghadap layar agar semua bisa selesai segera.

"Oh, Azlin, satu lagi. Lo hari ini bisa lembur kan? Soalnya ada konten yang harus keluar malam ini banget, tapi narsumnya baru bisa ketemu reporter sore ini." Mas Yogi menoleh padaku. "Terus, Mbak Sella maunya kamu, soalnya mintanya ada ilustrasi sekalian. Masih nyambung sama proyek tokoh politik juga katanya."

Astaga. Ini pula. Tidak bisakah Mas Yogi membaca rasa frustasi yang menjerit dalam ekspresiku dan menyampaikannya kepada atasan kami tercinta yang satu itu?

Dalam kondisi biasa, aku pasti sudah merepet panjang kali lebar sebagai bentuk protes. Akan tetapi, sekali lagi, aku sudah terlampau lelah. Jadi, aku hanya bisa mengangguk penuh kedongkolan. Kebetulan juga kimbap yang kata Nara keasinan tadi sudah tandas (biarpun  dibilang keasinan, Nara yang lebih banyak menghabiskan). Aku langsung kembali ke komputer, membuka berkas-berkas pekerjaan.

Seakan bisa membaca aura kegelapan yang menguar, Nara menyemangati. Yah, memang amat sangat tercetak jelas, sih. Sepertinya tidak perlu kepekaan tingkat tinggi untuk membacanya. Aku hanya berterima kasih secara singkat sebelum memisahkan pekerjaanku dan milik Nara.

"Azlin, kapan lo bisa bahas branding medsosnya?"

Sumpah, dari kemarin aku sudah coba bertanya pada Runa, tapi responnya malah pendek-pendek. Kenapa giliran pekerjaanku menumpuk, dia malah mengajak diskusi?

Kepalaku rasanya mau meledak. Kutarik napas dalam-dalam. "Bentar, Run. Nanti ya."

"Oh, oke." Runa merespon pendek sebelum beralih ke meja Mas Yogi yang ada di seberang. Hanya berbincang sebentar, lantas ia menarik kursinya ke tempat di sebelah Nara. Mataku memang fokus ke layar, tapi dari ekornya aku bisa melihat kedua orang itu berbincang akrab. Sepertinya tentang buku entah apa yang mereka bahas tadi pagi, karena Runa beberapa kali menunjuk halaman dari buku yang terbuka di meja Nara.

Mereka bahas apa, sih? Aku juga mau ikut nimbrung, tapi aku tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Selain itu, walaupun sudah mencuri dengar untuk memahami pun, aku bukan tipe orang yang bisa bekerja sambil mengobrol. Itu sebabnya tadi aku menolak ajakan diskusi Runa.

Semakin dilihat, semakin akrab mereka berdua di mataku. Kalau beberapa hari lalu aku hanya sedikit nyeri, kali ini hatiku benar-benar terbakar. Lagi-lagi, aku tidak tahu faktor mana yang lebih menyayat hati: jarak antara aku dan Runa yang kian renggang, atau Nara yang makin akrab dengan Runa.

Kemungkinan besar yang pertama, sih. Kalaupun ternyata alasan utamanya yang kedua, memangnya aku siapa? Aku saja belum bisa memastikan kapan tepatnya mimpi pernikahan itu akan terwujud ... atau, lebih tepatnya, akankah mimpi itu benar-benar terwujud?

Ini buruk. Aku mulai meragukan hal yang paling kupercayai dalam hidup.

*

Bekerja sambil cemburu bukan ide bagus. Sejak tadi, aku berkali-kali salah menarik garis, mengambil warna, menekan tombol. Kecerobohan yang sepele, tapi cukup ampuh menambah kekesalan dalam hati. Akhirnya, saat sore tiba, aku minta izin ke Mas Yogi untuk beli minuman sebenar. Hitung-hitung sekalian beli makan untuk lemburan.

Saat lembur tidak perlu kuceritakan detail, lah, ya. Tidak ada yang istimewa. Nara tidak ikut lembur, karena seperti yang dibilang Mas Yogi tadi, Mbak Sella maunya aku. Aku sempat berharap dia mau berbaik hati menunggu di kantor, tapi kalau dipikir-pikir, memangnya aku siapa? Bisa-bisanya berharap sesuatu yang mustahil.

Sungguh, hari ini membuat kepalaku penat. Aku sungguh berharap ada mimpi baik yang mampir untuk pelipur lara, tapi begitu terkapar, mimpi pemakaman kembali menyergapku. Aku tidak berani menyerahkan diri ke lautan mimpi dan berusaha tetap terjaga, tapi tetap saja orang-orang di makam menyergapku beberapa waktu kemudian.

Mimpinya sama persis, pun nisan tak terbaca dan wajah-wajah tak dikenal. Semuanya persis, termasuk aku yang tak bisa melarikan diri.

Ralat. Ada satu yang kukenali wajahnya, dan itu Runa. Sayangnya, alih-alih tersenyum atau menangis atau reaksi apa pun yang wajar kau jumpai dalam pemakaman seseorang, gadis itu ... marah.


26/04/2024. 1572 words.

Wow, freaking 6 days cuma buat 1 bab. T-T dan masih ada 8 bab lagi. ada kerangka tidak membuatku lebih lancar menulis, nangis banget.

Kemarin aku demam, gengs. Sekarang masih nyisa dikit sih, tapi hamdalah udah bisa masuk kerja. Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini dan bikin aku lumayan harus kerja keras (baru ketipu wkwk), tapi semoga aku bisa menamatkan cerita ini by the end of April, ya! :')

[END] The Boy I Met in DreamWhere stories live. Discover now