Part 18

104 11 13
                                    

Happy Reading
...

Bagi sebahagian orang, hari minggu adalah waktu yang paling tepat untuk berleha-leha. Meski hanya di rumah saja, rasanya sudah seperti mendapatkan energi baru.

Lea dan Raden juga melakukan hal yang sama. Selesai sarapan dan beres-beres rumah, Lea dan Raden kembali bergelung dalam selimut. Terlebih lagi di luar sedang hujan deras, kombinasi yang sangat pas.

"Mas," ucap Lea sambil menusuk-nusuk pipi Raden dengan jari telunjuknya.

"Hmmm," respon Raden singkat.

"Waktu kuliah, ada berapa orang yang ngajak Mas pacaran?" Lea sedang mencari penyakit sendiri,  nanti dijawab jujur sudah pasti ia kesal,tidak dijawab lebih kesal lagi. Wanita selalu serumit itu.

"Berapa ya?" Raden berpikir sambil menggunakan jari jemarinya untuk menghitung. Lea membulatkan matanya, ketika melihat Raden mempergunakan sepuluh jarinya untuk menghitung. Lea mulai tersulut api cemburu, bagaimana bisa sebanyak itu yang mengajak suaminya untuk pacaran? Lea mengibas-ibaskan telapak tangannya ke arah wajahnya, tandanya Lea mulai kepanasan.

"Mas kurang ingat pastinya, menurut perhitungan Mas tadi sudah pasti lebih dari 10," jawab Raden dengan enteng.

"Sebanyak itu?" tanya Lea, nada suaranya tidak bisa santai lagi.

"Iya, soalnya dari jurusan lain juga ada, bahkan beda fakultas juga ada." Raden menyombongkan diri.

"Ih, kok wanita-wanita zaman sekarang modelannya pada suka ngejar ya. Serem banget." Lea menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kamu juga gitu," goda Raden.

"Beda dong, Mas." Lea tidak diterima disamakan dengan penggemar-penggemar Raden itu.

"Lea nggak mau disamain, Mas nyebelin ih!" Lea mencubit lengen Raden.

"Iya beda kok beda, buktinya kamu udah jadi istri Mas nih sekarang. Mas milihnya kamu." Raden lagi-lagi melemparkan senyum menggodanya.

"Terus si Widya-widya itu, gimana?" Saat menanyakan hal itu Lea menunjukkan ekspresi se-datar mungkin. Lea tentu merasa gengsi kalau sampai Raden tahu sebenarnya dia cemburu saat melihat Raden mengobrol dengan Widya tempo hari.

"Widya? Tiba-tiba banget nih langsung sebut nama?" Raden menaik turunkan alisnya. Raden terlalu peka untuk Lea yang gengsi mengungkapkan kecemburuannya.

"Ih bukan gitu maksudnya, Mas." Lea jadi gelagapan, terlebih lagi Raden masih terus menunjukkan senyum menggodanya. Membuat Lea jadi malu sendiri.

"Yaudah nggak usah dijawab, anggap aja Lea nggak pernah menanyakan soal yang tadi. Lagian nggak penting juga kok. Mending kita bahas yang lain." Lea langsung mengalihkan pembicaraan.

"Jadi waktu reuni itu, kamu paling cemburu sama Widya?" Mana mungkin Raden menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda Lea,  hal ini sangat sayang untuk dilewatkan.

"Siapa juga yang cemburu!" sangkal Lea.

"Oh jadi nggak cemburu nih, baguslah. Kalau gitu boleh dong kapan-kapan Mas ngobrol lagi sama Widya, nggak ada masalah berarti?"

Satu cubitan kembali mendarat di lengan Raden. "Ganjen banget ya kamu, Mas." Cubitan berikutnya mendarat di perut Raden.

"Sakit, Lea," rengek Raden, manja.

"Ini belum seberapa, Mas. Awas aja ya kalau sampai Mas berani diam-diam ketemuan sama Widya di belakang, Lea."

"Gemesnya." Bukannya merasa terancam, Raden justru semakin gemas dengan Lea. Pipi Lea menjadi sasaran empuk untuk menyalurkan kegemasan Raden kepada Lea.

"Lea lagi serius tau, Mas."

"Berarti kamu beneran cemburu sama Widya?"

Lea menggeleng, gengsinya masih setinggi langit. "Itu hanya semacam perasaan tidak nyaman aja, Mas. Lagian apa kata orang coba kalau ngelihat Mas akrab sama wanita lain, kita nanti bisa jadi bahan gosip orang-orang, Mas."

"Kalau cemburu mah cemburu aja, Lea. Nggak perlu diganti bahasanya dengan istilah tidak nyaman." Raden ternyata belum puas menggoda Lea, sedangkan Lea sendiri mulai merasa jengah.

"Iya iya, Lea cemburu." Lea mengerucutkan bibirnya, menunjukkan kekesalannya. "Gimana nggak cemburu coba, Mas kan biasa irit ngomong. Tapi  pas ngobrol sama Widya, seru banget keliatannya. Istri mana yang nggak cemburu, kalau suaminya begitu. Lea juga manusia biasa, Mas." Lea mendramatisir keadaan, dia sangat ahli melakukan hal-hal yang seperti ini.

"Oke, biar Mas jelasin. Dengerin Mas baik-baik ya." Raden menatap Lea, sebelum melanjutkan ucapannya.

"Lea, kebetulan Widya itu memiliki usaha yang sama dengan kita, dia juga punya Restoran. Jadi pembicaraan Mas sama Widya waktu itu hanya seputar itu saja, tidak ada yang pembicaraan yang menyangkut hal pribadi. Kami hanya sebatas Membahas peluang bisnis di bidang kulinier ke depannya."

"Ya apapun alasannya, Lea nggak suka Mas. Apalagi lawan bicara Mas itu salah satu orang yang pernah suka sama Mas. Terlebih lagi Widya juga belum nikah, kan? Siapa yang bisa jamin kalau dia nggak ada perasaan lagi sama Mas. Lea tetep nggak suka."

"Jadi, Kamu nggak percaya sama, Mas?"

"Lea sih percaya-percaya aja sama, Mas. Tapi, enggak dengan wanita-wanita yang pernah suka itu sama, Mas. Lea tetep harus waspada."

Raden merapatkan tubuhnya dengan Lea, membawa Lea dalam dekapannya. "Kalau kamu benar-benar setakut ini kehilangan, Mas. Mas mohon kamu jangan pernah terpikir lagi untuk mengakhiri hubungan kita, ya. Jangan sampai terulang untuk yang kedua kalinya." Lea menganggukkan kepalanya. "Nggak akan lagi, Mas. Lea baru sadar, ternyata di luar sana yang mengantri untuk menjadi Nyonya Raden masih banyak."

"Lea nggak akan pernah rela Mas dimilikin sama wanita lain. Mas itu cuma milik, Lea. Dan selamanya akan seperti itu."

"Setuju." Raden tersenyum, sangat manis. Sampai Lea tidak berkedip.

"Jangan tunjukin senyum yang seperti ini di hadapan orang lain ya, Mas." Sifat posesif Lea sudah kembali berjalan semana semestinya.

Raden hanya mengedikkan bahunya. "Mas!" Lea menekankan suaranya. "Iya Lea, Mas mana pernah sih tebar-terbar pesona di luaran sana. Mas nggak tebar pesona aja udah banyak yang nyantol, apalagi Mas tebar pesona, " ucap Raden dengan percaya diri.

"Ini nih yang buat Lea malas muji, Mas. Sekalinya dipuji langsung lupa diri." Lea berdecak kesal.

Raden tertawa renyah, ia sudah cukup puas melihat beragam ekspresi Lea sejak tadi. Mulai dari kesal, tersipu malu, sampai kembali kesal lagi.

"Lea." Intonasi suara Raden terdengar lebih serius.

"Mas nyaris kehilangan akal sehat waktu kamu minta pisah dari, Mas." Raden mengungkapkan isi hatinya.

"Seperti mimpi buruk untuk, Mas."

"Lea berjanjilah sama Mas, hanya maut ya yang boleh memisahkan kita."

"Iya, Mas. Lea nggak akan pernah bertindak sebodoh itu lagi, Lea janji." Raden dan Lea menyatukan jari kelingking mereka.

"Mas pegang janji kamu."
...

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hingga SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang