10

272 21 3
                                    


Sepasang mata sayu berkedip sekali, netra berwarna coklat terang tersebut memandang lurus pada seorang wanita yang tengah mencuci piring di atas wastafel, wanita yang sama sekali tidak mau berbicara padanya, dan sudah seminggu semua itu berlalu.

"Ika." Demal memanggil. "Ika masih marah sama Demal?" Hening, tak ada jawaban, hanya suara air mengalir dan piring keramik yang bergesekan, lah, yang terdengar. Pelukan Demal pada boneka lumba-lumba di pangkuan mengerat, tangis yang akan pecah ia tahan sebisa mungkin.

Gea—wanita yang sedari tadi ditatap—telah selesai dengan piring-piring kotor di wastafel. Setelah selesai membilas dan menyusun seluruh piring ke tempat semula, Gea langsung beranjak dan pergi ke ruang keluarga. Demal yang melihat itu lantas bangkit dari kursi yang tadi ia duduki dan langsung mengejar sang istri. "Ikaa, tunggu Demal!"

Wanita tersebut langsung mengambil posisi duduk begitu sampai di ruang keluarga, mengabaikan Demal yang masih berdiri dan tengah bimbang akan sesuatu. Gea yang fokus menonton siaran di televisi sadar bahwa pria yang membuatnya marah sedang berusaha menahan isak tangis yang ingin keluar karena ia tampak tak peduli pada pria itu.

Demal mulai melangkah perlahan mendekati Gea, memberanikan diri dengan berkata, "Ika ... peluk ...." Suara si pria terdengar bergetar. Demal merasa sedih karena selalu diabaikan oleh istrinya sendiri, ia juga marah pada diri sendiri karena telah membuat sang istri khawatir karena kepergiannya yang tak diketahui oleh orang yang ada di rumah juga oleh teman-teman Demal yang sekiranya bisa ditanyai Gea.

Terdengar suara berdecak. Demal yang tadi menunduk kini mendongak saat melihat Gea merentangkan sebelah tangan, memberi akses padanya yang tadi meminta pelukan. Si pria yang merasa mendapat izin dengan segera menghampiri Gea dan menghambur ke dalam pelukan si wanita, memeluk istri tercintanya dengan erat agar tidak ditinggalkan dan diabaikan.

Kedua orang yang telah menikah itu saling diam. Demal tidak berani memulai pembicaraan karena ia yakin bahwa Gea tidak akan mau menanggapinya.

Beberapa jam telah berlalu, kini Gea mulai merasa bosan dengan siaran-siaran yang tayang di televisi. Matanya menatap ke bawah, kepada Demal yang terlelap di dalam peluknya. Wanita itu menghembuskan nafas, kemudian tersenyum tipis sambil mengelus rambut Demal yang tebal. Puncak kepala Demal ia kecup dalam waktu yang lama, menumpahkan rasa cintanya pada pria yang sedang ia abaikan.

"Bayi bandel," kata Gea. "Kalau mau bepergian itu seenggaknya kabarin Ika atau orang yang bisa Ika tanyai nantinya. Kalau pergi tanpa bilang apa-apa, kan, Ika yang kecarian." Tangan Gea dengan telaten merapikan rambut Demal sambil mengomeli sang suami yang terlelap. Kedua matanya tak bisa lepas memandangi wajah damai si pria yang sedang menjelajah di dunia mimpi.

Setelah puas memandangi wajah Demal, Gea bangkit sambil menggendong tubuh bongsor pria itu dan membawanya ke kamar. Demal dibaringkan ke atas kasur tempat mereka biasa tidur. Selesai menyelimuti tubuh sang suami, Gea mengecup lama dahi Demal kemudian kembali ke ruang tamu untuk mematikan televisi.

.
.
.

17.46

Pria yang tadi terlelap di dalam pelukan sang istri terbangun dari tidur dan langsung duduk begitu mendapati dirinya berada di dalam ruangan kamar, bukan di dalam pelukan istrinya.

Demal menengok ke kanan dan kiri, mencari keberadaan Gea di dalam ruangan kamar yang hanya berisikan dirinya saja.

Kehadiran yang tak dapat ia temukan membuatnya menjadi resah. Kedua mata mulai memanas dan air mata mulai menggenang, isakan kecil dari bibir Demal pun terdengar pula.

Si pria cengeng itu perlahan beranjak dari kasur dan berjalan keluar kamar. Berjalan dengan perasaan gelisah sembari mencari keberadaan sang istri.

Sambil sesenggukan, Demal terus berjalan mengelilingi bagian dalam rumah dan mendapati Gea tengah menyiram tanaman di halaman belakang.

Big Baby [HIATUS]Where stories live. Discover now