You Deserve Better, Girl! (2)

5 1 0
                                    

Sebulan sudah Jenny berstatus pacar Noel. Selama itu pula kebersamaannya dengan Robin berkurang. Gadis berambut gelombang sepundak itu tak lagi menemani Robin makan di kantin atau sekedar menungguinya bermain basket di tepi lapangan. Robin pun tak lagi memiliki kesempatan meminjam buku catatan Jenny karena selalu keduluan oleh Noel.

Jenny terlalu bahagia untuk mengalihkan pandangan dan pikirannya dari Noel. Dia terus berada di samping Noel, menolongnya, memenuhi apa pun kebutuhan lelaki yang dicintainya itu. Bahkan, ketika istirahat di kantin, Robin selalu melihat Jenny membawakan pesanan Noel, bukan sebaliknya. Dada Robin sesak melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu, tetapi Jenny terlalu diliputi kebahagiaan hingga lupa dia perlu diperlakukan lebih baik.

Jenny masih berbahagia, sementara Robin merasakan sebaliknya, kehampaan dan kekosongan. Robin termangu di tepi kolam renang rumahnya, memikirkan gadis itu. Benaknya penuh dengan bayang Jenny. Tak tahan dengan isi kepala yang hampir meledak, Robin pun mengambil jaket dan kunci motor. Dia melajukan motornya ke arah sumber keruwetan otaknya, Jenny.

"Masuk, Bin. Langsung naik aja ya, nanti aku ambilkan minum."

Robin menaiki tangga menuju ke kamar tidur bernuansa biru muda. Dia membiarkan pintunya terbuka lebar dan berdiri sesaat, memanjakan mata dengan pemandangan yang sebulan lalu masih begitu familiar. Dia menghirup dalam aroma yang mengambang, wangi floral dari tangkai-tangkai dalam wadah kaca di nakas, kemudian duduk di kursi belajar. Tak lama Jenny datang, menyodorkan minuman yang dibawanya kepada robin, lalu duduk di kasur.

"Nonton yuk, Jen. Udah lama enggak nobar," ajak Robin.

"Lagi sibuk, Bin. Lain kali aja, ya?"

"Sibuk apaan? PR sepi juga!"

"Ini, lagi bikin presentasi Biologi."

"Presentasi apa lagi? Kelompokmu kan udah maju minggu lalu?" tanya Robin bingung.

"Punya Noel." Jawaban Jenny kontan membuat Robin terbelalak, sementara gadis itu mengambil laptop yang tergeletak di dekatnya..

"Kamu yang bikin tugas presentasi Noel? Emang dia kenapa?"

"Enggak kenapa-kenapa. Kasihan dia, capek, banyak kegiatan ekskul. Jadi aku bantuin."

"Ya ampun, Jen. Kalo Noel niat, pasti bisalah dia ngerjain sendiri. Teman kelompoknya juga ada kan?!" Nada bicara Robin meninggi, ada kesal tertahan di sana.

"Bisa sih ... tapi aku enggak tega lihatnya."

"Kamu sendiri enggak capek?"

"I'm good," jawab Jenny singkat. Gadis itu menatap Robin, memberikan sekilas senyum, lalu kembali menghadap laptop.

Lama Robin menatap Jenny, tetapi gadis itu bergeming. "Aku balik, ya. Kamu sibuk banget kayaknya," ucap Robin akhirnya, dibalas dengan anggukan dan gumam pelan.

'Kesibukan' baru Jenny ternyata bukan satu-satunya yang membuat mendidih darah juga otak Robin. Suatu sore Jenny tiba-tiba menggetuk pintu rumahnya. Kedatangan gadis itu tentu membuat senyum Robin merekah, sayangnya hanya bertahan beberapa saat setelah dia mempersilakan Jenny duduk di ruang tamu.

"Ayolah, Bin, tolong aku. Ya?" Wajah Jenny memelas.

Tarikan dan hembusan napas Robin teramat berat. "Jen, kalau dia gentleman, pasti berani jemput ke rumah."

"Tapi, Bin, kamu kan tahu Papi kalau udah lihat cowok datang. Cuma kamu yang disambut Papi dengan senyum ramah."

"Udah hampir dua bulan pacaran, masa dia enggak berani jemput kamu. Minimal, main kek," ucap Robin ogah-ogahan.

"Main udah, minggu lalu, waktu kerja kelompok, tapi itu kan rame-rame, Bin. Ayolah, Bin ... help me, please ...."

Hampir satu jam Jenny menghabiskan waktu untuk membujuk Robin dan tidak sia-sia. Pada akhirnya, Robin tidak mampu menatap Jenny yang matanya mulai berkaca-kaca. Nahasnya, penderitaan Robin bukan hanya menjemput gadis yang dia sukai demi lelaki lain, tetapi juga menunggui mereka karena Jenny tidak mau diantar pulang oleh Noel. "Kamu yang jemput, kamu juga dong yang antar," jawab Jenny santai ketika Robin ingin pulang setelah mengantarnya ke lokasi pertemuan malam minggunya dengan Noel.

Dari bangku yang berjarak beberapa meter, Robin melihat Jenny duduk berhadapan dengan Noel. sesekali dia tertawa lepas, terkadang juga tersipu. Meskipun ada perih, Robin akui Jenny terlihat bahagia. Dia hampir saja mengikhlaskan hati ketika sebelum pulang Robin melihat Jenny mengeluarkan dompetnya.

"Tadi kamu yang bayar, Jen?" tanya Robin tanpa basa-basi ketika memasangkan helm ke kepala Jenny.

Gadis itu mengangguk, "Minggu ini Noel enggak dikasi uang saku karena kebanyakan top up game."

"Perasaan di kantin juga seringan kamu yang traktir."

"Enggak juga. Kebetulan aja kali, Bin, pas kamu lihat," bela Jenny. "Nih, lihat, jam dari Noel. Lucu kan?"

Robin menatap sesaat jam tangan berwarna biru muda di tangan kiri Jenny, bertali kulit sintesis kecil yang terlihat manis melekat di pergelangannya. Dengan berat hati, dia menggeleng lalu mengajak Jenny pulang.

Meski sering terlihat baik-baik saja, Robin adalah saksi hubungan Jenny dan Noel. Setiap pertengkaran, keresahan, juga kesulitan yang Jenny alami, Robin selalu tahu. Bahkan ketika ingin menutup mata dan telinga, Jenny akan selalu mendatanginya ketika membutuhkan sesuatu atau setidaknya tempat menuangkan segala emosi.

Kali ini dia datang dengan kegundahan di mana akan merayakan ulang tahun dengan Noel. Jenny ingin bisa menghabiskan waktu bersama Noel. Dia sudah meminta orang tuanya untuk tidak membuat perayaan apa pun dengan alasan ingin mentraktir teman-teman saja.

"Kamu yang ulang tahun, harusnya Noel yang sibuk bikin kejutan atau apa. Kenapa jadi kamu yang pusing sih, Jen?" Robin berbicara dengan acuh tak acuh.

"Dia kan bukan tipe cowok romantis, Bin. Enggak bakalan dia punya ide."

Dalam hati Robin menyangkalnya. Dia yakin akan bisa mengusahakan segala sesuatu untuk Jenny jika dia berada di posisi Noel.

"Jen, kamu berkorban banyak untuk Noel, masa iya dia enggak bisa pikirin sesuatu buat kamu?"

Balasan Jenny sederhana, tidak boleh hitung-hitungan sama pacar sendiri. Meskipun Robin memberikan banyak fakta, tentang semua usahanya yang sangat tidak bisa dibandingkan dengan apa yang sudah Noel lakukan, Jenny tetap berkeras bahwa tidak ada yang perlu diperhitungkan.

"Aku yakin, semua yang lihat kalian tahu kalau di sini cuma kamu yang bucin. Kamu pantas dapat yang lebih baik, Jen, bukan cuma tampang KWnya Robert Pattinson."

"Terus?" Nada suara Jenny tiba-tiba tidak bersahabat. "Kamu selalu jelek-jelekin Noel, maksud kamu ada yang lebih baik siapa? Kamu?"

Robin mematung, tidak menyangka akan ada pukulan telak menghantam. Segera setelah mampu mengatur emosi dan perasaan, Robin menjawab, "Bukan gitu, Jen. Aku cuma mau kamu dapat yang terbaik, orang yang benar-benar peduli sama kamu."

"Udah, ah, aku malas berantem. See you, Bin."

Lagi-lagi, Robin harus merelakan Jenny yang berlalu. Meskipun yakin mampu memperlakukan Jenny dengan lebih baik, dia sadar bahwa bukan dirinya yang Jenny inginkan.

Sungguh demikian, tidak ada yang benar-benar bisa robin katakan. Bahkan ketika dia sudah mempersiapkan hadiah ulang tahun yang ragu untuk dia berikan, atau ketika Jenny yang datang padanya dengan air mata dan menceritakan pertengkaran dengan Noel pada malam ulang tahun yanng membuat semua rencananya gagal.

Di kepalanya, Robin menyarankan Jenny untukmeninggalkan lelaki yang tidak tulus itu. Dalam hati, dia berkata bahwa diaselalu ada dan menjadi sosok yang bisa diandalkan meskipun tak pernahbenar-benar Jenny lihat. Namun, pada akhirnya, Robin hanya memiliki keberanianuntuk memberikan kado yang sudah dikemas dalam paper bag cantik bernuansaputih-biru muda sembari mengucapkan, "Selamat ulang tahun, Jen."

(inspired by: Shawn Mendes - Treat You Better)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 21 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Songs I Rewrite for You (Kumpulan Songlit)Where stories live. Discover now