17. Terdampar

44 6 22
                                    

Tema: Terdampar di pulau terpencil
Tokoh Utama: Elin

Ketika kelopak mataku terkulai, yang kulihat adalah sang surya yang memamerkan sinarnya dengan ganas. Mataku refleks menyipit sejenak, lalu kembali terbuka sepenuhnya saat sudah mulai beradaptasi dengan cahayanya.

Tubuhku terasa sakit saat aku berusaha untuk duduk. Sudah berapa lama aku tidur terlentang seperti ini?

Tunggu.... Aku sekarang di mana? Harusnya aku berada di konser Naniwa bersama Lemon sekarang. Kami seharusnya sedang jungkir balik mendengar suara dari malaikar surga. Kenapa aku bisa ada di sini? Di mana Lemon?

TASKU!

Aku berusaha mencari itabag-ku yang berisi lightstick Naniwa. Nihil, tidak ada. Rasanya jantungku turun hingga ke area pencernaan. Sial, sial, sial, barang langka hasil menyelam mercari lenyap begitu saja. Ponselku juga lenyap. Argh, kenapa aku malah meletakkannya dalam tas?!

Kepalaku tertunduk, benakku mulai memproses apa yang sedang terjadi serta mulai menyusun berbagai hipotesis. Apa ada yang membuangnya? Apa jangan-jangan aku diberi bius sehingga akhirnya manusia-manusia penjual organ memutuskan untuk menculikku dan kemudian membuangku setelah melihat harga yang bisa didapatkan dari hasil menjual organku? Tidak, aku tidak seperti Lemon yang tidur jam tiga setiap hari, skenario tadi tidak mungkin.

Ah, aku mulai meracau. Kepala yang sakit membuatku tidak bisa berpikir rasional. Ugh, apa yang harus kulakukan sekarang? Melihat cuaca yang masih cerah, mungkin saja aku punya harapan untuk menemukan solusi dari masalah aneh ini.

Aku menepuk celanaku yang sudah dicium tanah. Netraku menyapu sekeliling yang dipenuhi dengan pohon rindang. Ini hutan ya? Memangnya kenapa aku terbawa ke sini? Apakah pesawat yang kutumpangi mendadak jatuh? Entahlah, lebih baik aku pergi mencari Lemon saja.

Lemon adalah salah satu makhluk yang selalu toyib. Keberadaannya yang tipis membuatku sulit menemukannya. Tidak di dunia maya, tidak di dunia nyata, dia selalu saja menghilang. Lupakan, itu tidak penting, aku harus menemukan Lemon terlebih dahulu, atau setidaknya seseorang yang bisa memberiku pentunjuk.

Kakiku bergerak mengikuti intuisiku yang mungkin saja benar. Entahlah, aku sudah sangat pasrah. Semoga saja aku tidak sengaja terjatuh, membentur kepalaku, dan kemudian terbangun di tengah lautan manusia yang tengah menyoraki tujuh lelaki tampan di panggung.

Naniwa benar-benar menguasai pikiranku. Namun, sekarang aku sudah sibuk menggaruk kakiku yang digigiti nyamuk. Oh, ayolah, aku tidak ingin merusak outfit-ku untuk konser nanti (sejujurnya, dalam lubuk hati yang mungil ini, aku masih berharap bisa pergi ke konser Naniwa).

"LEMONNNNN!" Aku berteriak sekeras mungkin hanya untuk mendapatkan suara kicauan burung sebagai balasan (yang mana sedikit terdengar seperti ejekan). Tidak mungkin juga menemukannya di tengah hutan yang luas ini (aku sebenarnya tidak tahu luas sebenarnya hutan ini, tapi mana ada hutan yang sempit).

Sepuluh menit berjalan tanpa arah membuatku merasa gelisah. Ada apa sih? Kenapa semuanya tiba-tiba terjadi seperti ini?

BAM!!!

"Eh?" Kepalaku sontak menoleh ke sumber suara. Suaranya keras sekali, seperti ada sesuatu yang besar menghantam tanah. Sebagai orang yang kadang rasa penasarannya sebaiknya disimpan, aku berjalan mendekati sumber suara tadi. Kudapati seorang laki-laki (yang sepertinya seumuranku) tidur telentang di atas tanah.

"MAYAT?" Aku berseru ngeri. Apakah ada orang yang barusan membuang mayat di sini? Namun, hipotesis itu segera dipatahkan saat aku melihat dadanya yang kembang kempis. Masih bernapas. Aku mendekatinya, meletakkan telunjukku di depan hidungnya. Oke, bukan mayat.

FLC MultiverseWhere stories live. Discover now