7. Zeit

80 10 38
                                    

Tema: Asrama berhantu
Tokoh Utama: Sura

Matahari mulai lingsir mendekati garis cakrawala, melukis langit dengan warna kemerahan. Dari kejauhan aku melihat deretan manusia berjalan menuju asrama. Di antara tangan mereka terdapat senter tua yang dimiliki setiap ketua kamar.

Dalam perjalanan menuju asrama, kami semua tak boleh berbicara. Kami harus bisu melintasi area pemakaman. Benar, bukan sembarang area biasa, tetapi area yang dapat membuat bulu kuduk siapapun berdiri.

Tanah asrama yang berdiri di atas nisan hanya diketahui oleh orang tertentu. Aku mengetahui hal ini dari salah satu pengawas yang mengisyaratkan bahwa untuk tidak berperilaku macam-macam selama di sana.

Aku bersaksi, aku tidak melakukan hal yang melanggar ketentuan pihak sekolah. Kami hidup serba gratis, tercukupi, banyak yang kami inginkan mereka kabulkan, kecuali alasan berdirinya asrama dan misteri sekolah yang letaknya di hutan.

Pihak sekolah tidak memberi tanggapan bahkan menjawab dengan isyarat. Mereka menganggap kami tidak pernah ada bila pertanyaan itu terucap. Peraturan tetaplah peraturan, peraturan perjanjian di atas materai. Pertanyaan terlarang sesuai janji.

Siapa yang bertanya, mereka sudah siap mati. Kecuali murid yang sadar akan syarat itu sejak awal dan tidak tergiur mengenai tawaran yang diberikan.

Bagi orang tuaku, tawaran ini tidak boleh dilewatkan. Mereka menandatangani tanpa seizin diriku. Dengan iming-iming lulusan akan mendapat bagian kursi di pemerintahan, tetap saja, bagiku ada yang aneh dari ini semua.

Tidaklah mudah untuk menjadi orang penting. Banyak dana dan persiapan. Tentu pula lulusan itu tak pernah aku lihat kabar batang hidungnya. Apa mereka bohong? Aku tak tahu kecuali aku menemukan kebenarannya.

Sepasang burung gagak melintasi langit, berputar-putar diiringi suara cawing menembus pepohonan. Suasana malam menyambut. Dan, aku menyadari, aku tertinggal dari kerumunan.

Aku berusaha tidak panik. Aku percaya diri bahwa aku bisa melewati ini. Namun aku kebingungan akan satu hal. Di mana para penjaga makam? Bukannya mereka siap di setiap sudut area?

Kakiku melangkah mundur. Menyadari hanya aku sendiri di area ini. Angin tenggara bertiup. Kering. Gemericik rumpun bambu membuat mataku bermain. Mencari-cari apakah makhluk yang dibicarakan temanku adalah nyata.

Hening. Sangat sunyi. Dingin yang menusuk. Aku perlahan mencium aroma anyir dari dekat. Sesuatu dengan ketukan kaki yang berat menuju ke arahku.

Aku memastikan apa dugaanku benar. Sayangnya aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin ini pertanda aku harus berlari meninggalkan makam.

Nyamuk yang gemar merubung kakiku tak aku pedulikan. Gatal. Kugaruk rasa gatal sembari aku ketakutan. Aku tak pernah setakut ini karena mencari tangga menuju asrama.

Sekelilingku hanya nisan, bambu, pepohonan kering, dan pagar yang tertutup sejak awal aku masuk sekolah. Walau terbuka, aku yakin, aku tidak dapat melarikan diri dari sini.

Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan memanggilku. Aku tak peduli. Aku berusaha sebisaku berlari semakin cepat sebelum dia dapat menggapaiku. Aku beberapa kali melihat sekilas bayangan dari genangan air setelah hujan. Ah...

Sial. Aku seharusnya lebih cepat...

Kepalaku pusing bukan main. Teriakkan anak laki-laki begitu keras ketika aku menghantam tanah. Ku menangis merasakan nyeri. Degup jantungku berhenti sesaat begitu melihat ketiga sosok bertopeng seram.

"Hei, dia tidak sadarkan diri."

"Tenang, itu bukan dirinya. Dia hanya memasuki ingatan yang dirasukinya."

FLC MultiverseOnde as histórias ganham vida. Descobre agora