14. Sang Pahlawan

Start from the beginning
                                    

Kelopak mata Riq berkedip setelah membaca beberapa kalimat di halaman pertama. Dia melirik ke arah Icha, lalu setelahnya menatap Nina demi memastikan kebenaran. Gadis berambut hitam sebahu itu hanya mengangguk sambil menunjukkan kembali artikel yang tadi sempat dibaca oleh Riq.

"Bukannya aneh, kenapa cuma Yuusha hantu yang gentayangan di sini sementara di setiap tempat pasti ada beberapa hantu?" Nina melihat sekeliling sebelum akhirnya menghela napas kasar. "Ada kemungkinan kalau seseorang ngelindungin tempat ini, dan nahan Yuusha buat pergi. Dia mungkin ketahan karena masih penasaran tentang keberadaan orang tuanya yang tiba-tiba menghilang di tanah ini."

"Terus kalaupun ada yang nahan, kenapa Yuusha bilang kalau dia pengin pergi dari tempat ini?" tanya Riq sambil menoleh ke arah kamarnya yang terasa seperti sedikit sesak.

Icha mengelus tengkuknya dan melirik ke arah Nina yang juga terlihat sedikit aneh. "Maksudnya, kalau emang kerangka yang ditemuin di samping asrama ini punya kedua orang tua Yuusha, mungkin alasan dia  tetap tinggal karena ngerasain energi orang tuanya yang masih terkurung di tempat ini. Sekarang, kan, udah dipindahin sama orang-orang kepolisian."

Riq hanya mengangguk kemudian dia melirik ke arah kamar Resti yang pintunya masih tertutup. Rasanya lumayan hangat saat dirinya berusaha mendekat ke arah kamar itu, walau memang selama beberapa minggu terakhir Riq tidak berjumpa dengan Resti. Berbeda dengan di depan kamarnya yang terasa sangat dingin, dan dia merasakan sensasi kehampaan menyeluruh saat berada di kamarnya.

"Jadi, Yuusha ke mana?"

Sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut Riq. Hal pertama yang dapat ia pikirkan adalah pertemuan pertamanya dengan hantu bocah Jepang itu. Itu setelah Riq sadar dari koma, pasca kecelakaan, beberapa minggu yang lalu. Awalnya ia sangat ketakutan, sampai suatu ketika dirinya mulai terbiasa. Apalagi setelah mengetahui bahwa tetangga sekitar kamarnya, Nina dan Icha juga bisa melihat keberadaan Yuusha. Riq mulai merasa nyaman dengan hantu bocah itu, setiap celotehnya, bahkan tingkah lugunya, walau kadang merasa terganggu jika Yuusha melakukan kejahilan atau menampakkan dirinya dengan penampilan saat ia baru meninggal.

Riq jadi teringat perkataan yang pernah diucapkan Yuusha, "Dahulu, di tempat ini ada banyak bangunan berarsitektur Belanda. Tanah ini dulunya rumah kami, Ibu memilih berjualan minuman herbal di sini. Kau tahu, Riq, dahulu di depan rumahku ada toko permen yang sangat enak." Dia banyak menceritakan kejadian bahagia di hidupnya, seolah penyiksaan yang dilakukan kedua orang tuanya bukanlah ingatan menakutkan. Yuusha tumbuh dengan penuh kasih sayang semu, tanpa tahu mungkin kehidupannya akan berakhir di usia tujuh tahun.

Dan mungkin dia akan mengakhiri perjalanannya sebentar lagi.

"Ngomong-ngomong, kamu mau buang barang-barang ini semua, Riq?" tanya Icha yang tiba-tiba bersuara di tengah keheningan.

Riq yang tadi terdiam pun sontak menoleh ke pinggir pintu kamarnya. Dia mendapati beberapa kaset radio serta piringan hitam miliknya telah ada di luar kamar. Riq pun dengan emosi berjalan ke dalam kamarnya dan mencari orang iseng yang melakukan perbuatan itu.

"Yuusha, aku tau itu kamu. Udah, deh, jangan becanda lagi. Aku benera—"

Tubuh Riq mematung setelah melihat bayangan tinggi seseorang sedang berdiri di depan kasurnya. Dadanya terasa sesak, kepalanya mulai sedikit pusing, bahkan tubuhnya sedikit memanas begitu melihat orang itu sedang ikut balik menatapnya.

"Oh, kamu yang tinggal di sini?" tanya orang itu sambil mengangkat salah satu alisnya.

Riq mengangguk. Kemudian dia menggelengkan kepalanya dan menoleh memperhatikan rak koleksi kaset radionya telah kosong melompong. "Kayaknya kamu enggak sopan, deh, kalau masuk kamar orang tanpa izin."

FLC MultiverseWhere stories live. Discover now