Bagian 2. Membiru

45 2 0
                                    


Luka itu terus bertambah bersamaan dengan sakit yang kian membiru. Nyatanya ia kehilangan banyak hal yang tidak bisa disembuhkan oleh waktu. Dadanya terasa kian menyesak seperti dihantam ribuan batu. Malam ini, Angkasa kembali hancur, bahunya meluruh bersamaan dengan hatinya yang remuk tak berbentuk.

"Kelahiran kamu benar-benar penyesalan terbesar Mama"

Angkasa meringkuk pada karpet abu-abu yang terletak di bawah kasur miliknya, tangannya menutup rapat kedua telinga dengan air mata yang terus meluruh tanpa diminta. Hancur, hatinya hancur berserakan tanpa bisa diselamatkan, kalimat itu terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak yang berhasil mengusik rungunya.

"Mama, Asa sayang Mama"

"Mama hiks"

Tangisnya semakin terdengar menyesakkan bersama dengan racauan lirih yang begitu memilukan. Ia butuh Mama, ia rindu Mama, namun barang sedikit saja sang Mama tidak pernah menaruh peduli padanya.

"Mama, peluk Asa"

"Asa sakit Mama"

Racauannya semakin terdengar menyedihkan seolah menggambarkan betapa dirinya hanyalah seorang rapuh yang butuh direngkuh.

Angkasa, kehidupannya berbeda dengan anak 16 tahun lainnya. Barangkali anak seusianya sedang riuh bermain, mencoba hal-hal baru, melakukan kenakalan sewajarnya anak kelas 11 SMA, atau sekadar berkumpul dan mencari teman sebanyak-banyaknya, maka berbeda dengan Angkasa, hidupnya begitu sepi dan sunyi. Batasan-batasan yang sedari kecil digaungkan sang Mama, cukup membuatnya sadar bahwa 'bebas' adalah kata yang sulit ia langgar. Bahkan hampir semua keputusan dalam hidupnya adalah Keputusan sang Mama. Angkasa tidak pernah diberi ruang untuk memutuskan apa-apa saja yang menjadi pilihannya. Banyaknya aturan tak tertulis dari sang Mama cukup membuatnya paham hal apa-apa saja yang harusnya tidak boleh ia langgar, termasuk urusannya dalam menjalin pertemanan. Namun aturan apapun itu, Angkasa tidak pernah merasa keberatan barangkali itu adalah bentuk kasih sayang Mama kepadanya, sekalipun harus merenggut semua kebebasannya.

"Mama, Asa minta maaf, Asa bakal jadi anak yang nurut tapi jangan benci Asa"

"Asa hiks takut jangan hukum Asa lagi"

Isakannya sesekali masih terdengar lolos dari bibir pucatnya, gumaman-gumaman tidak jelas masih terdengar lirih menyapa rungunya sendiri. Hukuman Mama malam ini, masih terasa hangat menjadi bayang-bayang menakutkan yang terus menggerogoti akal sehatnya. Biasanya Mama hanya akan menghukumnya dengan menampar, memukul, atau menyabetnya dengan ikat pinggang dari bahan kulit yang mahal, namun malam ini, Mama tidak hanya menghukum fisiknya, melainkan juga psikisnya. Menghukum dengan menyuruhnya berdiri di halaman belakang selama hampir 2 jam dengan gelap, petir, dan hujan adalah sama saja dengan menghajar mentalnya habis-habisan.

Kesedihannya malam ini, berakhir dengan ia yang terlelap bersama dengan mimpi-mimpi buruk yang lagi tidak pernah membuat tidurnya terasa tenang.

---

Tidak Ada Yang Berhak Membunuh Satu Jiwa Sekalipun Itu Adalah Miliknya SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang