Bagian 1. Luka Sehitam Malam

80 2 0
                                    


Malam semakin gelap, angin semakin terasa kencang hingga mampu menjalarkan dingin pada seluruh tubuh pemuda 16 tahun itu, sesekali matanya memejam saat pening di kepalnya menyerang tiba-tiba, kilatan-kilatan cahaya dari langit menjadi pertanda buruk akan nasibnya, awan terlihat hitam begitu muram, mungkin dalam hitungan menit hujan akan segera datang dan menghajarnya habis-habisan.

"Mama takut"

Gumamnya begitu pelan, bibirnya sudah memucat, berdirinya sudah tidak lagi tegap, juga matanya yang gelap itu sudah lebih dulu meluruhkan air mata sebelum hujan tiba. Ia takut...gelap, petir dan hujan adalah situasi paling handal untuk menghancurkan akal sehatnya juga hal paling besar sebagai pemicu rasa sakitnya.

Sudah hampir 2 jam, Angkasa menjalankan hukuman dari sang Mama untuk berdiri di halaman belakang rumahnya, ia ingat betul bagaimana Mama begitu marah dan berujung menyeretnya pada hukuman tak manusiawi seperti ini.

Hujan sudah benar-benar tumpah membasahi seluruh tubuhnya, badannya kini bergetar hebat, takut dan dingin bergemul menjadi satu menghajar telak kewarasannya. Mama benar-benar tidak tanggung-tanggung dalam membuatnya menderita.

"Mama tolong"

Lagi-lagi gumaman itu terdegar begitu lirih dari bibir pucatnya, kakinya sudah meluruh ke bawah, terduduk lemas pada reremputan hijau yang basah. Apa Mama benar-benar tidak peduli dengannya? Apa sebesar itu kesalahannya hingga Mama menghukumnya dengan cara seperti ini? Atau Mama memang ingin melihatnya mati?

Air matanya semakin deras mengalir seolah berlomba dengan riuhnya air hujan, isakannya terdengar memilukan, ia sudah tidak sanggup berdiri, mungkin jika Mama melihatnya duduk seperti ini, hukumannya pasti akan bertambah lagi. Namun ia pasrah, karena seberapapun ia mencoba untuk bangkit, ia hanya akan terjatuh lagi dan lagi.

Meninggalkan Angkasa dengan sejuta pilunya. Livka perempuan cantik 45 tahun yang menyandang sebagai Ibu kandung dari putranya Angkasa Baswara, kini justru tengah terduduk manis sambil menyesap secangkir kopi hangat di kursi kerjanya, pandangannya tidak beralih dari jendela kamar yang langsung menghadap halaman belakang itu, memperlihatkan sosok yang tengah ia hukum dengan tega. Matanya tidak sedetik pun beralih pada hal lain, hanya pada Angkasa, putranya yang semakin terlihat melemah di luar sana.

Hatinya berkecamuk, matanya yang tadi berpendar tajam kini justru memerah menahan sebuah tangisan, secangkir kopi yang semula ditangannya kini sudah beralih di atas meja, pun juga dirinya yang semula duduk kini sudah berdiri melangkah lebih dekat ke jendela. Matanya dengan jelas menangkap situasi seperti apa yang sedang terjadi di luar sana, putranya meluruh jatuh dengan tubuh yang bergemetar hebat. Putranya terlihat begitu menyedihkan bersamaan dengan tangisnya yang sedari tadi ia tahan.

Ia hanya belum bisa berdamai dengan kejadian di tahun-tahun silam, nyatanya waktu tidak benar-benar menyembuhkan luka hati dan kesakitannya. Luka itu masih terasa begitu nyata hingga mampu membuat dadanya terasa penuh dan sesak setiap saat.

"Mas, aku bener-bener ga bisa terima dia"

Ucapan itu meluncur begitu saja bersamaan dengan isak tangisnya. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa ia menjadi egois dan sekeras ini, dulu seiring bertambahnya waktu ia selalu berpikir bahwa semua akan segera membaik, lukanya akan segera mengering, bebannya akan segera meringan, jadi tidak apa untuk sementara ia mengurai jarak dengan putranya, toh nanti semua akan kembali seperti semulanya 'bahagia' hingga tanpa sadar jarak yang ia ciptakan justru semakin membentang panjang, tidak membaik seperti apa yang ia harapkan, jarak itu justru hanya menambah kadar kebencian, terus memupuknya hingga tumbuh menjadi amarah dan kekecewaan yang begitu besar, menghancurkan hubungannya dengan sang Putra.

Lalu ia menjadi seperti ini sekarang, menjelma batuan karang yang begitu keras untuk diluluhkan, menjadi sosok Mama yang begitu membenci kehadiran Putra semata wayangnya Angkasa.

Mengusap air matanya kasar, Livka dengan tenang berjalan keluar kamar menuju teras halaman belakang.

"Masuk sekarang"

Angkasa sudah hampir jatuh ke alam bawah sadar ketika perintah itu terdengar dingin dan tajam beradu dengan riuhnya suara hujan. Pandangannya yang kabur ia coba fokuskan untuk menatap Mamanya yang sedang berdiri di teras sana. Hatinya sedikit melega, setidaknya Mama masih memberinya hidup untuk malam ini.

"10 detik ga nyampe sini, enggak usah masuk sekalian kamu"

Mendengar itu dengan tertatih Angkasa melangkahkan kakinya mendekati sang Mama. Angkasa berhasil sampai meskipun dengan nafas yang terengah-engah. Kini tubuh yang basah kuyup itu sekuat tenaga berusaha menguatkan kakinya untuk berdiri menghadap sang Mama, kepalanya menunduk tidak berani bersitatap dengan manik cokelat madu di depannya yang selalu ia rindukan.

"Puas kamu?"

Livka mencengkeram dagu Arash begitu kuat hingga manik gelap milik putranya bertemu dengan manik cokelat madu miliknya. Ada sengatan aneh yang menjalar ke tubuhnya ketika mata gelap itu tidak berpendar terang seperti dulu, mata gelap itu kini terlihat begitu muram seperti awan mendung yang siap menumpahkan badai hujan.

"Puas kamu, hancurin hidup Mama!?"

Angkasa hanya diam, cengkeraman itu memang menyakitkan tapi disentuh Mamanya seperti ini membuatnya sedikit merasa senang. Anak itu sudah sedari lama tidak merasakan kasih sayang Mamanya, justru hanya luka dan kebencian saja yang ia terima. Terkadang ia menangis terisak-isak di kamar merindukan pelukan Mamanya, ia tidak tahu mengapa Mama jadi abai dan membuangnya seperti ini, padahal ia juga sama merasakan sakit dari kejadian itu. Ia juga kehilangan namun tidak pernah diberi ruang untuk merasa kehilangan.

"Mama Ma_Maaf"

Angkasa menjawab dengan susah payah, cengkraman itu begitu kuat hingga membuatnya sulit untuk bersuara.

"Memang seharusnya Mama gugurin kamu sejak kamu berkembang di rahim Mama, kehadiran Kamu, selalu saja bawa duka dan luka"

Lagi kalimat itu lagi, kalimat menyakitkan yang setiap hari tidak pernah absen ia dengar dari mulut sang Mama, hatinya selalu sakit mendengar seseorang yang begitu ia sayang justru mengharapkan kematiannya, meskipun ia sudah mendengar kalimat itu berkali-kali namun tetap saja rasa sakitnya masih sama, ia tidak pernah terbiasa.

Angkasa menangis, ia tidak menemukan pembelaan yang tepat untuk dirinya sendiri, Mama terlampau benar bahwa memang ia hanyalah anak yang tidak diharapkan.

"Kelahiran kamu benar-benar penyesalan terbesar Mama"

Puas mengatakan itu, Livka kemudian membuang kasar cengkraman tangannya di dagu Angkasa. Melihat sekilas bagaimana anak itu terhuyung ke belakang karena dorongan yang tak seberapa darinya itu, dorongannya memang tak seberapa tapi tubuh Angkasa yang sedari tadi sudah tak berdaya menjadikan anak itu mudah limbung hanya dengan dorongan tangannya.

Apapun itu Livka tidak peduli, tidak akan pernah. Setelahnya ia justru memilih berjalan tenang masuk ke dalam rumah.

Tidak Ada Yang Berhak Membunuh Satu Jiwa Sekalipun Itu Adalah Miliknya SendiriWhere stories live. Discover now