Bagian 8 Awan Hitam Pekat yang Menakutkan

0 0 0
                                    


Tidak ada yang mengharapkan seseorang dengan jiwa yang tenang, pembawaan yang penuh kehangatan, hari-hari yang diisi dengan hati yang riang, seseorang yang manis dalam kata-kata dan tindakannya, yang hampir tidak pernah mengeluhkan apa-apa, akan meninggalkan kenangan diiringi oleh tetesan air mata oleh orang-orang yang begitu menyayanginya.

Di kediaman Keluarga Smith dan di halaman sekitar gereja, yang biasanya terdapat beberapa rumpun bunga daisy putih yang cantik, yang sebelumnya tidak pernah layu karena sangat sering dijaga pemiliknya, kini secara perlahan mulai kehilangan satu per satu mahkotanya yang rapuh. Itu bukan pertanda baik, meskipun belum ada seorang pun yang menyadarinya. Beberapa waktu sebelumnya, seluruh kota St. Mark terjangkit demam berdarah yang hadirnya kali ini dua kali lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Dampaknya memberi pengaruh yang sangat buruk kepada hampir tiap orang, terutama mereka yang memiliki tubuh yang lemah. Tidak ada satupun yang tidak terjangkit, bahkan Keluarga Smith juga mengalaminya.

Meskipun pada akhirnya keadaan mereka berangsur-angsur membaik, tetapi di antara mereka tidak ada yang mengira jika demam itu membawa dampak yang mematikan kepada salah seorang anak yang dikasihi. Bukan hanya kakak-kakak dan orang tuanya, tetapi hampir semua orang mengasihi dan selalu menaruh perhatian lebih kepada nona muda yang manis dalam segala tindak tanduknya, perkataan, bahkan hatinya yang murah hati.

Di saat Barley, Mayleen, dan Stacey, bahkan pasangan Smith bisa kembali melakukan aktivitas-aktivitas dan kebiasaan mereka, tubuh Hailey kian melemah di tempat tidurnya karena efek penyakit yang merenggut kesehatannya. Dan saat mereka menyadari ketakutan yang bisa saja mencuri keceriaan mereka, suatu ketika Barley membantu May dan Stacey memindahkan dua ranjang mereka ke dalam tempat tidur Hailey yang hanya bisa terbaring lemas dengan boneka-boneka lamanya yang tetap di sisinya. Sedangkan sang kakak tertua senantiasa berjaga di sebuah kursi besar yang ia letakkan tepat di samping pintu. Mereka melakukannya untuk menjaga gadis belia yang lemas itu siang dan malam.

Suatu hari Hailey menyadari tanaman daisy-nya yang di dalam pot yang ia letakkan di atas nakasnya mulai layu dan satu demi satu mahkotanya merontok. Ia meminta kakak-kakaknya untuk merawatnya selama ia sakit. Tetapi Barley mengakui ia tidak pandai merawat tanaman bunga. Stacey pun sibuk membantu sang ibu untuk membuat sup dan makanan-makanan untuk sang pasien.

"Kakakku, Mayleen, tidak ada yang bisa merawat daisy-ku." keluhnya kepada May yang duduk di sampingnya sambil membacakan sebuah karangan yang dibuatnya untuk adiknya. "Bunga-bungaku yang di dalam pot sudah agak layu. Mahkota bunganya rontok setiap hari. Bagaimana dengan yang di luar?"

"Hus, jangan terlalu mengkhawatirkannya, Anak Manis! Aku akan merawatnya untukmu." kata Mayleen yang berusaha terdengar tegar, padahal saat ia mendengar keluhan Hailey hatinya begitu teriris. Mereka sekalipun tidak sedarah, tetapi May dan Hailey bagaikan dua orang sahabat yang tidak bisa dilepaskan semenjak pertama kali mereka berjumpa dan menjadi saudara. Sifat Hailey yang ceria melengkapi hari-hari Mayleen jika ia sedang bersedih hati. Begitu pula sebaliknya. Sifat Mayleen yang kuat dan tegar seperti mawar-mawarnya menjadi penopang untuk adiknya yang lugu.

Seperti yang telah ia janjikan, Mayleen kini berusaha keras untuk, bukan hanya sekedar merawat, tetapi juga menjaga supaya tanaman daisy adiknya tidak menjadi semakin layu dan terus tumbuh cantik seperti biasanya. Nampaknya May tidak melihat dan menyadari bahwa hal itu adalah pertanda yang dikirim oleh Bapa di sorga, bahwa Ia akan menjemput gadis yang paling murah hati di antara mereka. Tanda itu terlalu lembut dan May menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah bagi tanaman-tanaman yang bisa saja menjadi layu jika tidak dijaga seperti biasanya.

Sama seperti malam-malam biasanya, seluruh anggota keluarga itu akan mengangkat doa-doa pribadi dalam kamar mereka menjelang waktunya tidur. Di malam itu, entah mengapa tiba-tiba Mayleen diliputi perasaan tidak enak yang terasa begitu menyesakkan dadanya. Ia tidak sanggup membiarkan kakak dan adiknya, terutama Hailey yang lemah, untuk menyaksikan air mata yang bisa saja jatuh dan mengalir dari mata indahnya. Jadi ia kembali ke kamarnya yang hanya terdapat meja baca, kursi, lemari, dan hiasan-hiasan yang masih bergelantung di dindingnya. May mengunci pintunya dan menuangkan seluruh air mata beserta doanya ke dalam tangan Bapa. Ia sungguh larut dalam ketakutan, seolah-olah ada yang akan terhilang lagi dari hidupnya. Tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan karena ia menangis sejadi-jadinya di hadapan-Nya malam itu.

The Cloud of DreamsWhere stories live. Discover now