Chapter 10

41 11 3
                                    

Di dalam Hujan deras, dia menciumku sangat erat. Menekan bibirku, hingga aku susah bernafas, apalagi dalam Hujan. Aku tidak tahu maksudnya. Apa maksud dia?

selama ini aku apa bagi dia? apa maksud dari pertanyaan nya? Dia menciumku, orang yang kukira menjadi harapanku. Aku benar-benar tidak dapat memprediksinya. Apa dia menganggap aku cintanya? Dia memperhatikanku dari awal? ini mengerikan, aku dicium oleh saudara lelakiku, maksudku Tiri. Selama ini Ia selalu diam, Diam. Tidak menjawabku sama- sekali- aku, Dalam hujan, Hujan, Hujan lebat. Ia menciumku. Pada sesaat aku melihat wajahnya, ia menatapku tajam. Bibirnya yang masih padaku, tidak sesaat. Ia menutup matanya, menikmatinya. Dalam hujan. Tangan nya memegang pipiku yang mulai memanas, dan memegang pinggangku dengan erat hingga itu membuat gelitik luar biasa pada tubuhku. Sehingga aku tidak bisa lepas. Dia menciumku. Tidak sesaat, seperti memakan 2 menit lamanya. Aku tidak berani menyentuh tubuhnya, tangan ku tepat pada samping pahaku, namun aku tidak tahu. Aku tidak tahu, Ia menciumku. Lalu aku tidak bisa merasakan diriku, Tubuhku. Yang dapat kurasakan hanyalah dia. Dia menciumku. Aku tidak bisa mendengar kedua suara dari kami, Aku mendengar Hujan. Mungkin Hujan saja tidak bisa kudengar. Kilatan Petir? aku tidak tahu, aku memejamkan mataku. Aku tidak tahu kapan dia akan melepaskannya. Farren berbeda sungguh jauh berbeda dari selama yang ku lihat, aku tumbuh bersamanya. Dan dia tampak jauh berbeda, ketika dia menciumku. Dia menciumku.


Setelah saat itu, saat yang tidak sekejap. Semua berbeda, Dia terus memperhatikan ku. Saat makan, saat rapat, sebelum latihan ia memilih untuk duduk di sebelahku di teras, Dalam diam. Tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia tidak mengerutkan dahinya lagi, Kali ini otot wajahnya jauh lebih rileks, aku bisa melihatnya jauh lebih tampan tanpa mengencangkan otot wajahnya. Aku merasa ia lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya atau tahun-tahun sebelumnya.

Dan sama hal disaat dia sedang Latihan, dia terus mencuri pandangan terhadapku. Sebelumnya, Ia hanya fokus dalam alat latihannya. Tetap tanpa sepatah katapun.

Dia bahkan berani untuk berdiri tepat di sebelahku, kemanapun aku pergi. Ia jauh lebih tenang, lebih rileks. Walau tanpa sepatah katapun. Aku merasa cinta. Inikah Cinta? mungkin inilah cinta tanpa kekuasaanku.

Namun tidak lama, setelah aku mulai melihat ia berbicara leluasa terhadap perempuan dan Ia bukan aku. Aku baru tahu? 

Hera, dia sungguh mirip dengan ibunya. Senyumnya, sungguh ceria. Setidaknya aku sempat tahu rupa ibunya dalam foto yang terpampang dalam kamar Farren. benar, gadis yang membuat Farren tersenyum hingga tidak memperdulikan bagaimana sekitarnya dapat berasumsi yang aneh terhadap mereka.

Sehingga aku mengetahuinya, saat dimana tidak ada aku. Dimana dia beristirahat dan aku berfokus kepada Bartley. Dia berbicara kepada Hera, dan tidak hanya Hera juga dengan orang lain selama bertahun-tahun. Dan dia memang tidak memilih untuk berbicara kepadaku atau di depanku. Aku tidak tahu, aku bertanya-tanya.

Sehingga pada malam hari, aku mendengar sesuatu, sesuatu.

"Hera? Dia sungguh seperti ibumu. Kamu dapat memilikinya untuk berdiri di sebelahmu saat kau menggantikan ku nanti, Farren. Pilihanmu bagus." Aku melihat dari sela sela tangga, dimana mereka tidak dapat melihatku. Aku melihat Lusder berbicara kepada Farren. "Kau jatuh cinta padanya?"

Aku, disaat itu. Kedua sisi kepala ku penuh dengan semua pikiran dan suara mereka yang entah mengapa semakin jelas dalam telingaku. Aku mengharapkan sebuah jawaban dari mulutnya, seolah olah Farren pernah menjawabku sebelumnya. Tapi, Oh Tuhanku. Tidak, Tidak ,Tidak.

Ia tersenyum, sangat manis. "Hera, aku sudah melihatnya sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Dia memotivasi ku untuk terus berlatih di lapangan, Aku berusaha menyelesaikan progress yang diberikan Poebe untukku agar aku dapat beristirahat dan bertemu dengannya."

POEBE (Era Luxury)Where stories live. Discover now