07: Dia yang Paling Kusayangi

56 17 3
                                    


"Kak Azlin tuh ... beneran percaya banget sama mimpinya, ya?"

Dari awal, aku tidak pernah menyembunyikan kepercayaanku yang satu ini. Warga Kota Ilusi memang rata-rata punya kemampuan menerawang mimpi dan kakekku peramal andal pada masanya. Sama sekali tidak mengherankan kalau kekuatan semi-semi cenayang itu menurun padaku juga. Toh, aku bangga dengan asal-usulku yang satu ini.

Aku juga sudah biasa dengan teman-temanku yang asli Kota Nirkhayal dan meremehkan kemampuanku. Mereka tumbuh di kota yang gersang akan hal-hal magis, jelas sulit untuk percaya. Hal-hal yang nyata di kota lain, bagi mereka cuma mitos. Akan tetapi, cara Nara mengatakan keheranannya dengan wajah sangsi yang kentara membuatku kesal.

"Mimpiku sudah berkali-kali teruji, Nara. Aku bukannya percaya tanpa landasan dan pengalaman." Kugenggam gelas kopi susuku yang masih separuh isi. "Buktinya, aku mimpi kamu dan aku beneran ketemu kamu, kan?"

"Itu mah di kantor juga pasti ketemu, Kak. Ngadi-ngadi lo."

"Bukan gitu maksudnya!" Aku mengerang. Ah, sudahlah. Mau dijelaskan bagaimana pun, sekali skeptis pun tidak akan percaya sampai kena ke mereka sendiri. Runa contohnya. "Mending balik ke tujuan awal. Aku tadi kepikiran, gimana kalau kita kolaborasi buat bagi-bagi pagi? Kebetulan, aku emang udah lama pingin bikin gerakan sosial kayak gitu, tapi belum nemu timing yang pas aja."

Sebenarnya, ide kolaborasi itu tercetus dari insting ngeles, sih. Untung tadi aku tidak keceplosan cerita tentang mimpi pernikahan juga. Sekalian saja kubelokkan topiknya ke arah lain.

Nara bertopang dagu. "Lo dadakan banget, sih, Kak. Emangnya udah solid idenya?"

"Ya makanya aku ajak ngobrol di sini," tanggapku gemas. "Enggak mungkin di kantor, kan? Kita berdua lagi sama-sama dapat order desain menggunung."

Mata sayu Nara mendelik—lagi. Lama-lama aku khawatir matanya terbawa juling. Lelaki yang lebih muda tiga tahun dariku itu menghela napas. "Bisa via chat, Kak. Enggak usah ngopi berdua segala."

"Pasti kamu slow response," tukasku. "Enak ngobrol langsung gini."

Aku bukan pendebat yang baik, tapi Tuhan mengaruniai kemampuan berkelit yang sudah diakui kemahirannya. Bisa dilihat dari Nara yang menghela napas keras-keras, kehabisan argumen. Akhirnya, kami membahas tentang awal mula Nara menginisiasi gerakan bagi-bagi personalnya.

Ternyata, Nara sudah biasa melakukan kegiatan sosial semacam itu sejak sekolah. Selain bagus dalam pekerjaan, hatinya pun luar biasa. Sepertinya aku sudah memuja aspek ini sebelumnya, tapi akan kupuji lagi. Semua orang harus tahu bahwa aku tidak salah memilih gebetan dan hampir bisa dipastikan aku akan menikah dengannya.

Percakapan kami terputus saat matahari resmi tergelincir seutuhnya. Hasilnya adalah diskusi lanjutan akan dilakukan melalui pesan teks. Itu artinya, lebih banyak interaksi dengan Nara. Aku tersenyum lebar karenanya.

"Mimpi indah, Nara." Aku tersenyum seraya melambai. "Kalau aku bisa pulang kampung agak lama, akan kupelajari ilmu agar aku bisa meninggalkan mimpi indah dalam kepalamu."

Tentu saja Nara tidak membalas. Sudah kuduga. Tidak apa-apa, karena mengobrol berdua di luar jam kerja seperti ini sudah kemajuan luar biasa. Seharusnya kita sudah bisa dibilang lebih kenal satu sama lain, kan?

💭

Entahlah Nara mimpi indah atau tidak. Sialnya, aku lupa mendoakan diriku sendiri. Atau mungkin semesta ingin bercanda. Yang jelas, mimpi yang kuingat malam ini sama sekali jauh dari kata indah.

Mimpinya bukan tentangku. Ini soal Runa. Orang bilang sebaiknya mimpi buruk jangan diceritakan, tapi aku tidak bisa. Fragmen dalam mimpi terus-terusan berputar di kepalaku macam kaset rusak, bagaimana aku bisa lupa?

[END] The Boy I Met in DreamWhere stories live. Discover now