Bab 7: Skor satu kosong

Mulai dari awal
                                    

Anila yang sedang berusaha memahami situasi jadi begitu pendiam. Dia mengamati Shaga lebih sering dari biasanya. Maka itu, Anila merasa Shaga jadi lebih sering tersenyum dari yang pernah dia ketahui.

"Belajar memang penting. Tapi, berinteraksi dan memiliki pengalaman juga tak kalah penting. Itu akan membantu kalian untuk mengenali diri sendiri. Karena terkadang, dengan membuka diri kita untuk orang lain, kita juga sedang membuka diri untuk kita sendiri," seru Pak Omar seperti sedang memberikan petuah paling penting dalam hidupnya.

Anila diam saja mendengarkan.

"Kalian pasti butuh waktu untuk saling berdiskusi," kata Pak Omar, yang kemudian berinisiatif untuk memberi ruang pada mereka.

Sebelum berpisah untuk pulang, mereka membereskan beberapa dokumen dan mulai menyesuaikan jadwal untuk bertemu. Pak Omar juga bilang kalau sudah berbicara dengan Bu Laila terkait anggaran dana ekstrakurikuler, katanya akan dikabari informasi selanjutnya. Memang akan sulit untuk langsung mendapat dukungan, karena itu Shaga akan membantu mencarikan solusi.

"Beberapa program yang telah dibuat lebih baik disesuaikan kembali dengan waktu dan kesiapan tim anggota ekskul," ucap Shaga menasehati. "Selain itu, perlu ditentukan rapat mingguan selain di hari Selasam dan Kamis yang jadi agenda rutin pertemuan pembuatan mading dan buletin. Supaya waktu lebih efektif, misal hari Senin khusus untuk pembahasan rapat membicarakan pra acara dan juga pasca acara. Baru di hari Selasa dan Kamis untuk eksekusi program, seperti di sini rombak mading dua minggu sekali, jadi pengumpulan bahan dimulai setiap minggu. Ada juga persiapan untuk majalah online di halaman Facebook sekolah untuk diposting hari Selasa atau Kamis."

Anila mengangguk sambil mencatat di potongan kertas kecil. Itu persis yang pernah aku rancang di buku catatan hijauku yang hilang.

"Banyak hal yang luput diperhatikan. Coba dianalisis kembali kekuatan dan kekurangan tiap program yang dibuat. Oh ya, ini yang bikin semua program kamu sendiri Anila?"

Anila mengangguk cepat, takut ada yang terlewat.

"Belum ada rapat dengan tim anggota buat bahas penanggung jawab dan job description?"

Anila menggeleng. Aku baru selesai revisi kemarin lusa dan diserahkan langsung ke Pak Omar. Kami bahkan belum kumpul lagi sejak itu ribut-ribut, karena harus mengikuti syarat Pak Omar agar meminta bantuanmu, Kak Shaga!

"Baiknya semua hal diputuskan bersama dengan anggota tim. Supaya mereka merasakan keterlibatan langsung."

"Mereka sudah membaca dan setuju," tukas Anila.

"Tetap perlu dibahas dengan satu persatu sambil duduk bareng," saran Shaga.

"Kami hanya berlima, Kak."

"Karena kalian hanya berlima, harusnya mudah mengumpulkan orang buat berdialog dan berdiskusi," terangnya. "Anila, kamu—"

"Coba kutebak," sela Anila. "Menurut Kak Shaga, aku tidak cukup baik sebagai ketua? Aku seharusnya bisa lebih memahami kondisi ekskul yang tampaknya sangat jauh dari harapan, dan aku perlu sadar diri karena rencana-rencana yang aku buat terlalu berlebihan dan menyusahkan banyak orang?"

Shaga menyipitkan mata. "Aku tidak berpikiran begitu," kata Shaga, tiba-tiba terdorong untuk berkata sejujurnya. "Untuk pertama kali, hal yang wajar jika mengkhawatirkan semuanya. Rencana yang Anila buat sangat detail dan bagus, hal itu penting, kamu hebat dalam hal itu. Lalu perihal eksekusi, itu bukan hanya tugas seorang ketua saja, semua tim berkewajiban melaksanakan jobdescnya."

Dagu Anila terangkat. "Aku sudah melakukan mencoba. Tapi, Bu Laila tidak mengizinkan beberapa projek yang telah dirancang karena rekam jejak ekskul selama lima tahun yang tidak menjanjikan."

"Aku di sini untuk membantumu, Anila," ucap Shaga dengan nada mengingatkan.

"Tapi, Kak Shaga terus menyudutkanku," bantah Anila.

Kapan?

Shaga ingin menanyakan hal itu, tapi mengurungkan niat. Dia memutuskan untuk tidak bertindak gegabah, dan menenangkan Anila. Dia menatap juniornya yang sedang kalut. Sebetulnya, Shaga paham apa yang sedang berkecamuk di benak Anila. Tanggung jawab, ekspektasi dan harapan orang-orang, sedang dipikul di bahu mungil Anila. Seorang ketua. Dengan kondisi ekskul yang tidak begitu mendukung. Bukannya mendapatkan hak kehormatan dan dukungan, Anila akan menjalani rintangan dan tantangan panjang selama setahun masa periode yang akan dihabiskan untuk membangun.

"Kamu harus percaya padaku, Anila."

Anila membisu sangat lama sehingga Shaga sempat menyesali sikap tegasnya di awal.

"Aku tahu kamu tidak akan langsung mempercayaiku," ujar Shaga.

"Aku akan jujur," jawab Anila akhirnya. "Aku bahkan tidak yakin pada diriku sendiri."

Sejak kehilangan buku catatan hijauku, batin Anila pedih.

Shaga menatap Anila beberapa saat. Terlihat seperti mempertimbangkan sesuatu dengan serius. "Semua akan baik-baik saja," katanya, entah bagaimana hal itu terdengar seperti pujian.

Sepanjang jalan pulang, Anila merasa seniornya itu cukup baik kalau saja dia tidak secara terang-terangan begitu mengkritik dirinya. Lebih dari itu, Shaga mau direpotkan secara gratis. Tetapi, apa benar ada yang namanya gratis di dunia ini? batin Anila. Dia sendiri tidak pernah tahu niat dibalik perbuatannya itu.

"Anila," panggil Shaga, berusaha menjajari Anila. "Besok sore setelah bimbel, kita bisa ketemu sebentar."

Anila menoleh. "Tapi, itu pasti magrib, Kak Shaga."

"Setelah sholat di musolah sekolah, aku akan mampir sebentar ke rumahmu," kata Shaga dengan nada bicara yang datar. Seakan-akan berkunjung ke rumah cewek adalah hal yang biasa. Padahal, Anila sendiri tidak pernah menerima tamu teman laki-laki meskipun rumahnya dekat dengan sekolah.

"Kenapa di rumahku?" tanya Anila curiga.

"Rumahmu dekat. Mau ke rumahku?"

"Ketemu di sekolah saja."

"Sekolah sudah tutup, Anila. Gelap juga. Lebih aneh kalau perempuan dan laki-laki di sekolah malam-malam. Kecuali besok ada acara sekolah," jawab Shaga.

Tentu saja besok tidak akan tiba-tiba ada acara sekolah hingga malam. Dan, yang dikatakan oleh seniornya itu benar. Sebagai perempuan, Anila juga risih. Tapi apakah bertemu di rumahnya pilihan yang baik? Anila tidak tahu. Dia tidak pernah dekat dengan laki-laki hingga mengundangnya atau menyambutnya di rumah.

"Oke," Anila pasrah.

Skor satu kosong untuk seniornya itu. Menyebalkan.

Shaga berbelok ke arah lapangan parkir, sedangkan Anila berjalan lurus hingga keluar dari gerbang sekolah.

***

08/04/2014. 1296 Words.

Cuap-cuap penulis:

Hai, Hai!

Marhaban ya ramadhan! Makin dekat aja nih kita sama hari lebaran. Mohon maaf lahir dan batinnya, dan terima kasih sudah menemani Anila-Shaga di cerita ini!! Sekarang, setelah kita mensucikan hati dengan berpuasa, apakah Anila akan membersihkan prasangkanya pada Shaga? Hihihihi

Nantikan kelanjutannya! 

Btw, semoga lebaran kalian menyenangkan ya! Karena kalian orang-orang baik yang sudah mau baca cerita ini, aku akan selalu mendoakan kalian (salah satunya supaya dapat THR yang buaanyak wkwkwk)..

..tapi kalaupun belum dapat, nggak papa ya, rezeki bukan cuma di THR. Insya Allah akan ada rezeki-rezeki lain. 

Eh, kalau aku ngadain give away, ada yang mau ikutan nggak? hihii

Salam,

Deby-yang sudah lima tahun lebaran gak kebagian THR alias jadi yg ngasih THR-Rosselinni

Enchanted to Meet You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang