CHAPTER 24 | BOLOS

989 159 14
                                    

Waktu sudah hampir jam tujuh dan gerbang sekolah sebentar lagi pasti akan ditutup. Aku berdiri di depan kelas sambil beberapa kali menatap ke parkiran untuk melihat siapa tahu Mas Laut akan datang bersama dengan sepeda ontelnya. Namun, hingga saat ini pun tidak ada tanda-tanda Mas Laut akan datang.

Kemarin Mas Laut sudah tidak berangkat sekolah, masa hari ini juga tidak sekolah lagi?

Aku lantas mengeluarkan ponselku untuk mengirimkan pesan kepada Mas Laut.

Mas
Kamu kenapa nggak masuk sekolah lagi?
Kamu sakit?

Aku berdecak, kemudian menghembuskan napas panjang. Pesan yang aku kirimkan padanya centang satu, menandakan bahwa saat ini sepertinya dia sedang tidak memegang ponsel.

Dia menjadi susah sekali untuk dihubungi.

Aku khawatir, semenjak bapaknya Mas Laut meninggal, aku dapat merasakan perubahan sikap Mas Laut. Dia menjadi lebih pendiam daripada biasanya. Dia sepertinya benar-benar merasa kehilangan, karena dibandingkan dengan ibunya, dia memang lebih dekat dengan bapaknya. Kepergian bapak pasti membawa guncangan hebat dalam hidup Mas Laut.

Rasanya aku ingin sekali memeluknya lalu bilang padanya untuk tidak memendam semua masalahnya sendiri.

Aku lebih senang jika Mas Laut menceritakan apapun yang dia rasakan dan dia alami padaku dibandingkan hanya diam seperti ini dan susah dihubungi. Aku ingin sekali bilang padanya kalau aku disini, buat Mas Laut. Jadi jangan pernah merasa sendirian.

Terhitung sudah sejak tiga hari ini aku tidak berkomunikasi dengan Mas Laut. Bukannya tidak mau berkomunikasi, aku bahkan sudah puluhan kali mengiriminya chat dan berulang kali pula menelponnya. Namun ponselnya tetap sama, selalu mati. Kemudian keesokan harinya dia tidak berangkat sekolah. Tidak ada yang tahu alasannya kenapa Mas Laut tidak berangkat sekolah karena dia pun tidak izin. Alhasil selama tiga hari ini dia selalu dianggap membolos.

Pulang sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk menyambangi rumah Mas Laut. Saat aku sampai di pesisir pantai yang dekat dengan rumah Mas Laut, kulihat Mas Laut sedang duduk di atas kayu kecil yang ada di depan rumah.

Di depan Mas Laut terdapat sebuah ember hitam berukuran sedang, berisi tumpukan piring-piring. Ia sepertinya sedang mencuci piring-piring tersebut, ada sunlight di samping Mas Laut, tangan Mas Laut juga dipenuhi oleh busa-busa putih. Baru pertama kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, ada seorang anak laki-laki yang mencuci piring. Dan ternyata itu pacarku. Dia sedang membantu ibunya.

Aku tersenyum. Ini adalah salah satu hal yang membuatku suka sama Mas Laut. Walaupun di sekolah dia kelihatannya murid paling malas dan suka tidur di kelas, tetapi kalau di rumah dia yang paling rajin membantu orang tuanya.

"Buk, piringe wes resek. Tak tinggal kene. Ngko inggahi ibuk, ya," kata Mas Laut.

[Buk, piringnya sudah bersih. Aku tinggal sini. Nanti beresin ibu, ya.]

Dari dalam rumah, ibu menghampiri Mas Laut seraya menyahut. "Yo."

[Ya]

"Nang, Pak Dono wingi pesen karo ibuk. Nak koe selo, kon ngiwangi Pak Dono ngangkati blung-blung iwak. Soale rewange Pak Dono lagek loro," kata Ibuk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Buih di LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang