04: Dia yang Ingin Kudekati Tanpa Tahu Caranya

79 25 5
                                    

Di novel-novel, makan siang seringkali menjadi momen pertukaran informasi kelas atas. Kesempatan modus juga bisa. Keduanya dilakukan bersamaan? Sangat mungkin. Jadi, itulah yang kuniatkan saat mengajak divisi konten dan desain makan bersama.

Tentu saja target utamanya sudah jelas. Hanya saja, mengingat Nara lebih akrab dengan kru laki-laki (dapat dipahami) dan benar-benar membatasi interaksi denganku. tidak mungkin aku hanya mengajak Nara dan Runa makan bertiga. Yah, hitung-hitung menyalurkan kelebihan rezeki bulan ini. Lihatlah muka-muka sumringah yang bertebaran ketika makanan datang itu. Senyum para rekan membuatku turut tersenyum.

“Lagi ada hajat apa, Lin?” Mas Yogi. supervisorku di bidang desain, bertanya seraya mencomot kotak nasi. “Lo kagak ngabisin gaji sebulan buat traktiran ini doang, kan?”

Aku terkekeh. “Aman, Mas,” balasku. Walau selama di perantauan aku punya privilege berupa uang saku tambahan dari Papa, diri ini masih cukup sadar untuk tidak menghamburkan semuanya. “Anggap aja sedekah tolak bala. Biar komputerku enggak kebakaran lagi.”

Lelaki kepala tiga dengan perawakan buncit itu ikut tergelak. Penyebab rusaknya komputer kerjaku masih belum diketahui pasti, tapi yang paling penting, kesalahannya bukan di aku. Syukurlah, setidaknya gajiku beberapa bulan ke depan masih selamat. Setelah memastikan seluruh kru seruangan mengambil jatah mereka, aku mencomot kotak terakhir yang tersisa.

Nasi pulen hangat dalam bento ini favoritku. Ia wangi dan lembut. Berpadu dengan daging ayam dan udang yang telah dihaluskan, dibalut dengan kulit telur yang pas ketebalannya. Selain rolade ayam, ada salad sayur dan ekkado—kulit tahu goreng dengan isian ayam dan telur puyuh. Gurihnya ayam, hangatnya nasi, dan segarnya potongan acar wortel yang berpadu dengan mayones berdansa dalam mulut.

Tunggu. Kenapa aku malah asyik menelaah rasa-rasa? Niatku kan mencuri-curi kesempatan untuk berbincang dengan Nara di sela makan siang!

Kulirik Nara yang tengah khusyuk menikmati bento-nya. Sepertinya dia bukan tipe orang yang suka mengobrol sambil makan. Baguslah, berarti aku tidak kehilangan kesempatan.

Sesekali, mata bulatku curi-curi pandang. Bahkan ketika sedang makan hidangan enak begini, ekspresi Nara datar-datar saja. Jujur, aku kesulitan menebak apa yang sebenarnya ia pikirkan. Padahal aku sudah mencoba membuat daftar panjang tentang topik pemancing, tapi semua sirna begitu saja saat Nara balas menatap.

“Ada yang aneh di muka gue, Kak?”

“Eng–enggak, kok!” Kenapa pula aku mendadak gagap? “Bento-nya enak?”

Rasanya aku ingin mengubur diri setelah pertanyaan itu terlontar. Azlin Nadia, memangnya tidak ada hal yang lebih bermutu untuk ditanyakan?

“Enak.” Singkat, padat, terlalu jelas. Lantas, Nara menoleh ke arah Runa. “Kak Runa, lo jadi bawa buku yang kemarin lo ceritain itu?”

Runa meletakkan sumpit. Gadis berkacamata itu merogoh tas selempangnya yang tergeletak di meja, mengeluarkan sebuah buku dengan sampul putih. “Gue yakin lo bakal suka, sih, Nar.”

Senyum tipis terbit di wajah Nara. “Makasih banget lho, Kak.”

Tunggu. Apa yang kulewatkan? Sejak kapan dua orang itu akrab sampai di tahap bertukar bacaan? Kenapa bisa Nara tersenyum semudah itu hanya karena sebuah buku?

“Itu buku biografi Arya Kawaguchi, Lin.” Seakan bisa mengintip gejolak batinku, Runa berceletuk dan menyebut nama salah satu tokoh politik yang menjadi topik utama pembahasan di proyek konten kami. “Kemarin, Nara minta rekom buku ke gue. Enggak ngapa-ngapain lagi, kok. Muka lo jangan sepet gitu, dong.”

Hei! Kalau diksinya begitu, nanti ketahuan dong kalau aku sering memperhatikan Nara? Mataku menyipit, melempar sinyal peringatan. “Muka aku biasa aja, kok?”

[END] The Boy I Met in DreamWhere stories live. Discover now