04: Dia yang Ingin Kudekati Tanpa Tahu Caranya

Start from the beginning
                                    

Tawa Runa mengudara. Sepertinya, wanita dengan bandana itu senang sekali melihatku terjebak dalam situasi salah tingkah. Untungnya, anak itu mengalihkan topik ke perkembangan proyek bersama kami. Aku harus berterima kasih pada Runa karena Nara jadi lebih banyak bicara karenanya.

Deadline seminggu lagi ya, Kak Azlin?” Mendadak, Nara bertanya. Aku yang tengah mengunyah potongan terakhir ekkado langsung terbatuk. Kaget karena pertanyaan tentang tenggat waktu muncul mendadak, dan tersedak karena seingatku tidak ada deadline desain di pekan ini.

Buru-buru kutengok kalender digital setelah jeda seteguk ocha dingin. Benar, kok. Ingatanku tidak mengkhianati. “Tenggat apa, Nara?”

“Proyek konten bareng Kak Runa yang bahas profil politikus sama fenomena politik anak muda itu loh, Kak.” Sekalinya Nara bicara panjang, nadanya jelas-jelas sarat akan gerutu. “Baru juga berapa hari lalu dibahas!”

Aku mendengkus. Selain batu dalam urusan pekerjaan, Nara juga calon-calon manusia workaholic kelewatan, alias tidak bisa santai sedikit. Presentasi konsepnya saja baru akan kulakukan besok pagi, berhubung Mbak Sella sedang pergi ke luar kota dua hari terakhir. Rasanya aku pernah bilang ke Nara, deh, tentang hal ini. Lagipula, untuk ukuran anak magang, jobdesc dia sudah terhitung banyak!

“Sabar, Nara.” Aku berusaha memasang suara sekalem mungkin. “Mbak Sella baru bisa ku-pitching besok. Kamu sepertinya benar-benar enggak sabar mengerjakan proyek itu, ya?”

“Aneh denger lo nyuruh orang lain sabar,” celetuk Runa. “Lo sendiri enggak ada sabar-sabarnya, Lin.”

“Kenapa kamu sukanya memojokkanku, sih, Run?” erangku. Aku sadar bahwa terkadang sumbu kesabaranku juga sependek itu, tapi tidak perlu disebut dalam pembicaraan ini, kan? Sekilas, kulihat ujung bibir Nara berkedut. Dia sedang menahan tawa, kah?

Nara mencomot lauk terakhirnya. “Kalau ada yang bisa gue kerjain, lemme know, ya, Kak.”

Benar-benar calon karyawan teladan yang perlu dipertanyakan. Aku memutar mata. “Tolong jangan bayangkan kerja di Masatoki harus membuat desain 24/7 ya, Nara. Kita bukan agensi yang jam kerjanya jungkir balik.”

“Nara masih baru, Lin. Masih semangat-semangatnya. Lo enggak ingat pas pertama kali masuk sini dua tahun lalu?” Lagi-lagi Runa nimbrung. “Mas Yogi sampai nyuruh lo diam dua hari, saking seringnya lo nanya ada yang bisa dikerjain apa enggak. Lebih parah!”

Saraswati Tukang Ungkit Aruna. Kenapa percakapan ini jadi terasa dua lawan satu? Aku saja hampir lupa dengan kejadian itu. Memangnya dulu aku seambisius itu dalam bekerja? Kalau Runa menceritakan dirinya sendiri yang seperti itu, baru aku percaya.

Nara tidak berkomentar. Ia kembali ke setelan pabriknya yang dingin dan hemat bicara.

Terhitung sudah lima pekan sejak mimpi pernikahanku muncul, dan masih tak ada hilal keterwujudan dari mimpi itu. Kelanjutan dalam mimpinya juga belum hadir, sih. Yang jelas, lima pekan itu membuatku mulai mengenali karakter calon jodohku.

Nara pemakan segala, baik dalam konteks makanan maupun bacaan. Sepertinya, pekerjaan yang paling dia sukai di bidang desain adalah segala hal yang berkaitan dengan pengaturan tata letak dan utak-atik situs, berbeda denganku yang lebih nyaman bekerja dengan ilustrasi editorial. Pemuda itu dingin ketika sedang bicara padaku, tetapi sebetulnya bisa bersikap lebih ramah kalau dia mau. Mata sayunya jarang sekali berkedip kalau sudah fokus dengan pekerjaannya. Ia tinggal di bagian utara Kota Nirkhayal, dan ia memilih kereta komuter menjadi teman baiknya.

Sejauh ini, kecuali sikap macam es dan kepala batunya, Naratama Abhiyaksa adalah bendera hijau berjalan. Siapa yang tidak mau dapat jodoh sebaik itu?

Aku jelas mau. Akan tetapi, bagaimana dengan Nara?

Jujur, aku makin bingung. Semoga mimpiku nanti malam memberi petunjuk tambahan, apakah benar Nara jodohku atau bukan. Masalahnya, kalau tidak kejadian, berarti ada yang salah dengan kekuatan mimpi yang mengalir dalam darahku, dan itu bukan kabar baik.

Makan siang sebagian besar dari kami sudah tandas. Mas Yogi berkeliling dengan kantong plastik di tangan, menadah sampah dari anak buahnya. Beberapa orang pergi ke luar, entah mencari apa. Termasuk Nara. Aku ingin menyusul karena penasaran, tapi Azlin menahan tanganku.

“Lo lagi luang, kan?”

“Luang” adalah kode curhat Runa. Kami tidak menyepakatinya secara gamblang karena Runa tipe manusia yang gengsinya setinggi langit, tapi setiap kali anak itu bertanya keluangan waktu, pasti ada saja yang mau diceritakan. Jadi, aku mengangguk dan kembali duduk.

Satu detik.

Dua detik.

Bibir tipis Runa masih bungkam.

Kusisir kondisi sekitar. Hanya ada kami berdua. “Cerita saja, Runa.”

Kepala Runa menunduk. Tangannya mengepal di atas paha. Tarikan napasnya begitu panjang dan berat sebelum ia membuka curahan hatinya. “Adik gue enggak lolos seleksi beasiswa.”

Oh ya, benar juga. Rangkaian seleksi calon mahasiswa nasional di Antaranusa sedang berjalan. Runa dua bersaudara, dan adiknya baru lulus sekolah tinggi. Gadis itu sempat cerita kalau adiknya ingin masuk ke Akademi Sains Nirkhayal, kampus paling bergengsi di seluruh penjuru negeri untuk bidang penelitian.

“Enggak coba jalur reguler?” tanyaku hati-hati. Aku kenal adik Runa, dan otaknya tak kalah encer dari sang kakak. “Dia kan pintar. Aku yakin dia pasti bisa lolos.”

“Gila. Biaya daftarnya aja seribu* koin, Lin. Belum uang semester sama duit pangkalnya.” Gadis lidi itu melempar tatapan yang-benar-saja padaku. “Duit gue udah mepet buat biaya makan dan obatnya Bokap-Nyokap.”

Aku terdiam. Seribu koin itu seperlima dari gaji kami sebulan. Memang berat kalau masih harus dibagi dengan kebutuhan lain. Meski begitu, bukankah sayang kalau anak sepintar adiknya Runa menyerah begitu saja?

“Uang daftarnya aku bayarin, deh.” Inisiasi spontan itu meluncur begitu saja dari bibirku. Jujur, gajiku selama di perantauan lebih dari cukup karena Papa masih mengirimiku uang setara UMR tiap bulannya. Aku hidup sendiri, pula. “Nanti tolong dikirim saja rekening pelunasannya.”

Runa melotot. “Mikir yang bener, Azlin Nadia! Enteng banget lo main minjemin uang segede itu?”

“Lho, siapa yang mau meminjamkan?” Dahiku mengerut. “Tidak usah dikembalikan, Runa. Toh, aku kenal adikmu.”

Raut wajah Runa berubah masam. “Gue masih cukup mampu buat enggak ngemis ke orang lain, Azlin.”

Hah? Aku sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Justru aku takjub dengan Runa yang pekerja keras dan jadi tulang punggung keluarga, padahal kami sepantaran. Aku hanya ingin meringankan sedikit bebannya agar sahabatku yang satu itu bisa lebih menikmati hidup. Akan tetapi, kenapa Runa kelihatannya malah tersinggung?

“Itu namanya bukan mengemis, Runa. Kan, aku yang menawarkan bantuan.” Kukeluarkan ponsel lipatku dari kantong blus. “Aku transfer seribu koin ke rekeningmu, ya?”

“Enggak. Gue enggak enak nerima uang segede itu cuma-cuma. Mending gue nambah lemburan aja.” Gadis dengan kulit kuning langsat itu menghela napas panjang. Masih terdengar berat. “But thanks anyway, Lin.”

Aku tidak paham kenapa Runa mengambil jalan susah begitu. Bukankah kalau dia menerima bantuanku, uangnya bisa dialokasikan pada hal lain? Akan tetapi, memaksa hanya akan membuat masalahnya makin runyam.

Yang jelas, sejak mengenal Runa, aku melihat sosok teladan di sana. Aku tahu pasti, keluarganya beruntung karena mereka punya sosok kakak dan anak yang penuh tanggung jawab, dan aku masih mengaguminya.

💭
03/04/2024. 1605 words.

*Satu koin: seribu rupiah

Dina cuap-cuap:
Ketika menulis ini, sebenarnya aku sempat merasa ragu. Can I make it till very end? Aku ngerasa caraku membawa Azlin nggak seoke bayanganku, tapi ya harus lanjut jalan juga ....

Jadi, yah, mari YOLO. Komen aja kalau mau gemes sama Azlin atau ada bagian yang terasa mengganjal. Sebagai pembaca yang baik, jamhan lupa tinggalkan jejak, ya! ♥️

[END] The Boy I Met in DreamWhere stories live. Discover now