Bagian 15

116 27 2
                                    

Kala mendudukkan tubuhnya tidak jauh dari Kara yang sibuk dengan gitar di pangkuannya, cewek itu membawa sepiring cakwe hangat yang sempat ia beli sepulang membeli ponsel baru.

Kala bersandar pada tembok dibelakangnya, matanya tidak lepas memperhatikan Kara yang mulai memetik gitarnya seraya memakan cakwe. Ia mulai terbawa dengan nada-nada indah yang diciptakan Kara seraya menerka kira-kira lagu romantis apa yang hendak saudara kembarnya itu nyanyikan.

Mangku purel..

“Asu!” umpat Kala, ia hampir tersedak karena mendengar lagu yang dinyanyikan Kara. Cewek itu mengira jika Kara akan menyanyikan lagu romantis, ternyata bukan. Ekspektasinya terlalu tinggi.

“Kirain lo mau nyanyi lagu romantis, taunya anjing!” lanjut Kala memaki.

Kara sendiri tak acuh, ia fokus memetik gitar dengan mulut yang terus bernyanyi. Tidak peduli dengan Kala yang sudah ancang-ancang untuk melemparkan sandal jepit padanya.

Mangku purel ning karaokean
Ndemek pupu sampek munggah ning Semeru
Mangku purel dudu penggawean
Luwih penting mikira masa depanmu

Kowe wis lali omah, ora ulih-ulihan
Senengane dolan ning karaokean
Gandhengi penyanyi, ora cukup siji
Cekelane botol, polahe kaya wong tolol

Ndang balia ning omah, bojomu wis ngenteni
Ora papa, ora bakal diseneni
Penting kowe jujur, janji ra mbaleni
Gek ndang mapan turu, sesuk esuk senam pagi

Kara berdiri kemudian menyusul duduk disamping Kala yang sedang sibuk mengutak-atik ponsel barunya. Cowok itu meletakkan gitarnya, lalu mencomot cakwe diatas meja.

“Udah ngabarin dia?” tanya Kara, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Kala. Sementara mulutnya sudah penuh dengan cakwe, pipinya bahkan sampai menggembung.

Kala menggeleng, “nggak hafal nomornya,” jawabnya lesu.

“Tapi gue hafal nomor si Karno,” lanjutnya lirih, membuat Kara menaikkan satu alisnya.

“Lah ya sono buruan minta ke si Soekarno, lu niat minta maaf kaga?” sahut Kara sewot.

“Dia slow respon.”

“Terus? Masalah? Udah buru chat. Lo kalau terus diem doang sekarang. Jangan nangis entar kalo misal dapet undangan nama dia bareng orang lain,” omel Kara kemudian melahap kembali cakwe yang tersisa ditangannya.

Kala menaikkan satu alisnya, “lo ngomongin diri sendiri?” tanya Kala dengan nada menggoda.

Kara mencebik, dalam hati ia memaki dirinya sendiri. Cowok itu berniat mengejek Kala hingga tanpa sadar tengah membicarakan nasibnya sendiri.

Kala sendiri menghela nafas, kemudian mulai mengutak-atik kembali ponselnya untuk mengirim pesan pada Karno.

You : ini gw Kala
You : minta nmr Wina

Karno : lo dmn bgst
Karno : wina dri kmren nyariin

You : yg bener?

Karno : kpn gw boong bjir
Karno : eh tp td pagi gw liat ad cwk yg jmpt wina
Karno : semok coyy

You : tai
You : udh buruan mna

Karno : send a contact
Karno : lo sbnernya dmn babik

You : kepo, thx

Kala akhirnya membuka roomchat dengan Wina, ia mengetikkan pesan namun sebelum dikirim ia menghapusnya. Begitu terus hingga beberapa menit karena ia bingung harus mulai dari mana.

Kara yang sedari tadi mengintip hanya bisa memaki-maki saudari kembarnya dalam hati. Ia mendengus, kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Kala dengan manja.

“Telpon aja kalau lo bingung mau ngetik apaan,” ujar Kara dengan nada malas.

Kala melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, “masih jam sekolah, takut ganggu.”

“Yaudah buruan chat anjing!”

You : Nana, ini Kala.

Kala segera menunjukkan pesan yang dikirimkan pada Kara membuat cowok itu langsung mengangkat kepalanya. Ia menatap saudari kembarnya datar.

“Bodo amat asu. Sekarang ayo traktir gue es oyen,” pinta Kara kemudian beranjak untuk berdiri, ia menarik lengan Kala agar ikut dengannya. Namun cewek itu malah menggeleng.

“Kita baru nyampe rumah lima belas menit yang lalu, Kar. Gue males, mana panas banget anjir kayak tinggal di matahari,” ujar Kala, ia berusaha melepaskan tangan Kara yang menarik tangannya kemudian merogoh sakunya.

Ia menyodorkan selembar uang berwarna merah pada Kara, “noh beli sendiri, beliin gue sekalian ya. Sekalian beliin naspad, gue laper.”

Kara menerima uang itu dengan senang hati. Ia hendak mencium pipi Kala sebagai ucapan terima kasih, namun urung karena Kala menatapnya tajam. Kara akhirnya tersenyum hingga matanya menyipit, lalu pergi dengan riang menuju motornya yang ada di garasi.

Winana : ini bukan orang iseng kan?

Mata Kala membulat ketika mendapati pesan masuk dari Wina, ia menghela nafas lalu segera mengetikkan balasan. Namun, saat hendak memencet tombol kirim, panggilan masuk dari Wina.

Kala menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menerima panggilan itu, ia menunggu untuk mendengar suara Wina dari seberang sana.

“Halo?”

Kala berdehem untuk mengusir rasa gugupnya, debar jantungnya menjadi tidak karuan hanya karena mendengar suara Wina setelah beberapa hari ini tidak mendengarnya.

“Halo? Ini orang iseng ya? Gue matiin nih kalo enggak jawab.”

“Eh? Jangan dong!”

Kala berdehem pelan karena kelepasan ngegas. Beberapa kali menghirup udara dengan rakus demi menetralkan degub jantungnya yang tidak beraturan seakan-akan bisa lepas dari tempatnya kapan saja. Padahal hanya perkara mendengar suara Wina.

“KAK KALA! KEMANA AJA SIH?! TAU GA AKU TUH KHAWATIR MIKIRIN KAKAK YANG NGILANG ENGGAK ADA KABAR TERUS ENGGAK TAU KEMANA! Aku pikir Kakak marah sama aku..”

Kala kelabakan saat mendengar nada sendu diakhir kalimat yang keluar dari mulut Wina diseberang sana. Ia cepat-cepat memutar otak untuk beralasan pada Wina, detik berikutnya ia menjentikkan jari dengan senyum merekah.

“Gue juga minta maaf karena ninggalin lo sendirian. Ada urusan mendadak yang bikin gue kudu pulang malam itu juga, maaf karena enggak bilang lo dulu dan bikin lo khawatir. Hp gue di copet waktu perjalanan juga, ini baru beli yang baru,” oceh Kala panjang lebar, ia lantas menaikkan satu kakinya, menunggu jawaban dari Wina.

“Enggak apa-apa kok, hmm Kakak kapan balik kesini deh?”

“Abis tahun baruan, Na. Ayah juga belum pulang soalnya, gue kangen di jewer beliau—” belum sempat Kala selesai berucap, sebuah mobil hitam yang berhenti tepat didepan pagar rumahnya mengalihkan perhatiannya. Rahangnya langsung jatuh ketika sang Ayah keluar dari dalam mobil itu.

“Buset, sebentar ya, Na. Bang Toyib tiba-tiba pulang. Nanti gue telepon lagi okay?”

Tanpa menunggu jawaban dari yang lebih muda, Kala buru-buru memutus sambungan secara sepihak. Ia meletakkan ponselnya sembarangan, lalu berdiri tegak dan memberi hormat pada Ayahnya.

Namun, sebuah tamparan keras mendarat pada pipinya sesaat setelah sang Ayah berdiri tepat didepannya. Kala bisa melihat jika wajah sang Ayah memerah seperti tengah menahan amarah.

Alisnya berkerut, mengesampingkan rasa perih yang menjalar pada pipinya bahkan sudut bibirnya sampai robek hingga mengeluarkan darah karena tamparan keras yang barusan ia dapat.

“Ada apa, Ayah?”




tobecontinue.

Adu RayuUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum