Bagian 10

231 31 6
                                    

Malam ini, Kala memutuskan untuk pergi ke rooftop. Rasanya sudah lama sekali Kala tidak menghabiskan waktu sendiri disini, ditemani dinginnya angin malam yang berhembus serta langit malam yang gelap.

Kala mendudukkan dirinya pada dipan yang ada di pojok rooftop, kemudian mengeluarkan bungkus rokok beserta korek api dari saku celananya. Ia mengeluarkan satu batang rokok dari sana, baru saja Kala hendak mematik korek api untuk menyalakan rokoknya, dering nyaring yang berasal dari ponsel miliknya membuat Kala mengurungkan niatnya untuk merokok dan segera merogoh ponselnya yang ada di kantung celana.

Kala berdecak kesal saat mendapati siapa yang menelepon, setelah menggeser tombol hijau dan mengaktifkan loud speaker. Kala meletakkan ponsel itu disampingnya.

Cewek itu melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda, setelah gulungan nikotin memabukkan itu menyala, buru-buru ia menyesapnya dan mengeluarkan asap lewat hidungnya.

“Cok, dienteni ngomong malah mbisu.”

Kala hanya terkekeh pelan, kemudian kembali menyesap gulungan nikotin yang ia apit di jarinya.

“Lagian, ngopo sih nelpon nek ra penting?”

“Agar silaturahmi tidak terputus, adakah seratus?”

“Bangsat.”

Suasana mendadak hening setelah itu, Kala fokus pada rokoknya dan ia yakin jika diseberang sana, Kara juga tengah menikmati rokok atau mungkin pod miliknya.

“Tadi siang gue ketemu emak,” ujar Kara setelah hampir sepuluh menit hening.

Kala yang sedang asyik menikmati batang rokok ketiganya langsung tersedak, ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak akibat asap rokok. Kara yang tahu Kala tersedak malah tertawa nista di seberang sana.

“Bangsat, lo kalau mau ngomongin emak aba-aba dulu kek anjing!”

“Sorry,” ujar Kara seraya berusaha meredakan tawanya, berusaha untuk kembali serius.

“Eh tapi, tadi gandengannya lain lagi. Biasanya kan seumuran, yang tadi kayaknya berondong. Nggak ada keriput, masih kenceng, tegap, pokoknya bukan kayak biasa.”

“Anaknya kali.”

Kala kembali menyalakan rokok keempatnya, ia sudah berniat ingin menghabiskan satu kotak sekaligus setelah terhitung hampir dua minggu ia tidak menikmati batang gulungan nikotin itu. Ditambah cerita dari Kara membuatnya makin semangat.

“Kembaranku yang pe'a, beliau itu pergi dari rumah baru delapan tahun. Yang tadi gue liat tuh lebih tua dikit dari kita anying!”

Kala jelas terkejut, namun pikirannya tetap positif. Dia tidak boleh berspekulasi negatif dulu jika tidak tahu kebenarannya, “nyicil kali, kan dulu tuh Ayah suka ninggalin dia sendiri.”

“Au ah, lo mah ga asik.”

“Eh tapi gue kepo, lo disapa enggak tadi?”

“Boro-boro anying, gue panggil teu nyaut.”

Kala tertawa nista mendengarnya, “iyalah, kan kita udah di buang tuh.”

“Gue jadi mikir buat cariin Ayah istri baru.”

“Buat apa anjir! Udah tua, nanti seronde juga tumbang.”

“Bapak kita tentara anjir! Lo pikir staminanya bisa disandingkan sama bapak-bapak tetangga?”

“Iya, sih. Tapi ga usah lah, kita udah tua ngapain punya emak lagi. Lagian tuh Ayah gak pusing nyari istri lagi.”

Diseberang sana, Kara mengeluarkan asap dari hidung dan mulutnya. Ia sedang nongkrong di angkringan 24 jam dekat kampusnya lantaran bosan sendirian di rumah.

Adu RayuWhere stories live. Discover now