02: Dia yang Membenciku Sepenuh Hati

Mulai dari awal
                                    

"Tapi, Lin, Nara ada benernya." Runa menanggapi. "Sebagai yang bakal nulis kontennya, gue juga ngerasa ide Nara lebih masuk. Kita mau bikin konten full edukasi, bukan yang terkesan banyak gimiknya. Kalau bisa, desainnya jangan aneh-aneh."

Apa semua warga asli Kota Nirkhayal itu begini, ya, seleranya? Kaku amat, semua harus serba tertata rapi, formal, teratur. Padahal, sedikit twist identitas di momen konten ini dimuat juga bukan hal yang buruk. Akan tetapi, dua lawan satu, suaraku kalah. "Iya, iya. Pakai konsep visual yang Nara bikin, ya, berarti?"

"Ya, terserah. Kan, Kak Azlin yang jadi mentor gue?"

Aku menghela napas. Gemas. Tadi kan kamu sendiri yang mendebatku? Andai Nara mode banyak bicara ini juga muncul di luar debat pekerjaan, dalam versi lebih ramah dan tidak batu, tentu saja. "Kalau begitu, minta tolong lengkapi pitch deck-nya, ya. Aku akan kontak Mbak Sella untuk memastikan kapan kita bisa presentasi rancangan kontennya." Aku masih memasang senyum termanisku.

Sebagai jawaban, Nara hanya mengangguk. Lantas, lelaki dengan rambut yang diikat asal-asalan itu bangkit dan cabut begitu saja. Memang sudah selesai, sih, pembahasannya, tapi apakah dia harus langsung pergi seperti itu? Aku kan masih ingin mengobrol lebih banyak dengannya!

💭

Istirahat siang, aku dan Runa pergi berdua ke restoran dimsum dekat kantor. Bukannya tidak mau mengajak Nara, tapi anak itu memilih untuk makan bersama kru dari divisi jurnalis. Dapat dimengerti, sih. Yang tidak bisa kupahami adalah betapa gayengnya obrolan Nara dan para lelaki itu.

Iya, kalau dari pengamatanku, anak itu hanya dingin padaku. Dia punya masalah apa denganku, sebenarnya?

"Lo berisik, sih." Runa berujar seraya mengunyah hakau, menanggapi curhatku. Tanggapan datarnya kontras sekali dengan semangat mengeluhku yang menggebu. "Capek kali kupingnya."

Kalau dipikir-pikir, iya juga. Selain memberi arahan, aku juga suka menanyakan semua hal yang kurasa bisa jadi topik pembicaraan. Hal yang sangat wajar dilakukan pada seseorang yang ingin kau kenali lebih jauh. "Tapi, kamu betah-betah saja tuh, berteman denganku?"

"Itu gara-gara lo pepet mulu. Gue udah pasrah."

Aku merengut. Tidak ada gunanya juga kalau aku kesal, sebenarnya. Ini Runa, cewek dengan mulut yang kadang-kadang pedasnya mengalahkan cabe rawit. Fokusku beralih ke piring Runa yang baru disinggahi dua biji hakau dari awal kami masuk restoran. "Enggak nambah, Runa?"

Runa menggeleng. "Hemat gue. Tagihan numpuk. Kenyang, kok, lagian."

Satu biji hakau hanya terdiri atas lembaran kulit dimsum yang nyaris transparan dan isian udang yang setengah kepal tangan saja tidak sampai. Mana kenyang? "Kan sudah kubilang, aku yang traktir!"

Kalau tidak kuseret, teman sedivisiku ini suka melewatkan makan siang, atau malah makan di warung antah berantah yang kebersihannya dipertanyakan. Kadang aku curiga dia hanya makan sekali sehari, apalagi dengan perawakan lidinya. Kusodorkan aneka rupa dimsum yang belum terjamah ke sisi Runa. "Sudah berapa kali kubilang, Runa? Enggak perlu sungkan-sungkan kalau sama aku!"

Gadis dengan bandana kotak-kotak itu menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan. Setelah helaan napas panjang, barulah ia mengambil sebiji kuotie—dimsum dengan isian udang dan ayam serta kulit luar yang tebal. Muka Runa jadi lebih cerah setelah beberapa potong dimsum tambahan masuk dalam mulutnya.

Tuh, kan, anak itu aslinya lapar. Kenapa dia harus menahan diri, sih?

Makan siang kami tandas dalam waktu kurang dari setengah jam. Aku mencolek sisa-sisa chili oil yang masih tersisa di piring kecil. Pernah sekali aku pergi ke Kota Harapan (nyaris 24 jam dengan kereta) dan mencicipi hidangan dengan bubuk perasaan yang menjadi ciri khas mereka. Pengalaman yang menyenangkan, karena aku mimpi indah setelahnya.

Mendadak, aku terpikir untuk diam-diam membubuhkan bubuk semacam itu ke makanan Nara. Siapa tahu sifat esnya mencair. Namun, buru-buru kutepis ide itu. Harga sebotol kecil bubuk perasaan yang ada di marketplace saja harganya sudah setengah dari total koin upahku. Aku harus mencari tahu apa yang bisa membuat Nara luluh tanpa bubuk perasaan.

Sayang sekali aku tidak mempelajari cara masuk ke mimpi orang. Sekali lagi, aku menyesal. Namun, kalau jodoh pasti bertemu, kan?

"Jangan kebanyakan halu lo." Seakan bisa membaca isi kepala, Runa mendorong bahuku. "Lo udah ngerjain desain feature buat besok, belum? Keburu ditagih Mbak Sella. Mampus lo nanti."

Duh, pakai acara diingatkan, pula. Tanpa reminder dari Runa pun, aku sadar diri, kok. Istirahat kan belum berakhir, apa salahnya aku santai sedikit?

Aku dan Runa masuk ke lobi kantor ketika kami berpapasan dengan Nara beserta segenap kru divisi jurnalis. Tentu kusapa gerombolan itu dengan riang gembira. Yang lain membalas dengan senyum sama lebarnya, sedangkan Nara hanya mengangguk dan berlalu. Bahkan ia enggan berusaha tersenyum tipis.

Kenapa, coba?

Diriku sedang berjibaku dengan revisi desain berita feature beberapa saat kemudian ketika Nara mengetuk ujung mejaku. Entah kenapa aku punya firasat bahwa dia mau minta pekerjaan, karena ... sudah kubilang, kan? Anak itu hanya mau bicara padaku jika terkait pekerjaan.

"Kak, enggak ada kerjaan buat gue?"

Tuh, kan. Rasanya ingin kujawab kalau tugasmu belajar untuk menerimaku dalam hatimu, tapi aku masih cukup waras untuk menahan diri. Kucek daftar pekerjaan yang tersisa untuk hari ini. "Sayangnya enggak ada. Pekerjaanku juga mau selesai, kok, ini. Memangnya pitch deck-mu sudah kelar?"

"Gue taruh folder biasa." Mata hitam Nara menatapku. Tidak setajam tatapan di pertemuan awal-awal, untungnya. Mata sayu tajam yang muncul di mimpi sebulan lalu masih terekam jelas di kepalaku. "Kalau kerjaan Kak Azlin sudah kelar, minta tolong cek, ya."

Sebulan mengenal Nara, ada satu hal yang membuatku penasaran. Mumpung suasananya sedang enak, aku memutuskan untuk bertanya sekarang. "Nara, kamu selalu pakai kalung ke mana-mana, ya. Cincin yang ada di kalungmu itu punya siapa, sih?"

Untuk gambaran, Nara bukan tipe cowok metropolitan yang gayanya macam-macam. Pilihan pakaiannya sebulan ini pun standar: kemeja atau kaos, celana panjang berwarna netral sebagai bawahan. Satu hal yang selalu ada di penampilannya adalah kalung yang melingkari lehernya, dan Nara tidak terlihat seperti seseorang yang suka mengenakan aksesoris.

Di mimpiku waktu itu pun, sosok mirip Nara tersebut juga mengenakan kalung bercincin. Makanya aku langsung bisa mengenali. Lihat betapa akuratnya mimpiku? Ciri-ciri fisiknya persis sampai ke aksesoris orangnya. Dan kalau kalung itu terus dikenakan, artinya benda itu berharga, kan?

Mendengar pertanyaanku, si lelaki dengan poni belah tengah itu menyembunyikan cincin yang kumaksud ke balik kemeja. Tatapannya kembali dingin. "Kepo lo, Kak." Ia tak lagi menanggapiku setelahnya, kembali tenggelam dalam pekerjaannya sendiri.

Kuhela napas panjang. Ini memang Nara yang dingin atau ada kesalahan yang tak kusadari?

💭

02/04/2024 - 1589 words.

Dina cuap-cuap:

Aku sebal sendiri dengan karakter Azlin tiap kali nengokin outline. Huft.

[END] The Boy I Met in DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang