01: Dia yang Kujumpai dalam Mimpi

238 43 20
                                    

Sebagai wanita yang sudah memasuki umur wajar untuk duduk di pelaminan, tentu saja aku ingin menikah. Apalagi kalau melihat Mama dan Papa yang begitu harmonis.

Hanya saja, memimpikannya-secara harfiah-itu beda cerita. Kalau sudah aku yang bermimpi, itu sebuah pertanda. Apalagi kalau setelah bangun tidur isi mimpinya masih terasa sejelas itu.

Konon, di Antaranusa, memang ada beberapa keajaiban yang tidak masuk di nalar, tapi ada buktinya. Terpampang nyata, pula. Sebutlah Kota Harapan yang terkenal dengan bubuk perasaan dan kuliner ajaibnya-baik secara kiasan maupun harfiah. Kota Para Pemimpi, tempat orang-orang memasak dengan mimpi yang dibubuhkan dalam makanan buatan mereka. Atau kota asalku, Kota Ilusi, yang terkenal dengan kuatnya gen peramal mimpi dalam tubuh mereka.

Nah, tapi tempatku merantau ini bisa dibilang kota tanpa keajaiban. Kota tanpa mimpi. Namanya memang Kota Nirkhayal, sih ....

Aku jadi sejarang itu bermimpi sejak merantau, tapi sekalinya muncul, akurasinya nyaris sempurna. Yang samar-samar saja bisa mewujud selama aku ingat. Jadi, kalau aku sampai sejelas ini dalam mengingat apa yang kalian sebut bunga tidur itu, pasti isinya akan kejadian. Pasti.

Pertanyaannya, siapa lelaki yang menikah denganku dalam mimpi?

Aku tidak mengenali wajah itu di dunia nyata, tapi semuanya terekam jelas. Rambut lurus sebahu yang ditata rapi. Mata sayu dengan sorot tajam di waktu bersamaan. Hidung mancung. Kulit keemasan. Senyum tipis nan dingin yang anehnya tampak begitu memukau. Saking nyatanya, begitu bangun tidur, hal yang pertama kali kulakukan adalah menggambar wajahnya dan aku masih bisa mengingat seluruh detailnya.

Gara-gara itu, aku nyaris telat masuk kantor sekarang.

Azlin Nadia, kamu bodoh sekali, sih?

Untung kosku masih terhitung dekat dengan kantor. Jalan cepat lima belas menit masih keburu. Kalau melihat jalanan macet, menyewa jasa antar-jemput daring pun tak akan berbeda jauh waktu tempuhnya. Yah, semoga riasanku tidak hancur saja-

Astaga. Hujan deras dadakan.

Bajuku agak terselamatkan karena kebetulan aku berjalan dekat halte yang bisa dipakai berteduh, tapi tetap saja tempias membuatnya basah. Kakiku jelas alamat tidak selamat, soalnya aku tidak punya ilmu berjalan di atas udara.

Tadi cerah, lho. Dari mana datangnya hujan yang debitnya macam guyuran ember raksasa ini?

Untungnya lagi, aku tidak lupa membawa payung hari ini. Kalau aku telat, bisa-bisa gajiku dipotong! Buru-buru kukembangkan payung kodok hijau kesayanganku, lantas berlari menembus derasnya hujan.

Tinggal satu jalan yang perlu kusebrangi dan kantor sudah di depan mata, tapi sesosok lelaki yang tengah berteduh menarik perhatianku. Azlin Nadia dan penyakit gampang salah fokusnya. Ini bukan waktu yang tepat, tapi manusia dalam balutan kemeja biru dongker dan celana chino itu sungguh membuatku ingin tahu. Matanya mengarah ke gedung tempatku bekerja dan sebuah lanyard dikalungkan di lehernya. Motifnya sekilas persis milikku.

Kru baru, kah? Aku belum pernah melihatnya.

Tunggu.

Aku pernah melihatnya. Pagi ini. Dalam mimpiku. Kecuali ekspresinya yang kali ini datar, segala fitur fisiknya persis lelaki yang kugambar begitu bangun tidur.

Alih-alih mengejar jam masuk kantor yang kian dekat, aku malah berbelok menghampiri orang yang bahkan kutahu namanya pun tidak.

"Mau ke kantor Masatoki, Mas?"

Sebagai satu-satunya manusia yang ada di sana, tentu saja seharusnya lelaki itu tahu kalau pertanyaan itu kutujukan padanya. Namun, ia hanya diam. Menggeleng atau mengangguk pun tidak. Kalau ditilik dari dekat, lanyard-nya memang lanyard kantorku, sih. Berarti seharusnya jawaban pertanyaanku adalah ya. Kenapa diam saja, sih?

[END] The Boy I Met in DreamWhere stories live. Discover now