01: Dia yang Kujumpai dalam Mimpi

Start from the beginning
                                    

"Ayo, Mas. Saya juga mau nyebrang ke sana. Bentar lagi masuk kantor, nanti telat." Aku menyodorkan si payung kodok. "Lebar, kok. Bisa berdua."

Butuh beberapa detik sebelum lelaki dengan rambut terikat sebagian itu mengiyakan. Kenapa, sih? Apa dia tipe cowok yang merasa gengsi kalau ditawari bantuan oleh perempuan? Sudah mau telat begini, pilih-pilih pertolongan bukan tindakan bijak, tahu!

Payung kodokku berpindah tangan. Tinggi kami memang tidak begitu jauh bedanya, tapi dari jarak sedekat ini, aku bisa mengamati lebih baik. Sungguhan mirip dengan pengantin yang kutemui dalam mimpi. Aku jadi penasaran. Siapa namanya? Kerja di bagian apa? Sudah punya pacar belum?

Sudah gila kau, Azlin. Nasib presensi kehadiranmu sudah di ujung tanduk dan yang kau pikirkan malah cowok yang tahu namanya pun tidak?

"Terima kasih, Bu."

Yak, aku terlalu asyik mengamati dan halu ke mana-mana sampai tidak sadar kami sudah berada di depan lobi kantor. Aku mengangguk, buru-buru menaruh payung di tempat jemurnya dan menandai kehadiran di mesin sidik jari. Lelaki itu melenggang begitu saja, tidak melakukan presensi.

Betulan anak baru, ya? Mungkin nanti bisa kucari lagi dan kuajak kenalan. Kalau benar dia jodohku, sepertinya akan lebih baik kalau aku yang berinisiatif mendekatinya lebih dulu.

Sebentar. Aku baru sadar sesuatu. Tadi dia memanggilku Ibu? Kurang ajar! Memangnya mukaku setua itu?

💭

"Lo ... chaos bener, dah."

Wajar, sih, kalau Runa berkomentar begitu. Selain karena dia saksi hidup segala tingkahku selama di kantor setahun terakhir, semua yang kulakukan di matanya selalu menimbulkan kekacauan. Biarpun sudah berpayung, bagian bawah tubuhku memang tidak selamat-sesuai dugaan. Basah kuyup kena percikan air.

"Jadi gradasi, Run, kaos kakiku. Cakep." Aku ngeles.

"Ada aja alasannya, Azlin Ngeles Nadia." Gadis dengan bandana corak bunga itu berdecak. "Dan lo masih sempat-sempatnya bikinin sarapan buat gue? Gue enggak ngerti gimana pengaturan prioritas di otak lo berjalan, Lin."

Kulirik sarapan yang dimaksud Runa. Setoples mungil overnight oat yang kutahu merupakan kesukaan anak itu, meskipun yang bersangkutan tidak pernah bilang secara gamblang. "Ini bikinnya dari semalam, Run. Tinggal dimasukkan ke kulkas saja. Enggak repot."

Sebagai respon, Runa hanya mendelik. Toh pada akhirnya dia juga menerima. Senyumku terkembang saat gadis itu menghabiskan makanan dariku. Kawanku yang tubuhnya serupa lidi ini selalu punya alasan untuk tidak sarapan, jadi aku berinisiatif untuk membawakannya sesuatu tiap pagi.

"Freak lo. Ngapain senyum-senyum?"

Aku tertawa melihat ekspresi heran yang kentara di muka Runa. "Aku senang lihat kamu makan, Runa."

"Beneran freak." Wanita bermata besar itu geleng-geleng kepala. "Semalam lo enggak mimpi aneh-aneh, kan?"

Pertanyaan Runa membuatku kembali teringat pada lelaki yang menyebrang bersamaku pagi tadi, juga mimpi pernikahan semalam. Sumpah, jelas banget. Suasana akad nikah terekam baik, wajahnya apalagi. Aku mengeluarkan buku sketsaku, menunjukkan gambar muka yang menjadi penyebab nyaris telat pagi ini.

"Semalam, aku mimpi menikah-"

"Satu lagi bukti mimpi lo enggak semuanya benar." Runa langsung memotong dengan nada sinis. "Pacar aja enggak punya, mau nikah sama siapa lo?"

Aku dan Runa sudah berteman setahun lebih. Selama itu pula, Runa jadi saksi mata dari mimpi-mimpiku yang kejadian saat itu juga. Dia juga tahu kalau aku berasal dari Kota Ilusi. Meski begitu, kenapa Runa selalu skeptis dengan kemampuanku yang satu ini? Aku langsung manyun. "Memangnya kalau mau nikah harus pacaran dulu, Runa?"

"Enggak juga, sih." Runa mengangkat bahu. "But in your case, siapa juga yang tiba-tiba mau ngajak lo nikah? Cowok yang deket aja enggak ada!"

Kata anak-anak kantor, mereka suka heran melihat pertemananku dan Runa. Yang satu kelewat realistis, satunya lagi terlalu senang bermimpi. Tentu sudah jelas siapa yang mana. Rasanya aku ingin membantah, tapi fakta yang Runa ungkapkan tentang nihilnya lelaki yang dekat denganku terlalu sulit disangkal.

Kalau sudah begini, rasanya diriku gatal sekali membuktikan kebenaran mimpiku. Semoga anak yang tadi masuk kantor bersamaku tadi berkunjung ke divisi kami. Aku mengintip sketsa terbaruku yang mau kutunjukkan pada Runa. Mirip. Mirip banget sama orang yang tadi. Runa harus lihat, tapi anak itu malah memalingkan muka.

"Kerja, Lin. Udah masuk jam kerja ini." Perempuan dengan potongan rambut bob itu menyalakan komputer di mejanya. Bonus sentilan di lenganku. "Mau lo keturunan peramal mimpi paling akurat juga, lo harus belajar fokus sama dunia nyata."

Saraswati Aruna memang dikaruniai lidah yang tajam. Makin tajam kalau sedang bicara padaku. Untung aku tahan. Dengan wajah ditekuk, aku turut menekan tombol daya.

"Azlin sudah datang, belum?"

Siapa lagi yang mencariku sepagi ini di hari Senin? Aku menoleh demi bertemu pandang dengan Mbak Sella-atasanku-dan manusia yang tidak kukenali di balik bahunya. Laki-laki. Perawakan Mbak Sella yang tingginya macam galah membuat wajahnya ketutupan, tapi bajunya familiar.

Runa turut menoleh. "Anak baru, Mbak?"

"Ho'oh. Probation tiga bulan. Jadi teman desainnya Azlin entar." Wanita jangkung berkacamata itu menepi, dan aku bisa melihat si pria lebih jelas.

Lho? Ini sih orang-garis-miring-calon-jodoh yang tadi mau kuceritakan ke Runa!

"Naratama Abhiyaksa. Nara."

Singkat, padat, jelas. Tambahan: dingin. Kalian tahu gambaran cowok dingin yang suka ada di situs-situs cerita fanfiction dan semacamnya? Persis. Banget. Meski begitu, bukan Azlin Nadia namanya kalau keder duluan dengan sosok macam es. Aku menyunggingkan senyumku yang paling cerah. "Azlin Nadia. Biasa dipanggil Azlin. Salam kenal!"

Anggukan menjadi jawaban. Senyumnya tipis. Kelewat tipis dan hanya muncul sekilas. Mbak Sella mengambil alih pembicaraan, mengarahkan Nara untuk duduk di meja yang berhadapan denganku dan memberi brief singkat terkait apa yang perlu kulakukan sebagai mentor probation alias masa adaptasi Nara beberapa pekan ke depan.

Duh, andai bubuk perasaan khas Kota Harapan tidak mahal, sudah kusemprot Nara dengan racikan bubuk yang bisa membuat orang tersenyum. Atau kubajak saja mimpinya agar tahu kenapa pembawaannya sedingin itu? Namun, aku tidak tahu caranya. Jadi menyesal karena aku memilih kuliah di bidang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mimpi, padahal aku warga asli Kota Ilusi.

Jangan aneh-aneh, Azlin. Tidak lucu kalau calon jodohmu kabur. Akan tetapi, yang benar saja. Masa orang yang akan kunikahi di masa depan pembawaannya sedingin kutub begini?

💭

02/04/2024 - 1482 words.

Dina cuap-cuap:

Please, please take a note that this is marathon story that I have to finish in one month. Alias ... aku nyaris nggak ada waktu buat baca ulang. Tolong tandain yak kalau ada yang mengganjal :'D

Sebelum publish, aku sudah proofread mandiri, sih. Tapi kan manusia tempatnya salah dan luput, ya. Semoga cerita ini tetap aman di jalurnya, deh :')

[END] The Boy I Met in DreamWhere stories live. Discover now