06 | cinta dan kita

Start from the beginning
                                    

Adnan menghembuskan napas panjang, melihat layar handphone nya yang menampilkan sebuah pesan yang sangat mengganggu pikirannya. laki-laki itu beranjak dari duduknya, menuju sebuah lemari yang berada di dalam kamarnya.

dahinya mengernyit saat tidak menemukan barang yang sedang ia cari, Adnan mengambil baju kokoh berwarna coklat itu dan merogoh sesuatu di saku baju coklat itu.

"Astaghfirullah, kemana tasbih itu menghilang?"

Adnan segera menaru baju itu ditempatnya, lalu berlalu dari kamar nya.

"Ummi, Ummi!"

"ada apa sayang?" seorang wanita paruh baya dengan cadar yang terpasang diwajahnya menghampiri anak laki-lakinya yang terlihat sedih bercampur panik.

"lihat tasbih hitam Adnan tidak mi?"

tampak Ummi nya mengglengkan kepala, "engga nan, hilang tasbih kamu?"

Adnan mengangguk, laki-laki itu berpamitan pada Ummi nya untuk mencari tasbih hitam kesayangannya.

***

Zanara menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk miliknya, perempuan itu baru selesai menunaikan sholat ashar. tangannya terulur mengambil sebuah tasbih yang terjatuh dari seseorang yang tidak sengaja menabraknya.

"A?" Zanara melihat ukiran sebuah huruf 'A' di tasbih itu, apakah itu inisial pemilik tasbih hitam ini?

Zanara kembali meneliti benda yang berada ditangannya. sampai tak sadar kakaknya yang ketiga sudah berada di sampingnya

"woi nara!" teriak Rani tepat di samping kupingnya

Zanara tersentak, lalu menoleh mendapati kakaknya yang sedang cengengesan "apan sih?!"

"dipanggilin budeg banget geh, dipanggil kak Rara tuh" setelah mengucapkan itu, Rani berlalu dari hadapannya

Zanara memutar bola matanya malas, perempuan itu beranjak dari kasurnya lalu keluar kamar setelah menyimpan terlebih dahulu tasbih hitam tadi.

"kenapa kak?" tanya nya, setelah dihadapan Rara

"beli mie ayam sana"

"males, kalo beliin baru mau!"

kakak nya nampak berdecak sinis "yaudah, sana beliin. kakak dua, mamah satu, rani satu. es nya jangan lupa"

Zanara mengangguk, setelah mengganti pakaiannya. perempuan itu segera menaiki motornya.

"mang mie ayamnya 5 ya!"

"siap neng!"

sembari menunggu Zanara memainkan handphonenya.

"nih neng"

Zanara menoleh, lalu mengambil plastik yang dipegang mamang penjualnya "berapa mang?"

"50 ribu"

setelah memberi uang, Zanara kembali menaiki motor miliknya.

Zanara mengendarai motor sedikut pelan, menikmati udara segar sore ini. matanya memicing melihat perempuan becadar tampak kesusahan mendorong motor miliknya.

"permisi" Zanara menghampiri perempuan tadi, membuat perempuan itu menoleh

"iya, kenapa?"

"eum, motor nya kenapa?"

perempuan tadi menatap motornya sebentar, lalu kembali menatap Zanara "gatau mbak, tiba tiba mati"

"waduh saya juga ga bisa benerin motor, apa mbaknya mau saya antar aja kerumah? kalo mbaknya dorong takut capek"

perempuan tadi tampak menggeleng "eh gausah mbak, takut merepotkan"

"eh engga merepotkan kok"

"beneran mbak?"

"iya, tapi motornya gimana ya?" tanya Zanara pada mbak bercadar didepannya

"biar nanti saya suruh abang saya aja ngambil motornya."

perempuan tadi menaik ke motor Zanara, lalu Zanara melajukan nya pelan.

***

Zanara menatap heran bangunan didepannya, perempuan bercadar yang ia tumpangi turun dari motor miliknya.

"makasih ya mba"

Zanara menoleh lalu mengangguk pelan "sama-sama mba, eum mbak"

"iya?"

"mbaknya santri disini?" Zanara menoleh ke bangunan didepannya, ada bertuliskan 'PONDOK PESANTREN AL-HASAN'

"bukan"

"terus mbaknya—"

"NING ZARA!" mereka berdua sontak menoleh ke arah dua orang laki-laki yang berjalan menghampiri mereka.

"dari mana kamu ning? lama sekali" laki-laki itu mengelus kepala perempuan bercadar tadi yang Zanara ketaui namanya Ning Zara, eh? Ning? apa dia anak dari pemilik ponpes ini?

Zanara menutup mulutnya tak percaya, matanya kembali menatap perempuan tadi.

"mbak?"

Zanara tersadar "eh iya, kalo gitu saya pulang dulu ya Ning?"

perempuan tadi tampak menahan lengannya "mampir dulu ya?"

Zanara menggeleng "e-eh gausah Ning, saya lagi buru-buru soalnya. saya pamit dulu ya Ning, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam"

***

"Ya Allah ..." Adnan menutup wajahnya dengan telapak tangan.

seorang wanita paruh baya dengan segelas susu hangat ditangannya, menghampiri Adnan yang tampak sedikit gelisah. wanita itu menaruh gelas itu pada meja didepan nya, tangannya mengelus punggung anak sulungnya "sudah jangan sedih, nanti pasti ketemu tasbihmu"

Adnan menoleh mendapati Umminya yang sedang tersenyum ke arahnya, Adnan mengangguk pelan.

"Ummi udah buatin susu nih buat kamu, minum gih" Adnan menerima gelas yang disodorkan Umminya, lalu meminumnya.

"Adik kamu belum pulang nan?"

Adnan menggeleng "belum mi"

***

suara langkah kaki terdengar dari arah anak tangga, tampak putra tunggal keluarga Bratajaya yang sedang menuruni anak tangga dengan mata yang senantiasa menatap layar handphone nya

"Adit cepat siap-siap"

suara itu menghentikan langkahnya, matanya menatap penuh tanya pada sang papah "mau ngapain?"

"kita akan ke rumah Om Dimas"

dahi Adit mengernyit mendengarnya, "tumben ngajak adit kerumah temen papah, biasanya cuma berdua sama mamah?"

Sinta menghampiri putra tunggalnya, lalu mengelus lengan anaknya "papah sama mamah mau jodohin kamu sama anak om Dimas"

deg

Adit mematung mendengarnya, handphone yang berada ditangannya jatuh begitu saja. matanya menatap kedua orang tuanya tak percaya "mamah, papah bercanda kan? adit masih sekolah!"

Arya menghampiri putra nya yang tampak terkejut "papah ga langsung nikahkan kalian. tunangan saja terlebih dahulu, ketika kalian lulus baru kalian bisa menikah"

Adit menggeleng kuat "gak, Adit gamau! sampai kapanpun Adit gabakal nerima perjodohan ini! Adit udah dewasa, udah bisa memilih calon istri adit sendiri!"

"ini demi kebaikan kamu sayang"

"ga mah, ini bukan kebaikan buat Adit! Adit udah suka sama seseorang, jadi tolong jangan jodoh-jodohin Adit. Adit bukan anak kecil lagi!"

setelah mengatakan itu, Adit berlalu dari kehadapan keduanya dengan wajah yang memerah.

***

sampai sini dulu.

terima kasih sudah membaca <3

follow ig : jejes0i2_

cinta dan kita | mencintai dalam doa Where stories live. Discover now