SALMON 9

247 35 5
                                    

Yash menunduk dalam di balik jeruji besi, dia berada di paling pojok sembari duduk. Di lengannya ada lebam baru. Ketika baru masuk ke dalam sel, dia sudah mendapatkan salam olahraga dari penghuni lama.

Dia ingin dijadikan kacung oleh mereka karena kasusnya sangatlah ringan dan dirinya masih di bawah umur. Dia cukup aneh, padahal umurnya masih muda tapi mengapa di tempatkan dengan orang-orang dewasa. Dia yakin ini rencana si Erik.

"Terima nasib anak muda. Salah sendiri bukannya belajar yang benar malah bertengkar. Anak zaman sekarang hobynya menyakiti diri sendiri dan cari mati!" ucap seorang pria dengan lengan penuh tato.

Yash bergumam pelan, dia sedang memikirkan keselamatan bocah kecil yang baru dijaganya. Nasib buruk menimpanya baru mendapatkan pekerjaan tapi dia tidak mampu menjalankannya dengan benar. Pasti dirinya akan dipecat atau bahkan mereka menuntut ganti rugi karena lalai menjaga bocah kecil itu.

Yash menghela napas kasar. Bertubi-tubi masalah menghampirinya.

"Saudara Yash, silakan ikut saya," ucap Sipir membuat Yash mendongkak.

Yash mengikutinya.

"Yash!" teriak Arfan kegirangan.

Pemuda tersebut menunduk apalagi saat melihat tatapan tajam Zaro. Apa bos barunya itu akan menuntut dirinya karena Ketidakbecusannya?

"Pak, saya lalai dan mohon maaf," kata Yash tulus.

"Ayo pulang," ajak Zaro.

Arfan menggandeng tangan Yash. "Ayo cepetan! Yayam Papan belum dikasih makan!" ajak Arfan antusias.

Yash mengerutkan keningnya. "Tapi, saya ditahan," balas Yash.

"Kamu sudah bebas dan boleh pergi," ujar sipir penjara.

"Sungguh?!" tanya Yash membulatkan mata.

"Ya, Pak Zaro sudah menjamin anda dan laporannya sudah dicabut. Anda tidak bersalah," jelasnya.

Mata Yash berkaca-kaca.

"Cepat Yash, saya tidak suka berlama-lama di sini!" tegur Zaro melenggang pergi.

Dia mengikutinya. "Pak, saya gak dipecat?"

"Tidak," jawab Zaro singkat.

"Terima kasih banyak!" seru Yash terharu.

Mereka pergi meninggalkan kantor polisi dan pergi ke rumah Arfan. Bais yang sedang bermain dengan Xilya sontak berdiri kemudian mengulas senyum melihat Yash telah bebas.

"Semua berjalan lancar?" tanya Calais.

"Ya, Mama. Yash langsung bebas!" sahut Arfan senang.

"Katakan jika kamu terjerat masalah. Kau pun Bais, jangan sungkan. Selama kalian melindungi anak kami, kami pun akan melakukan hal yang sama, yaitu menjaga kalian dan keluarga kalian," jelas Calais tersenyum tulus.

Hati Yash menghangat, dia mendapatkan kepercayaan dan bos sebaik ini. Dia bertekad untuk tidak pernah mengecewakan keduanya.

"Besok kau pergi ke sekolah. Masalah biaya sekolah dan semacamnya. Tidak usah dipikirkan,"  kata Zaro tegas.

"Baik, Tuan! Sekali lagi terima kasih banyak!" balas Yash membungkuk.

Zaro memegang pundak Yash, menuntunnya untuk tegap.

"Lawan saja dia, tidak perlu takut karena aku tak menginginkan seorang bodyguard pecundang yang bahkan tidak dapat melindungi dirinya sendiri," bisik Zaro tajam.

"Jika si Erik melakukan hal seperti ini lagi. Tidak perlu takut, ada keluarga saya di belakangmu," tambahnya.

Yash menelan ludahnya kemudian menganggukkan kepalanya.

***

Di sisi lain, Bu Hilda menangis sendirian sembari menunggu suaminya pulang. Pikiran wanita beranak tiga itu terbagi. Yash paling besar, lalu Zaki anak kedua yang masih duduk dibangku sekolah dasar dan yang paling kecil usianya baru lima tahun adalah Nindira.

"Bu, kenapa ayah belum pulang dan Kak Yash ke mana?" tanya Zaki mengejutkan Hilda.

Buru-buru Hilda menyeka air matanya. "Kakakmu tidak bisa pulang, menginap di rumah temannya. Bukannya sudah biasa seperti itu," jawan Hilda lembut.

"Akh, padahal Zaki mau minta tolong tugas sekolah," keluh Zaki. "Lalu ayah?"

"Ay—"

Belum sempat menjawab terdengar suara motor suaminya. Hilda bangkit dan menyambut kepulangan suaminya tersebut. Melihat wajah suaminya yang kusut Hilda beralih memandang Zaki.

"Zaki, ke kamar dulu ya nanti Ibu bantuin pekerjaan sekolah Zaki. Ibu mau urus Ayah kamu dulu kayaknya banyak pekerjaan jadi Ayah kamu kelelahan," ujar Hilda sangat lembut.

Hilda mengikuti suaminya ke kamar. Pria yang hampir berusia lima puluh tahunan tersebut menghela napas kasar lalu memandang Hilda dengan sorot mata berkaca-kaca.

"Bu, maafkan ayah," kata Dirga sendu.

"Ada apa, Ayah?" tanya Hilda dengan perasaan campur aduk.

"Ayah hari ini dipecat dan belum mendapatkan pekerjaan kembali. Bu, maaf ayah tidak bisa memberikan ibu nafkah untuk sementara waktu. Tapi ayah janji akan segera mencari pekerjaan."

Dirga mengatakan dengan perasaan penuh rasa bersalah. Hati Hilda semakin sakit, begitu banyak ujian menerpanya.

"Ayah, tidak masalah," jawab Hilda tersenyum getir.

"Ayah lihat ibu habis menangis ada apa? Cerita ke ayah semuanya," ujar Dirga lembut.

Tangisan Hilda kembali pecah. Hilda menceritakan segala apa yang terjadi hari ini. Dirga nampak syok mendengarnya.

"Astaghfirullah bagaimana ini?" tanya Dirga.

"Ibu ada tabungan. Mungkin bisa kita gunakan untuk membebaskan Yash," jawab Hilda.

"Ya pakai saja itu dulu jika kurang pakai tabungan yang kita simpan untuk biaya sekolah anak-anak. Uang masih bisa ayah cari," sahut Dirga.

Bagaimana pun juga Yash adalah harapan terbesar Dirga. Dirga ingin Yash lulus sekolah lalu melanjutkan kuliah agar mendapatkan pekerjaan yang layak, tidak seperti dirinya.

"Kak Yash pulang juga!"

Seruan Zaki membuat Hilda dan Dirga sontak keluar dari kamar. Wanita tersebut mematung melihat Yash duduk di sofa dengan raut wajah kelelahan.

"Yash, kamu sudah bebas, Nak?" tanya Hilda terharu sembari menangkup wajah Yash.

"Iya, Bu. Semua sudah teratasi," jawab Yash.

"Baguslah. Pasti Ozak dan Baim berhasil membantumu. Ayah akan berterima kasih kepada mereka," tukas Dirga menepuk pundak Yash.

"Bukah, Yah."

"Lantas siapa?" tanya Dirga bingung.

"Ada, beliau orang baik," jawab Yash tidak ingin memberitahu orang tuanya.

"Terpenting Yash bebas dan tidak membuat Ibu dan Ayah khawatir," sambungnya tersenyum tulus.



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 31 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SALMONWhere stories live. Discover now