11. Sebatas Darah, kan?

32 3 0
                                    

Neal terlalu lelah saat ia melihat sikap ayahnya pada Abi, seakan tak ragu untuk memberikan peluk yang selalu ia harapkan setiap kali terluka. Nyatanya, Abi masih menjadi pemenang yang handal dari pada dirinya.

Berulang kali Neal menggeleng saat di dalam toilet sekolah berhadapan dengan pantulan wajahnya ketika di depan cermin, membuat Neal mengerutkan kening sesekali. Ia tak lagi melihat cerah pada wajahnya sendiri. Beberapa kali juga ia memegang rahang yang mulai tirus.

"Mimpi siang bolong."

Neal menoleh ke sebelah kiri, di sana sudah ada Renal, teman baik Neal. Anak itu kembali memalingkan wajahnya menghadap cermin, memastikan kalau tidak ada yang salah di wajahnya.

"Kenapa?"

Neal menggeleng, ia tak ingin membuat Renal cemas, tetapi sebelah tangan Renal lebih dulu memegang lengan Neal hingga membuat anak itu menghadap sempurna ke arahnya.

"Abiyu, Abang lo yang manis nan menggemaskan itu, sekarang apa lagi?"

Neal menghela napas, lalu memilih melepaskan tangan Renal, perlahan mulai melangkah ke arah sudut toilet dan bersandar di sana dengan sebelah tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana abu-abunya.

"Bang Abi... Dia baik sama kayak biasanya," ucap Neal.

Renal tentu mengenal siapa Neal, temannya itu tak akan mudah mengungkapkan kekecewaannya sebelum dipaksa dengan menatap lekat wajah yang sedikit pucat di matanya.

"Lo nggak amnesia, kan, Neal? Inget, kakak lo itu nggak cuma Abiyu, kenapa sesayang itu padahal lo tahu itu nggak tulus," sahut Renal.

Neal menunduk, tersenyum tipis, sebelum menjawab. Ia sendiri pun tak mengerti mengapa begitu sayang pada Abi padahal, masih ada Pangestu dan Pandu.

"Lo pikir, Abiyu bakal peduli? Neal, ayolah, pikir sekali lagi, hidup Lo nggak sepenuhnya tentang Bang Abiyu."

Neal mengangguk, ia sendiri tak tahu apa yang akan dia lakukan setelah melihat kejadian menyedihkan di depan matanya. Neal juga terluka, ia juga ingin dipeluk ayahnya, ia juga ingin seperti Abi yang mendapat banyak genggam hangat ayah ketika terluka.

Nyatanya, semua itu hanya sebatas angan yang belum tentu terjadi. Selama ini ia tahu, ayahnya sibuk bekerja, tapi ia tidak bisa menghilangkan bagaimana sikap sang ayah padanya dan juga Abi.

"Gue lihat, terus gue harus apa?" 

Renal menatap Neal dengan sebelah alis yang terangkat. Temannya seperti orang putus asa, jelas terlihat dari raut wajah lelah seakan menahan sesak.

"Maksud lo gimana? Ngomong yang jelas," sahut Renal.

"Ayah,"  jawab Neal.

Renal tahu apa yang ingin Neal katakan, cowok itu pun melangkah mendekati Neal yang sudah terduduk di lantai saat anak itu menunduk cukul lama, tubuhnya perlahan merosot seolah tengah mengingat sesuatu.

"Kenapa sama Om Rafiq, Neal?"

"Gue lahir, tapi gue nggak diharapkan, gimana menurut lo?" 

Renal sungguh tidak sanggup bila melihat mata merah yang mulai berair, bahkan bibir bergetar Neal sangat jelas kalau anak itu terluka. Rambut hitamnya sudah basah karena keringat. Renal tak lagi melanjutkan percapakannya, cowok itu langsung memeluk Neal dengan erat.

"Ayah belum sepenuhnya sayang gue, Re, sakit banget rasanya," ucap Neal. Dengan suara serak anak itu menangis dalam peluk Rsnal.

Tak peduli apa yang akan dikatakan orang  nanti, tapi Neal butuh bahu dan telinga saat ini. Ia rela di marahi setelahnya karena sudah berani bolos di jam pelajaran. Ia juga tak peduli tentang olok -olok teman sekelasnya. Yang Neal butuh adalah bahu, tempatnya bersandar.

Sehangat Genggam Ayah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang