05. Ayah Yang Gengsi

31 3 0
                                    


Ayah. Hanya itu yang Neal kenal sejak bayi hingga usianya mulai beranjak remaja. Ia ingin sekali bertanya tentang Ibu, wanita yang selalu di ratukan sampai sulit untuk dilupakan oleh sang ayah.

Lelaki hebat dengan status duda itu selalu memiliki alasan setiap kali anak remaja bungsunya bertanya, saat anak remaja bungsunya mulai mengulik perasaan masa lalu. Namun, tak satu pun dari ribuan pertanyaan itu terjawab dengan baik. Akan ada banyak jeda di setiap kalimat yang terputus lalu pergi tanpa permisi.

Iya, itulah Rafiq, lelaki  yang selalu menjadi alasan Neal ingin mengenal lebih jauh. Tak hanya itu, Neal juga ingin menjadi sosok yang lebih kuat dari pada yang lain. Ia akan berusaha untuk mendapatkannya, meski tak jarang nasib belum memihak padanya. Seperti dua hari lalu, ketika Pandu juga Abi memperebutkan status siapa yang paling rajin.

Neal yang kala itu tengah menyantap susu hangatnya hanya memandang sebagai penonton tanpa dibayar. Melihat kedua kakaknya yang jarang akur terkadang membuat anak itu teringat dengan Pangestu. Kakak keduanya yang sangat jarang muncul meski sebentar.

"Ayah.." panggil Neal.

Anak itu merasa belum memiliki nyali besar seperti Pangestu atau Abi ketika menatap wajah dingin sang ayah. Lelaki yang menyandang duda dengan usia tak lagi muda itu membuatnya selalu cemas.

"Kenapa?"

"Hari ini, Neal izin pulang telat, bisa?"

Mendengar permintaan yang jarang dari anak bungsunya membuat Rafiq mengangkat sebelah alis, begitu pun dengan Abi. Pemuda itu justru mendekatkan kursinya ke arah sang adik yang masih menunduk sambil menatap Lamat jemari yang ia letakkan di atas kedua pahanya.

"Lo mau izin? Tumben?"

Neal hanya melirik, ke arah Abi yang mulai kepo itu terkadang membuatnya malas menanggapi.

"Ayah izinkan. Tapi bukan berarti Ayah membebaskan, kamu harus tahu batas kapasitas tubuhmu, Neal."

"Yah, kok gitu?"

Pandu yang keberatan membuat Neal mengangkat kepalanya lalu menoleh ke arah pemuda manis dengan status kakak tertua diantara mereka.

"Mas Pandu yang kenapa? Ayah udah kasih izin, kenapa lo yang protes?"

"Kamu lupa apa yang terjadi kemarin? Kamu hampir membuat Ayah tidak tidur semalaman, kamu ingat?"

Neal tidak yakin, tapi mendengar ucapan Pandu, Neal kembali menatap ke arah sang Ayah. Lelaki itu sama sekali tidak bersuara, padahal sejak pagi tadi, suara Neal sudah mulai mengisi kesunyian rumah minimalis dengan dua lantai di dalamnya.

"Gue inget, tapi sekarang lo nggak berhak protes dong, Mas."

"Aku tidak protes, Neal. Aku hanya mengingatkan saja."

"Cukup, saat ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat atau bertengkar. Neal, cepat habiskan sarapanmu,  Ayah akan mengantarkan ke sekolah."

Tak lagi ada yang bisa membantah, suara Rafiq cukup lantang jika sekadar protes saja. Sedangkan Abi hanya terkekeh di tempatnya. Bukan membantu, pemuda itu justru menyolek lengan adik kecilnya yang tengah menggerutu karena ulah Pandu.

"Kalau lo pulang lebih awal nanti, gue bakal kasih pesenan lo yang kemarin," bisik Abi di sela sarapan yang hampir selesai.

Mengingat dua hari lalu dirinya masih kesal dengan Pandu, hingga semalam pun kedua pemuda beda usia itu masih terus memasang tembok pertahanan, bendera perang masih berkibar tanpa sepengetahuan Neal. Si bungsu yang tak pernah suka melihat oermusuhan antar saudara.

"Kamu jangan menghasut Neal, Abi. Karena bergaul denganmu Neal jadi sulit diatur."

Bukan Abi jika tidak melawan, walau sebenarnya malas, tapi mulut pedas Pandu terkadang membuat telinganya terbakar.

Sehangat Genggam Ayah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang