08. Neal, Kuat Kok Yah.

32 3 0
                                    

Jika semalam Neal bermimpi, tidak mungkin pagi ini sudah berada di kamar yang berbeda. Anak itu mengerjap beberapa kali saat bangun. Tak ketinggalan dengan rambut berantakan khas bangun tidur.

"Udah bangun, gimana tidurnya?" tanya pemuda yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Kedua mata Neal membola, ia pun segera duduk dan mengusap wajah juga kedua matanya. Berharap apa yang dilihatnya hanya sebuah halusinasi. Bahkan, ia tidak pernah berharap sedikit pun bisa berada satu kamar dengan pemuda yang masih berdiri di depan lemari sambil menopang dagu menggunakan sebelah tangannya.

"Mandi sana, Ayah bilang hari ini lo nggak usah sekolah dulu, udah gue izinin ke guru kelas dan titip pesan kalau guru lo lupa lewat Renal, teman lo itu."

"Lo, tumben ramah sama gue, Mas?"

Pemuda itu terkekeh, sudah tahu akan ada pertanyaan yang sama setiap kali anak remaja di depannya bangun nanti. Semalam sudah ia katakan, ia akan menemaninya sebelum membawa ke kamar dan merebahkan tubuh menggigil sambil mengeratkan peluk pada tubuhnya.

"Gue bukan Abi apalagi Pandu. Mandi sana," perintahnya lagi.

Neal terdiam sejenak, sebelum kembali menatap punggung kakak keduanya dengan sendu.

"Bang Abi di mana ?"

"Di kamar. Semalam hujan-hujanan karena motornya mogok, gue kira Abi dibegal, tahunya motor mogok."

"Terus Ayah temenin Bang Abi?"

Pemuda itu diam sejenak, "Yang lo lihat."

Benar. Nyatanya, apa yang Neal ingin, masih Abi pemenangnya. Perhatian Ayah masih lebih besar pada Abi. Pemuda yang secara terang-terangan menolak hadirnya saat anak itu masih belia.

"Gue mau sekolah aja kalau gitu.  Di rumah nggak ada orang, lo juga pasti mau berangkat, kan?"

Kali ini pemuda yang sejak tadi diam, sambil mengancing kemejanya, pun mengangkat kepalanya agar bisa menatap wajah lesu milik Neal yang masih duduk manis di tempat tidur.

"Gue mau temenin lo. Hari ini gue ambil cuti, buat jaga lo di rumah."

"Bohong."

"Gue bilang, gue bukan Pandu, apalagi Abi dan Ayah. buruan mandi. Kita jalan pagi terus makan bubur yang ada di depan gang komplek."

Ingin percaya, tapi sebelah tangan kakak keduanya sudah lebih dulu mengusap sebelah pipi Neal. Anak remaja yang masih saja ragu padahal tahu, kalau tatapan kakaknya tak pernah berdusta.

Neal tahu kalau kakak keduanya tak pernah mengecewakan meski tak bicara. Neal juga tahu, dari ketiga kakaknya hanya Pangestu yang diam-diam datang ke kamarnya lalu tidur di atas karpet permadani yang ada di bawah kolong tempat tidurnya.

Neal tahu, tapi Neal malas membahasnya. Anak itu memilih bungkam karena ia sadar ucapannya terkadang sulit diterima begitu saja. Terlebih pada Abi yang memasang bendera perang pada kedua kakaknya, entah salah apa, Neal hanya tahu kalau Pandu dan Pangestu sering berselisih paham.

"Kenapa?" tanya Pangestu.

Sejak tadi, pemuda itu ikut diam, memandang wajah mungil Neal yang begitu mirip dengan mendiang sang Ibu. Dari warna bola mata hingga lanngkung bibir ketika senyum, begitu mirip dengan sang Ibu.

"Kenapa Mas mau temenin gue?"

"Simpel," balasnya, lalu duduk di depan anak itu sambil  menatap ke langit-langit kamarnya dengan kedua tangan  yang saling bertaut satu sama lain.

"Apa?"

"Gue benci air mata lo," jawabnya. Tak lama ia pun bangkit, berbalik lalu menoleh ke kanan sebelum meninggalkan adiknya yang masih terdiam.

Sehangat Genggam Ayah Where stories live. Discover now