Chapter 4 - Terusik

Začít od začátku
                                    

Tanpa sepengetahuan Anaya, Gian muncul dari belakang. Tepat di belakang Anaya. Tanyannya terulur menekan tombol evelator. Anaya terperanjat. Ia menoleh ke belakang semakin terperanjat karena tubuhnya menabrak tubuh Gian. Anaya mendongak, dan mata mereka bertemu.

Tatapannya begitu dingin, sehingga membuat Anaya menelan ludahnya. "Dokter Gian."

"Maaf membuatmu terkejut." Gian sedikit memundurkan langkahnya. "Kamu belum menekan tombolnya, sampai malam kamu menunggu pintunya tidak akan terbuka."

Anaya terkekeh pelan. "Ah, iya. Saya sampai tidak sadar. Terima kasih, Dok."

Pintu evelator terbuka, Gian mempersilakan Anaya masuk ke dalam. "Lantai berapa?" Gian bertanya setelah mereka berada di dalam evelator.

"Di ruangan saya, Dok."

Pintu tertutup. Mereka berdua hanya diam. Anaya berdiri di samping Gian.

"Kamu tampak lelah." Gian bersuara. Anaya menoleh melihat Gian yang berbicara sambil menatap lurus ke depan. "Kamu perlu liburan sepertinya, ya."

"Sepertinya iya, Dok. Saya hampir tidak pernah cuti."

"Iya, kamu sibuk bekerja." Gian ikut membenarkan.

"Lakukan apa yang sudah menjadi pekerjaanmu, Anaya. Tidak perlu memikirkan bahkan melakukan yang bukan kepentingan kamu." Gian menoleh sambil tersenyum. "Itu hanya membuang waktu dan tenaga."

***

Anaya menatap laptopnya. Hanya menatap. Sedari tadi yang ia lakukan hanyalah menatap layar itu. Ketika layarnya mati, maka ia akan menggeser kursornya. Ia tidak membiarkan layar laptop itu redup. Anaya meraih ponselnya untuk melihat waktu yang menunjukkan pukul sebelas. Ia melepas kaca matanya. Menggulung rambutnya ke atas. Kemudian, ia menyesap minumannya.

"Duh," keluh Anaya. "Kenapa aku terganggu sama ucapannya Dokter Gian, sih?"

Anaya tidak tahu mengapa ia mencemaskan ucapan Gian. Nada biacaranya bengitu tenang. Namun, Anaya merasakan sesuatu pada setiap kata yang keluar dari bibir laki-laki itu.

"Apa aku juga harus mencurigai Dokter Gian?" gumamnya.

Sesaat kemudian, bel apartemennya berbunyi. Anaya berdiri untuk membukakan pintu. Ada Saka yang tengah berdiri di depan pintu sambil membawa beberapa paperbag. Saka hanya memakai celana panjang dan kaos. Anaya tersenyum. "Silakan masuk, Dok."

Saka melangkah masuk ketika Anaya sedikit menggeser tubuhnya ke samping. Laki-laki itu melepaskan alas kakinya, lalu masuk menuju ruang tamu. Anaya mengikuti dari belakang.

"Bawa apa, Dok?" tanya Anaya, setelah itu ia duduk di samping Saka.

"Cuma chiken aja."

"Wah, boleh tuh." Anaya bertepuk kecil.

"Kamu belum makan?"

Anaya menggeleng.

Saka mengangsurkan makanan yang ia bawa. "Ini makan dulu."

Anaya menurut. Sementara itu, Saka meraih laptop Anaya. Ia memasangkan flashdisk pada laptop itu. Anaya tertarik. Ia mencondongkan tubuhnya mendekati Saka. Laki-laki itu menoleh cepat. Menatap Anaya tanpa ekspresi. Hal itu membuat Anaya menjauhkan tubuhnya.

"Makan makananmu dulu," gumam Saka sambil kembali menatap laptopnya.

Anaya merasa ia harus menyelesaikan masalah perutnya terlebih dahulu. Lumayan, kan, dapat makanan gratis. Jarang sekali ia mendapatkan makanan gratis seperti ini. Anaya menoleh menatap Saka. Anaya bukanlah orang yang memiliki banyak teman, sudah lama sekali ia tidak membawa temannya ke apartemennya hanya untuk sekedar berbincang. Tanpa disangka-sangka, ia harus berada pada situasi yang menyuruhkan untuk selalu berdiskusi dengan seseorang.

SILAMKde žijí příběhy. Začni objevovat