Chapter 2.3

1.5K 310 6
                                    

Dia memasuki klinik, lalu mengenakan jas dokternya dan melihat seorang gadis sedang menuntun seorang kakek di depan pintu klinik. Kaia mempersilakan mereka untuk masuk.

"Kakek jatuh di belakang rumah. Dokter, coba lihat, apakah Kakek baik-baik saja?" Gadis itu terlihat gelisah dan panik, memegangi terus tangan kakeknya.

Kaia memeriksa kakek itu dengan hati-hati. Hanya ada luka di dahi dan lututnya karena terbentur tanah. Setelah membersihkan lukanya, dia memberinya salep dan menutup lukanya.

"Kakek baik-baik saja, hanya tersandung. Dahinya mungkin membentur tanah, tapi tidak dalam kondisi berbahaya."

Gadis itu menghela napas pelan, kemudian mengeluarkan uang dari saku celananya dan memberikannya pada Kaia. "Dokter, aku hanya memiliki ini. Kakakku belum kembali dari pulau lain untuk menjual hasil melaut."

Kaia menatap uang yang agak lusuh di tangan gadis itu, kemudian mengambilnya dengan senyumannya. "Tidak masalah. Aku akan membuatkan obat untuk Kakekmu, dan jaga dia."

"Dokter Kaia, kenapa semakin hari kau semakin cantik?" Kakek itu berkata sambil memandang Kaia.

Kaia tertawa dibuatnya, kemudian memberikan obat berupa salep pada gadis itu. "Lihat, Kakekmu bahkan masih bisa menggodaku. Dia baik-baik saja."

"Aduh, kakek!" Gadis itu memekik pelan sambil membantu Kakeknya bangun, kemudian pergi dari klinik.

"Jadi itu alasan kau masih miskin, meski kau seorang dokter?"

Kaia berbalik sekaligus, menatap Aysar yang sedang berdiri di pintu sambil bersandar dengan kedua tangan terlipat di dada. Dia menatap Kaia dengan sebelah alis terangkat.

Kaia tertawa pelan, melambaikan uang di tangannya pada Aysar. "Aku senang membantu warga setempat, meski mereka membayarku dengan sekeranjang udang."

"Tapi kau butuh uang untuk membeli obat-obatan dan peralatan medis lainnya." Aysar memiringkan kepalanya memandang Kaia.

Kaia balas memandang Aysar, di bawah bayang-bayang lampu ruangan itu, Aysar masih saja terlihat mengesankan dengan sikapnya. Pria itu berjalan mendekati Kaia, berhenti dan berdiri di depannya, membuat Kaia menahan napas sejenak.

"Ikutlah denganku," kata Aysar tiba-tiba.

"Ke mana?" tanya Kaia dengan kerutan di alisnya.

"Negaraku."

Kaia mundur selangkah, membereskan kembali peralatannya sambil memunggungi Aysar. "Kenapa aku harus ikut denganmu? Ini rumahku dan tempat tinggalku. Aku tidak mencari kekayaan, tuan Aysar."

"Aku tahu," jawab Aysar. "Tapi apakah kau tidak kesepian?"

Kaia berbalik dan tubuhnya segera berhadapan dengan Aysar yang hanya berjarak satu jengkal darinya. Dia terkesiap pelan ketika tubuhnya nyaris bersentuhan dengan tubuh tinggi dan besar pria itu. Ketika mendongak, Aysar sedang menatapnya ke bawah dengan pandangan penuh arti.

Tiba-tiba Aysar mengangkat tangannya di hadapan Kaia. "Aku akan membantumu keluar dari kesepian."

Kaia balas memandang Aysar dengan kerutan di dahinya. Dia bahkan tidak mengenal siapa Aysar, tidak tahu asal usul pria ini, dan mereka bagai dua orang asing yang selama dua hari ini kebetulan tinggal satu atap.

"Kenapa kau beranggapan aku kesepian?" tanya Kaia dengan dagu terangkat, memandang Aysar tanpa keraguan.

"Matamu mengatakan semuanya," jawab Aysar.

Keheningan melanda ruangan itu, dan mereka masih bertatapan dengan dagu Kaia yang mendongak serta Aysar yang merundukkan kepala.

"Apa kau bisa membaca pikiran seseorang dari matanya?" tanya Kaia lagi.

"Hm. Aku pernah belajar psikologi." Aysar memberinya senyum simpul.

Kaia menjauhkan tubuhnya dari Aysar, bersiap untuk pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri setelah seharian menangani beberapa pasien.

"Kita hanya orang asing, dan aku bahkan tidak mengenalmu," kata Kaia akhirnya seraya berjalan melewati tubuh Aysar.

"Namaku Aysar Mourad Al Naseem, dari negeri Alsyam. Ingat itu, dokter Kaia."

Mendengar pria itu menyebutkan nama lengkapnya, membuat Kaia berhenti melangkah. Sambil memunggungi pria itu, senyum tipis muncul di bibirnya. Dia merasa nama itu sangat indah dan enak didengar.

"Di seberang laut mediterania ini, di sanalah aku tinggal. Di kepung oleh laut mediterania dan gurun sahara, di sanalah negeriku berada."

Kaia menundukkan kepala masih memunggungi Aysar, seolah menghindari tatapan dan pembicaraan mereka. Dia tidak ingin menganggap serius, semua perkataan Aysar, karena dia tahu jika pria itu hanya sedang memuntahkan semua omong kosongnya. Dia juga tahu jika itu hanya angan-angan semunya, mengikuti Aysar pergi ke negerinya, kemudian dekat dan bersamanya.

"Aku akan meminjamkanmu selimut, jika kau ingin tidur," kata Kaia akhirnya. Dia berjalan ke kamarnya, dan menutup pintu, memisahkannya dengan Aysar yang masih ada di ruangan lain.


🐪🐪🐪


Sampai di sini, see you next chapter! 😉

Emir Want to Marry Me (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang