Chapter 6 | Kembali ke Leibniz

235 30 0
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun alur cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

• • •

Mereka berdua lalu berkendara menggunakan sepeda menuju ke arah Leibniz. Kali ini Rajif yang memutuskan untuk membayar sepeda. Sesampainya di depan kampus Leibniz, Rajif mengucapkan terimakasih ke Keyra karena sudah menemaninya ke taman. Dan juga atas rekomendasi restoran yang berada di dekat kampus. Gadis itu mengangguk.

"Keyra tinggal jauh dari sini?", tanya Rajif.

"Lumayan dekat, pak. Naik kereta 10 menit", jelas Keyra. Rajif mengangguk. Gadis itu lalu berpamitan untuk pulang. Sebelum berlalu, Keyra menatap ke arah Rajif.

"Pak, kalau butuh apa-apa, hubungi saya ya", ujarnya.

"Pasti. Thank you, Key", jawab Rajif. Dia tersenyum. Keyra lalu mengangguk ke arah Rajif dan berjalan meninggalkannya. Dia akan mengejar kereta berikutnya.

Rajif menunggu kedatangan Deril sembari menyesap rokoknya. Cuaca malam ini entah kenapa sangat dingin, pikir Rajif. Terlintas dalam benaknya ingin makan yang hangat-hangat. Sup sepertinya menarik. Nanti akan dia diskusikan dengan Deril.

"Jif", sapa Deril dari kejauhan. Rupanya bukan hanya Rajif yang kedinginan. Deril tampaknya juga kedinginan. Terlihat dari pakaian yang dikenakan pria itu. Coat tebal berwarna hitam dan syal menggantung di leher Deril. Rajif terkekeh.

"Dingin ya?", tanya Rajif sambil berjalan bersama Deril.

"Musim semi tapi dingin ya", komentar Deril. Rajif setuju. Mereka sempat menyangka bahwa musim semi tidak akan sedingin itu. Suhu sekitar 10 hingga 12 derajat terbilang cukup sejuk. Namun ternyata saat malam datang di Hannover, suhu menjadi cukup dingin.

"Makan apa?", tanya Deril. Rajif lalu menjelaskan tentang rekomendasi dari Keyra, sejenis salad kentang dan sosis yang Rajif sudah lupa pelafalannya. Kening Deril berkerut.

"Keyra?", tanyanya.

"Yes", jawab Rajif singkat.

Deril hanya mengangguk mendengarnya. Lalu kedua pria itu setuju dan memutuskan untuk mampir ke restoran yang direkomendasikan Keyra. Restoran kecil itu berada di area sekitaran kampus. Tidak terlalu ramai, pikir Rajif. Plus poin dari Keyra, pemilik restoran ini bisa berbahasa Indonesia. Karena istrinya berasal dari Indonesia.

Rajif tertarik setelah mendengarnya. Selain karena kemampuan bahasa Jermannya yang terbilang cukup dasar, bertemu dengan orang Indonesia tentu akan menyenangkan.

• • •

"Guten Nacht. Herzlich wilkommen!", sapa seorang pria tua dari dalam restoran.

Rajif dan Deril mengangguk. "Guten Natcht."

Pria tua itu memandangi sejenak ke arah Rajif dan Deril. Sedetik kemudian dia tersenyum lebar. "Von Indonesien?".

Karena tidak terlalu paham bahasa Jerman, mendengar kata yang terdengar mirip dengan Indonesia, Rajif mengangguk. "Yes, we are Indonesian", jawab Rajif. Dalam hati dia berharap kalau pria itu bertanya apa mereka berasal dari Indonesia.

"Ahhh.. Great!", sahut pria itu. Dia tertawa. Lalu berteriak ke dalam dapur dan memanggil istrinya. "Sasha, come. Ada orang Indonesia", serunya.

Deril dan Rajif saling berpandangan. Mata mereka membesar.

Wanita yang bernama Sasha itu lalu keluar dari dapur. "Apa? Orang Indonesia?", tanyanya sambil terburu-buru. Sasha memandang ke arah Rajif dan Deril yang masih berdiri di depan pintu restorannya.

Key for Rajif | Short StoryWhere stories live. Discover now