Pertemuan

30 7 0
                                    

"Sungguh? Papa bakal baik-baik saja?" Antonio menaikkan alisnya, "Aku ga keberatan absen hari ini."

"Tapi Papa keberatan, Antonio. Jangan sering absen seperti itu walau Papa yakin kamu bisa mengejar pelajaran. Ada ojek online, Papa bisa pakai itu," Giyanta tetap menyuruh Antonio masuk. Anaknya itu sudah mengorbankan 5 hari sekolah di minggu lalu untuknya. Ia juga sudah lihat bagaimana Antonio bisa menyelesaikan kuis dengan nilai tertinggi. Akan tetapi, sudah cukup, ia tidak ingin menjadi batu sandungan bagi kehidupan akademis anaknya.

"Okay then," Antonio mengangguk dan berjalan keluar. Ia mengikuti kakak-kakaknya dan Marendra menuju ke bis jemputan. Bahkan ketika dia sudah berada di dalam, Antonio masih melihat ke luar, mencoba memastikan keberadaan ayahnya.

"Well, I never saw you being this anxious before," Marendra meneliti wajah kakaknya, "Did this almost past 2 month fully living with us and Papa change you this much?"

"I don't know," anak kandung kedua Giyanta mengendikkan bahu, "I also questioning myself for this feeling." Antonio dulu tidak pernah sekadar bertanya kabar ayahnya, meskipun mereka bertemu hanya pada libur Natal atau Lebaran. Dia tidak pernah ingin tahu kabar saudaranya juga, apalagi Marendra. Antonio selalu berusaha mencari gara-gara dengannya. Akan tetapi sekarang dia mencemaskan ayahnya dan berbicara dengan lembut pada Marendra. Ia berubah.

Sementara itu di bangku belakang, Jati bertumpu dagu dan melihat ke jendela luar lalu menghela napas. Berbeda dengan Marendra yang melihat Antonio jadi lebih peduli pada sang ayah seminggu belakangan ini, Irawan melihat Jati menjauh dari sang ayah. Bahkan pagi ini Jati melengos pergi begitu saja tanpa berpamitan.

"Sudah mau dua minggu. Masih marah?" Irawan bertanya. Akan tetapi adiknya tidak menjawab.

"Papa berusaha minta maaf." Jati menjawab kalimat itu dengan decakan.

"Kamu ga pernah kasih Papa kesempatan ngomong."

"Jangan mulai pertengkaran lagi, Kak," anak itu menggeleng, mencoba menghentikan celotehan sang kakak.

"Maaf," Irawan menghela napas dan membiarkan Jati kembali memalingkan muka. Anak itu selalu keras kepala. Sejak pertemuan pertamanya dengan Jati, sampai sekarang itu tidak berubah. Ia dulu mencegah Jati memanjat pohon mangga di panti asuhan, tetapi dia bersikeras. Setelah ia menjadi kakaknya, Jati tetap keras kepala, ia tetap melindunginya meski terluka. Saat kekecewaan telah mengeraskan hatinya, Irawan tidak bisa berbuat banyak terhadap yang satu ini.

Eka yang baru saja akan mengeluarkan motor dari garasi melihat Giyanta yang sedang mengunci pintu rumah. Ia kemudian ingat bahwa hari Rabu adalah hari di mana Giyanta harus kembali ke rumah sakit untuk sesi terapi.

"Pak, arep mangkat tah?" Ia bertanya apakah Giyanta sudah akan berangkat.

"Iyo. Iki arep pesen ojek online."

"Melu aku wae, Pak. Iki aku mangkat. Sisan wae," Eka menawari tumpangan.

"Wah, rasah. Wingi kae uwis. Ngerepoti," Giyanta menolak karena dia merasa sudah mendapat cukup bantuan dari Eka minggu kemarin.

"Ora. Blas ora ngrepoti wong yo aku arep lunga. Ayo, Pak." Akhirnya Giyanta pun setuju untuk diantar oleh Eka. Ia memakai earphone nirkabelnya sebelum memakai helm agar sedikit teredam dari suara luar. Eka yang sudah paham dengan keadaan tetangganya tidak berusaha membuka pembicaraan dan memilih untuk fokus ke jalanan. Sesekali ia juga merenungkan pertemuan pertamanya dengan Giyanta dan Rahandika yang cukup konyol. Bahkan ia berani bertaruh tidak ada pertemuan dari tiga orang pria dewasa lain yang seabsurd mereka.

Tadinya Eka menganggap mereka kekanak-kanakan, ya, mungkin Rahandika masih sedikit kekanak-kanakan di matanya, tetapi ia akan mencabut pernyataan itu sepenuhnya dari Giyanta. Dalam satu waktu nyaris satu bulan ini ia mengetahui etos kerja, keluarga, bahkan masalah pria itu. Seakan-akan berhasil menyatukan kepingan puzzle, Eka akhirnya memahami masa lalu Giyanta. Sudah selesai era Giyanta menahan itu semua dan bergelut dengan PTSD-nya sendirian. Sekarang, Eka akan membantunya sejauh yang ia bisa.

Motor itu menyusuri jalan sementara dua pria yang ada di atasnya sama-sama terdiam. Eka sudah kembali fokus ke jalanan, sementara Giyanta sama sekali tidak fokus. Ia memikirkan banyak hal terutama Jati. Anak kandung pertamanya selalu menghindari dia. Tidak ada makan bersama yang hangat di meja, sambutan pulang sekolah, pamitan, cerita kehidupannya. Semua itu membuatnya makin merasa bersalah. Bukan berarti dia tidak pernah berusaha meminta maaf. Giyanta selalu mencoba jika ada kesempatan. Sayangnya, Jati selalu menutup itu rapat-rapat. Juga Rahandika, sejak hari itu ia belum pernah dapat waktu untuk bicara dengannya. Bisa dikatakan ini salahnya juga. Giyanta menodai kepercayaan sahabatnya dengan bertingkah seakan-akan semuanya baik-baik saja. Ah, sungguh banyak hal yang harus ia perbaiki karena kesalahannya.

Lamunannya buyar saat motor Eka berhenti tepat di depan gerbang masuk rumah sakit.

"Wes tekan, Pak," Eka memberi tahu Giyanta. Pria berambut panjang tergelung itu turun dari motor dan melepas helm.

"Maturnuwun, Pak!" ayah 4 anak itu berterima kasih pada tetangganya.

"Nggih. Yo wes, tak terusan," Eka segera melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhirnya sementara Giyanta segera masuk ke rumah sakit untuk melakukan apa yang menjadi tujuannya.

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang