"Hari ini ya?" Giyanta cepat-cepat mengecek kalendar di ponselnya. Benar saja, ternyata hari ini memang jadwalnya pergi ke studio tari, "Oh iya, hari ini ke Elatha."
"Mas mau satu mobil sama anak perlengkapan-properti atau satu mobil sama aku?" Dewo memberi pilihan pada kawannya karena tahu ia tidak punya mobil.
"Pilihan ketiga deh, aku naik motor," pria itu sudah hendak mengambil helmnya.
"Tapi kayaknya mendung," pria itu melihat ke arah jendela dari kantornya dan memang langit keabu-abuan yang terlihat.
"Aku selalu bawa jas hujan, kok. Sebaiknya kita cepat berangkat sebelum hujan turun 'kan," kali ini Giyanta benar-benar mengangkat helmnya, "Oh, soal jalannya aku bisa mengikuti rombongan kalian di belakang. Jadi, show me the way." Sesaat Dewo mengerutkan kening karena kawannya ini selalu menolak tawaran naik mobil mati-matian selama 10 tahun belakangan ini.
"Sadewo Indrajaya," panggilan dari patnernya membuat Dewo tersadar dan langsung menuju mobilnya.
"Hati-hati naik motornya." Pesan dari Dewo itu disambut dengan anggukan mantap dari kepala Giyanta yang sudah terbungkus helm.
"Aku jalan dulu, lalu mobil anak-anak. Mas Giyanta nanti paling belakang."
"Siap."
Jadilah mobil Sadewo berjalan terlebih dahulu, baru kemudian dua mobil yang mengangkut tim perlengkapan dan properti. Seperti rencana, Giyanta yang menaiki motor ada di belakang iring-iringan. Rombongan ini berjalan sekitar 20 menit untuk mencapai Studio Tari Elatha Pusat yang baru. Tentu saja itu bukan perjalanan mudah karena sering kali Giyanta tertinggal rombongan akibat terhalang mobil atau bahkan bus. Bahkan ketika Sadewo dan rombongan perlengkapan dan properti sudah sampai duluan, mereka masih menanti Giyanta.
"Haduh, ini mana? Sutradaranya malah ketinggalan," pria berbadan besar itu berkacak pinggang setelah menyadari orang yang kurang. Baru setelah mereka melihat sosok pria berjaket hitam menaiki motor, semuanya lega.
"Maaf semuanya, aku salah ambil belokan tadi," Giyanta langsung memberikan konfirmasi atas keterlambatannya dan memberi cengiran.
"Apa aku bilang ...," Sadewo menarik napas sebelum akhirnya tersenyum lagi, "Karena Mas naik pangkat, sepertinya aku harus berbagi koneksi. Koneksi penting biar Mas ga bingung kalau ada satu yang ga bisa, jadi masih ada alternatif lain. Ini bukan pengkhianatan, hanya berjaga."
"Oh, aku paham kok," lagi-lagi dalam kesekian kalinya pada hari ini. Mereka semua berjalan masuk ke bagian resepsionis studio tari.
"Permisi, selamat pagi menuju siang," Dewo langsung menyapa resepsionis dan menjelaskan tujuannya, "Saya Sadewo Indrajaya bisa bertemu dengan Ekachandra Abirama hari ini?" Nama tersebut membuat Giyanta yang tadinya sibuk menelusuri sekitar, untuk sesaat, langsung menolehkan kepalanya. Dia memang pelupa, akan tetapi jelas tidak mungkin untuk melupakan kejadian yang umurnya belum ada 24 jam.
"Ekachandra Abirama?" pria berambut panjang itu mengulangi nama yang sudah disebutkan Dewo.
"Mas kenal?" pertanyaan itu keluar dari Dewo sebagai respon dari reaksi Giyanta.
"Huh, sepertinya ...."
"Dia akan menemui kalian di sini," perempuan petugas resepsionis rupanya sudah menghubungi nama yang disebutkan oleh Dewo.
"Terima kasih banyak." Seluruh rombongan itu tampak bersemangat untuk menemui Ekachandra. Hanya Giyanta saja yang tampak terdiam. Kalau saja dia boleh kabur sekarang, lebih baik dia kabur demi menyelamatkan wajahnya.
Akan tetapi, ia harus bertanggung jawab atas pekerjaannya. Salah satu bentuk pertanggungjawabannya adalah harus terhubung dengan Ekachandra.
"Mas Dewo! Wah, kami baru saja buka dan ga dikirimi apa pun?" sosok pria setinggi 1,74 m muncul dari balik pintu dan langsung menyalami Dewo, "Ah, kamu membawa pasukan rupanya."
"Karangan bunga? Sedang dalam pengiriman, tapi bakal layu setelah beberapa hari. Aku membawakanmu yang lebih penting dari itu," balas Dewo.
"Sebentar," Eka kini mendekati Giyanta sembari menelusuri pria itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, "Gardapati?"
Sialan!
"Iya, Giyanta Gardapati ... tetangga ...," perkenalan canggung Giyanta bersambut oleh anggukkan dingin dari Eka yang dengan cepat membuang muka. Suasana itu terasa oleh Giyanta, membuatnya bertanya-tanya sendiri seberapa banyak yang sudah dilihat oleh tetangga barunya itu.
Jangan bilang, dia sudah melihat sejak Giyanta menyebutkan nama istrinya?
Kalau iya, rasanya ia ingin transparan dalam seketika.
Pantas saja ia tidak merasa perkenalan Ekachandra kemarin hangat layaknya tetangga baru biasa. Pria itu kesal dan bisa dimengerti. Itu memang kesalahan Giyanta dan Rahandika sendiri.
"Mas Giyanta Gardapati. Fokus," teguran Sadewo membuat pria itu kembali mengikuti langkahnya.
Matahari kini bergerak semakin ke barat. Jana yang awalnya berniat untuk kembali latihan karena waktu lomba makin dekat, malah hanya berdiam diri bersandar pada kaca ruang tari.
"Kenapa kamu ini?" Yodha yang terganggu dengan aura loyo kawannya langsung menegur.
"Kamu lomba dance solo aja, ya?" Jana membalas dengan suara lirih.
"Loh?"
"Aku ga bisa lanjut. Malu banget," seketika anak semata wayang Rahandika itu menutupi wajahnya.
"Malu apa?" Yodha malah bingung dengan sikap anehnya.
"Kamu belum lihat poster terbaru, ya? Jurinya udah diumumin. Gak bisa ini," Jana kembali menenggelamkan wajahnya sementara Yodha pergi ke papan pengumuman untuk melihat poster terbaru.
Ah, oke, dia mengerti sekarang. Juri untuk lomba itu adalah Hera. Tidak perlu dibicarakan ulang, ia cukup mengerti apa yang membuat Jana risau.
Dia salah satu saksinya.
"Gak, gak, jangan menyerah dulu," Yodha langsung menarik Jana begitu kembali ke ruang tari, "Kita udah setengah jalan. Masa mau berhenti karena malu?"
"Argh! Papiiiiii!"
Rahandika baru saja kembali ke kompleks perumahan setelah berjalan kaki membeli makan siang untuk dirinya sendiri. Secara tidak sengaja, ia berpapasan dengan Hera yang sedang menanti anaknya pulang. Tepat saat ia mau menyapa Hera, bus sekolah datang dan berhenti di depan gang mereka.
Marendra tampak sedang membantu seorang anak turun dari bus. Setelah turun, anak itu langsung berlari menuju Hera.
"Bilang makasih dulu dong sama kakaknya," tegur perempuan itu karena anaknya belum berterima kasih pada Marendra.
"Makasih, Kak."
"Sama-sama," balas Marendra cepat. Belum sempat Rahandika menyapa tiga anak Giyanta, mereka berjalan cepat masuk rumah.
Sepertinya mereka masih malu pada Hera.
"Hai, oh," Rahandika memaksakan diri menyapa Hera, akan tetapi tidak disambut baik oleh anak Hera yang memeluk erat kaki ibunya setelah melihat dirinya.
"Kami masuk dulu ya," perempuan itu tersenyum sebelum masuk ke rumah bersama anaknya dan meninggalkan Rahandika yang masih terdiam dengan telinga memerah.
"Duh aku gatau anak itu ternyata anaknya Tante Hera. Aaaaa," Marendra menutupi wajahnya karena kembali teringat apa yang sudah dilakukan oleh ayahnya bersama dengan Om Rahandika kemarin.
"Kamu lupa kali?" Jati meluruskan.
"Kayaknya sih, Kak. Ya ampun, Papa sama Om Rahandika juga ngapain sih kemarin? Aneh banget. Ga bisa begini terus. Kita pindah aja apa ya?" anak termuda Giyanta itu menghela napas. Ia cukup menyesal mengapa harus terbangun waktu itu.
Yah, salahkan saja Rahandika dan Giyanta yang menaikkan volume suara mereka.
"Kayaknya kita harus pindah kota. Bikin identitas baru. Jangan sampai dikenali sama keluarga Tante Hera," usul Jati.
"Aku mau nyamar. Mau warnain rambut jadi putih ...."
"Malah mirip Tante Hera dong Mar," potong Irawan tiba-tiba.
"Ga tau. Intinya malu banget," Marendra menenggelamkan wajahnya ke sofa. Jati dan Irawan bertukar pandangan, mereka juga paham dengan perasaan adiknya.
Tentu saja mereka malu juga.

YOU ARE READING
The Cure
General FictionGiyanta dihadapkan dengan masa lalunya yang belum selesai. Ia pikir luka bisa sembuh seiring waktu berjalan. Sayangnya, ia juga lupa kalau luka dalam meninggalkan bekas yang jelas. Prioritasnya adalah anak-anaknya, meski itu artinya Giyanta terus lu...